Mohon tunggu...
Rico Nainggolan
Rico Nainggolan Mohon Tunggu... Wiraswasta - quote

hiduplah layaknya bagaimana manusia hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja yang Tak Tergapai

10 Agustus 2023   21:19 Diperbarui: 10 Agustus 2023   21:44 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"bagaimana kalo kita ngopi dulu?" Tanya Linggom.

"ok" sahut Eka

Mereka pun menuju tempat tersebut. Dan memang Linggom pun mengetahui tempat tersebut dari media social dan baru pertama kali ketempat tersebut. Sembari membaca buku dan bercerita mereka menikmati kopi yang mereka pesan setelah tiba tadi. Tak terasa, waktu telah memaksa Eka dan Marta untuk segera pulang. Mereka pamit pada Linggom dan memang sepertinya Linggom juga akan beranjak pulang dan mereka pulang bersama karena kebetulan jarak antar Literacy Coffe tersebut agak lumayan jauh dari Kos Linggom

"ok anak muda, hati-hati dijalan"

"siap nona, mudah-mudahan nggak nyesal brenang dan ngopi bareng ya" balas Linggom

"siap" jawab Eka dengan senyum yang sedikit meluluhkan hati Linggom. Yang entah kenapa dia bisa begitu terpesona dengan senyuman Eka.

Dan mereka pun melewati hari-hari seperti orang yang sedang dimabuk cinta, padahal mereka berdua hanya teman biasa. Terkadang perlakuan sederhana Eka membuat Linggom yakin akan hadirnya sebuah rasa diantara mereka berdua. Entah Linggom yang berlebihan menilai tapi dia merasakan adanya bentuk-bentuk kehadiran cinta diantara mereka berdua.

Kehilangan Ayah

Pada masa itu, Linggom sedang proses penyusunan skripsinya yang terpaksa harus dia slesaikan. Sebenarnya dia tidak ingin wisuda tahun itu. Tapi keadaan memaksa harus untuk wisuda. Linggom adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Sebenarnya dia tidak mengharapkan jadi anak pertama,tapi karena kebetulan dia yang lahir pertama maka dialah yang jadi anak pertama. Kemudian lahirlah Rian, Reza, dan Jacky. Mereka adalah adik-adik yang baik menurut Linggom. Rian sudah tamat SMA namun tidak berniat untuk kuliah ditambah tato dibadannya makin menunjukan sedikit sifat pasaran yang dia miliki, sehingga dia lebih memilih untuk merantau mencari kerja. Reza adalah anak ketiga dan sekaligus satu-satunya anak perempuan dan pada saat itu masih smester 2 di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Pematang Siantar dan Jacky adalah anak terakhir yang masi duduk dibangku kelas 3 salah satu SMK Negeri di Medan. Ayah Linggom dulunya bekerja sebagai koki disalah satu hotel dikawasan pariwisata Danau Toba, namun sudah pensiun. Dan untuk memenuhi kebutuhan keluarga ayah Linggom bertani sedangkan ibu Linggom bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu SD Negeri dekat kampung Linggom dan  syukur dapat membantu ayah Linggom untuk memenuhi kebutuhan harian mereka sekaligus untuk memenuhi kebuthan biaya kuliah Linggom dan adiknya. Untuk adiknya yang terakhir mereka tidak terlalu memikirkan biaya karena dibiaya oleh PemprovSu dan hanya sesekali mengirimkan uang jajan, sebab dia tinggal diasrama yang otomatis semua kebutuhan ditanggung oleh pihak sekolah. Perihal wisuda yang terpaksa Linggom lakukan,semua berawal saat Linggom harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal. Saat itu, pada saat perayaan Natal lingkungan tempat tinggalnya, tiba-tiba ayah Linggom harus masuk rumah sakit karena secara tiba-tiba darah keluar dari hidung ayahnya. Tepat setengah 2 dini hari, Linggom dibantu teman-teman saat itu membawa ayahnya ke UGD guna mendapat pertolongan pertama. Namun, sampai tengah hari besoknya tidak ada perubahan yang signifikan dan Linggom memutuskan untuk membawa sang ayah berobat ke Pematang Siantar agar lebih intensif, namun setelah satu malam dirawat, pihak rumah sakit mengatakan harus segera dibawa ke Medan, karena peralatan di rumah sakit mereka saat itu tidak memadai, maka Linggom pun segera mengiyakan anjuran perawat tersebut. Namun saat pengurusan keberangkatan agar dirujuk ke Medan sempat terjadi sedikit perdebatan antara Linggom dan perawat ketika menentukan rumah sakit mana yang akan dituju. Saat itu Linggom menolak rumah sakit yang direkomendasi oleh pihak rumah sakit tersebut dan meminta kepada rumah sakit swasta lain. Namun, perawat mengatakan bahwa ruangan disitu penuh semua. Dan seketika Linggom tertawa, sebab sebelumnya dia telah menanyakan kepada temannya yang bekerja di rumah sakit yang akan dituju tersebut dan dari situlah Linggom mengetahui bahawa ada semacam persekongkolan antar rumah sakit bahwa setiap pasien yang dirujuk dari rumah sakit A ke rumah sakit B, maka pihak rumah sakit B akan memberikan sebuah fee atau komisi ke rumah sakit A tersebut. Dugaan itu diperkuat oleh seorang teman Linggom yang menjadi seorang perawat disalah satu rumah sakit swasta di Medan yang saat itu juga Linggom telepon untuk menanyakan ruangan di rumah sakit dia bekerja. Dan pada akhirnya, berkat bantuan seorang senior Linggom dari organisasinya mereka pun bisa mendapat sebuah ruanga di salah satu rumah sakit swasta di Medan. Linggom memang anak organisasi, sehingga dia bisa minta tolong kepada senioran dan teman-teman yang lain. Dan itu merupakan salah satu mamfaat berorganisasi ketika menjadi mahasiswa.

