Sepertinya Azis mengetahui jika datang untuk mengambil barang dagangan yang merupakan hak hanya akan memberi kesempatan kepada aparat negara yang menjadi tukang gusur paling depan menemukan sanksak atas stres mereka akibat terus menjadi obyek dari perintah komandannya yang tidak pernah sekolah militer secara resmi itu. Ini duga-duga saya.
“Lho kenapa Bang? Besok siang saja. Paginya saya masih ada urusan di kampus, sip Bang?”
“Gimana ya…kayaknya..firasat saya tidak enak Jim.”
“Ah, tidak usah cemas Bang. Abang hanya masih shock. Saya bantu bicara nanti. Pokoknya sampai barang dagangannya dikembalikan. Saya janji. Sekarang Abang istirahat saja, saya mau ke kampus, masih ada kuliah. Abang punya hape kan?”
Azis diam saja. Wajahnya masih menyimpan gundah. Tapi ia tetap menyerahkan hape-nya. Saya memencet beberapa angka, lalu save, OK.
“Nanti minta tolong tetangga sms-in saya ya Bang. Nomornya sudah saya simpan. Jim. Sip ya Bang, saya ke kampus dulu.”
Saya berpamitan pada siang menjelang sore. Sejujurnya saya juga tidak tahu ke kampus untuk apa. Saya hanya sedang mengumpulkan keberanian dan meyakinkan diri jika benar-benar hendak membantu seorang buta yang mengalami hari naas agar tidak mengalami kesulitan yang lebih besar dalam hidupnya karena hanya menghabiskan waktu menantang kegelapan di matanya demi mengumpulkan cicilan membayar ganti barang dagangan.
***
Setelah memiliki keyakinan, cukup memiliki keberanian, juga rasa muak karena ceramah basi tata usaha, sesudah menyerahkan selembar dua ribuan, saya berlari kencang menuju gerbang kantor Dinas Sosial. Mencari dimana Azis berada. Ternyata ia sedang berdiri di pinggir pagar sambil memegang tongkat berwarna perak yang sebesar ibu jari orang dewasa. Wajahnya cemas, lama menunggu sendiri.
“Bang…” sapa saya dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Jim? Kamu sudah sampai. Syukurlah.”