“Ada apa ini? Ada apa?” hanya ini kalimat yang keluar dari pedagang tuna netra itu. Dia masih muda.
Tak ada efek. Usaha mengetuk nurani bukan saja sia-sia, kini telah menjadi naif. Barang dagangan itu berpindah tempat ke bak mobil truck. Suasana kembali tenang, tinggal si pemilik dagangan yang masih berdiri dengan kebingungan yang makin liar.
“Ada apa? Ada apa ini?” tangannya masih menggapai ruang kosong di kanan dan kiri. Jelas meminta pertolongan.
Saya mendekatinya.
“Bang, barang dagangannya dirazia polisi pamong praja.”
“Haaaa?”
Saya kemudian memutuskan mengantarnya pulang. Perjalanan pulang yang membuat kisah kesulitan hidupnya tersambung dengan rasa iba saya. Azis, seorang muda yang hidup sendiri dan mencari nafkah sebagai penjaja keripik pisang dan kacang goreng dalam kemasan plastik dimana masing-masing diharga seribu rupiah. Hidup dijauhi cinta keluarga.
Azis sudah lama berjualan di trotoar sebelum kota menemukan mimpinya yang timpang.
“Sekitar tiga tahun rasanya Jim.” kenangnya ketika kami telah berada di depan kontrakan kamarnya, “Tapi baru kali ini saya kena razia, hehehe. Mungkin sedang apes ya.”
Kamar kontrakannya hanyalah sebuah yang sempit dan pengap. Ruang seluas 4 x 5 meter tanpa jendela dan berdinding tripleks yang mulai melengkung juga terkelupas sebab sering dihajar hujan panas. Bekas gudang yang disewakan pemiliknya. Kondisinya jauh lebih buruk dari kamar kos saya. Tempat seperti ini hanya bisa diinapi seekor anjing betina beranak sembilan yang tidak pernah peduli siapa pejantan yang membuntinginya selain hanya menyediakan waktu tiduran sembari melihat sembilan moncong yang matanya tertutup mengisap air susunya.
Saya juga jadi tahu kalau barang dagangannya diambilnya juga dari pedagang yang memodali. Jadi Azis hanya mendapat sedikit dari rupiah jasa menjual. Artinya modalnya wajib dikembalikan jika tidak laku, katanya lagi. Saya merasa ini eksploitasi tapi, di mata Azis yang gelap sepanjang tahun itu, dalam kota yang menjadi rimba raya mencari nafkah, apa sesungguhnya batas perbedaan antara bekerja menghidupi diri dengan bangun lebih pagi dari matahari dan pulang ketika rembulan makin mengecil di langit barat dengan sedang menerima secara sukarela sebuah praktik eksploitasi yang tersembunyi dalam mantra: waktu adalah uang?