Setelah selesai mengurus adminstrasi, mereka pun berangkat menuju rumah sakit tersebut, dan setelah tiba dengan menyebut nama senioran tersebut perawat itu dengan cepat memberikan pertolongan dan setelah mengisi bagian administrasi, ayah Linggom sudah langsung mendapat kamar dan mendapat perawatan sekitar 2 hari di rumah sakit tersebut. Namun pada hari kedua, pihak rumah sakit malah merujuk ke rumah sakit swasta lainnya dengan alasan kelengkapan alat. Bahwa di rumah sakit tersebut alatnya lebih lengkap. Tepat pada pukul 11 malam kala itu, mereka pun membawa sang ayah ke rumah sakit tersebut. Sesampai di rumah sakit tersebut, keadaan ayah Linggom sudah semakin parah dan sudah dibantu dengan alat pernapasan. Setelah satu jam lebih di ruang UGD, mereka kemudian mendapat kamar dan membawa sang ayah kekamar tersebut. Namun keadaan semakin memburuk. Terlihat dengan jelas bahwa saat itu ayah Linggom sudah sangat susah untuk bernafas. Yang saat itu, ibu Linggom sudah keliahatan pasrah kepada keadaan saat itu. Dan tak berselang beberapa lama sang ayah telah menghembuskan nafas terakhirnya dan itu terlihat jelas dimata Linggom ketika sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya.

Dan hal tersebut menjadi titik awal dari segalanya, setelah sang ayah dimakamkan. Hari-hari yang dilalui terasa ada yang kurang. Namun Linggom berprinsip, bahwa apapun yang terjadi hidup tetap harus dijalani. Setelah kembali ke medan untuk menyelesaikan studinya, teman-teman Linggom yang saat itu tidak dapat hadir ketika ayahnya meninggal minta maaf dan memberikan dukungan secara moral dan materil kepada Linggom. Karena memang pada saat itu sedang libur natal dan tahun baru dan teman-teman kampus masih dikampung masing-masing. Mulai saat itulah Linggom bertekad menyelesaikan studinya agar dapat meringankan beban orang tuanya. Dalam keadaan terpaksa dia harus menyelesaikan studinya. Linggom menilai, bahwa seorang sarjana hukum tidak berguna dikampung halamannya, sama saja dengan anak SMA yang baru tamat sekolah dan langsung kerja. Linggom masih bercita-cita untuk membangun sebuah system agar setiap sarjana tidak malu untuk pulang kampung. Agar setiap sarjana mampu untuk mengimplementasikan ilmu yang dia dapatkan sejak kuliah. Sebab tidak semua masyarakat berkesempatan untuk kuliah, jadi apa salahnya jika para sarjana berbagi ilmu dengan mereka yang tidak kuliah. Itulah salah satu impian Linggom dari sekian banyak mimpi yang dia miliki.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun