Mengapa kesulitan ini seperti abadi sementara saya sedang belajar hidup melampaui urusan sendiri sebagaimana teman-teman kuliah yang hidupnya berpusar pada tiga ruang: kelas-mall-kos yang setiap energi putarannya dihidupi dengan birahi hedonisme?
Haaaaah! Berusaha menjadi manusia berguna sungguh banyak jalan kesulitannya.
***
Saya bertemu Aziz secara tidak sengaja. Bukan pertemuan yang direncanakan. Kemarin. Sebuah kemarin yang bukan setelah perpisahan karenanya juga tidak ada nostalgia yang perlu dikenang atau menjadi alasan yang membuat pertemuan memiliki kehangatan memorial masa lalu.
Di trotoar. di seberang sudut pertokoan sepi pada kota yang sedang sibuk mempersolek diri dengan mimpi kota jasa dan perdagangan, beberapa petugas polisi pamong praja sedang merazia pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar seolah saja para pedagang itu adalah binatang paling diharamkan dan entah bagaimana bisa berada di dalam sebuah rumah ibadah yang dibangun dengan dana besar dan peresmian yang megah namun selalu sepi dari puja puji yang tulus setiap hari dan hanya ramai ketika hari raya menjelang.
Tak ada negoisasi, barang dagangan para pedagang itu dimuat secara kasar ke bak truck besar seperti mayat-mayat tak bernama yang menjadi korban dari kerusuhan atau perang saudara tanpa pernah sempat bertanya apa salah mereka. Razia yang hampir tak ada perlawanan pedagang.
Kemarin itu, saya juga adalah saksi di tengah sikap pasrah dan wajah memelas mereka, saksi yang mengabadikan perisitiwa dalam potongan-potongan gambar sedih di dalam kepala saya. Gambar-gambar mereka yang menjadi tumbal kegenitan kota.
“Angkut juga barang dagangan penjual buta itu!”
Di ujung trotoar, seorang tuna netra sedang duduk dengan wajah bingung yang menyedihkan. Kebingungan yang bercampur dengan ketakberdayaan yang lebih nelangsa dari pedagang lainnya.
Saya berlari dan mendekat. Hendak melerai. Menunda paling kurang.
“Pak, jangan diangkut. Abang ini hanya berjualan keripik pisang dan kacang goreng. Dia kan tidak menguasai badan trotoar!” pinta saya. Berusaha mengetuk nurani petugas, sesuatu yang saya tahu sia-sia, lebih sia-sia dari legenda Sisifus yang pernah saya baca di sebuah novel.