Mohon tunggu...
Tsania Zakiyya
Tsania Zakiyya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

suka musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Book Hukum Waris [Hukum Perdata Islam di Indonesia]

13 Maret 2024   02:14 Diperbarui: 13 Maret 2024   02:16 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatra Utara/kalam.umi.ac.id

HUKUM WARIS 

Effendi Perangin, S.H.

Tsania Zakiyyatun Nisa'

222121071 (HKI 4B)

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract: 

Hukum waris adalah cabang hukum yang mengatur transfer kepemilikan harta dan aset seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Prinsip-prinsip hukum waris bervariasi di seluruh dunia tergantung pada sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, seperti sistem hukum Romawi, Anglo-Saxon, atau Islam. 

Meskipun terdapat perbedaan dalam prinsip-prinsip dasar, banyak sistem hukum mengakui konsep warisan yang adil dan berkeadilan untuk ahli waris yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Hukum waris meliputi berbagai aspek, termasuk definisi ahli waris, pembagian warisan, pembuktian keabsahan warisan, serta peran hukum dalam menyelesaikan sengketa waris. 

Dalam beberapa kasus, hukum waris juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor budaya dan agama dalam menentukan hak waris. Pemahaman yang baik tentang hukum waris sangat penting untuk menghindari sengketa di antara ahli waris dan memastikan pelaksanaan keinginan pewaris dengan tepat sesuai dengan hukum yang berlaku..

Keywords: Hukum Waris, Kepemilikan, Prinsip.

Pendahuluan

Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta ber- sama. Sementara itu, harta bawaan atau yang didapat selama perkawinan secara hibah atau warisan tetap menjadi milik suami/istri yang bersangkutan, kecuali terdapat ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.

Dalam PP No. 9 Tahun 1975 diatur cara-cara perkawinan, perceraian, dan lain sebagainya. Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian belum diatur.

Karena belum diatur, ketentuan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1975 masih tetap berlaku. Jadi, Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata = KUHPer) tentang harta perka- winan masih tetap berlaku.

Hal ini ditegaskan juga dalam surat edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan para Ketua/ Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus 1975 No. M.A./ Penb/0807/75 tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975. Tentu saja ketentuan- ketentuan Hukum Waris dalam KUHPer hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUHPer itu. 

Mereka yang tunduk kepada KUHPer, khususnya mengenai Hukum Waris ialah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa. Sebagian besar rakyat Indonesia tunduk kepada Hukum Adat. Di berbagai daerah ketentuan-ketentuan mengenai pewarisan yang diatur dalam Hukum Islam telah meresap ke dalam Hukum Adat. 

Dalam kesempatan ini penulis akan mem- bahas mengenai hukun. waris menurut KUHPer. Dalam praktik, keterangan hak mewaris bagi mereka yang tunduk kepada KUHPer dibuat oleh notaris, sekalipun hal itu tidak diatur dalam peraturan perundangan.

Buku pegangan dalam mata kuliah Hukum Waris ialah buku karangan J.G. Klassen dan J.E. Eggens berjudul "Huwelijksgoe- deren en Erfrecht".Hukum Waris menurut KUHPer Pewarisan dalam KUHPer dibahas dalam Buku II Bab XII sampai XVIII.Akan dibahas pula mengenai harta perkawinan sehubungan dengan pewarisan.

Pembahasan

Pengertian Hukum Waris

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralih- an harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.

Pasal 830 menyebutkan, "Pewarisan hanya berlangsung karena kematian".

Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPer, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perem- puan dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada.

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan, yaitu sebagai berikut.

  • Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam Pasal 832.
  • Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama.
  • Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat = testamen) dalam Pasal 899.
  • Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.

Sifat Hukum Waris Perdata Barat (BW), yaitu menganut:

  • Sistem pribadi
  • Ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris.
  • Sistem bilateral
  • Mewaris dari pihak ibu maupun bapak.
  • Sistem perderajatan
  • Ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Selanjutnya Pasal 832 mengatur, apabila keluarga sedarah maupun suami istri yang hidup terlama tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik negara. Negara wajib melunasi segala utangnya dari harta peninggalan itu.

Pasal 832 tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dan tidak membedakan yang tua dan mana yang muda. Banding- kanlah dengan aturan warisan dalam hukum Islam, yaitu wanita mendapat separoh dari pria.

Perlu diperhatikan, bahwa syarat-syarat dalam hal pewarisan, Yaitu:

  • Si pewaris sudah meninggal;
  • Ahli waris adalah keluarga sedarah;
  • Ahli waris waardig (layak untuk bertindak sebagai ahli waris).
  • Pernyataan onwaardig terjadi pada saat warisan terbuka.
  • Orang yang onwaardig, begitu juga yang onterfd (dikesampingkan sebagai ahli waris oleh pewaris) orang yang menolak warisan pun tidak dapat digantikan oleh keturunannya. (Hubungkanlah dengan Pasal 847: "Tiada seorang pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup sebagai penggantinya").

Pasal 838 mengatur tentang orang-orang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig) sebagai berikut.

  • Orang yang telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
  • Dalam hal ini sudah ada keputusan hakim, akan tetapi jika sebelum keputusan hakim itu dijatuhkan, si pembunuh telah meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat menggantikan kedudukannya. Pengampunan (grasi) tidak menghapuskan keadaan "tidak patut mewaris".
  • Orang yang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan memfitnah si pewaris, berupa fitnah dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih berat.
  • Dalam hal ini harus ada keputusan hakim yang menyatakan, bahwa yang bersang- kutan bersalah karena memfitnah.
  • Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
  • Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.

Penolakan harta warisan diatur dalam pasal 1057, 1058, 1059 dan 1060 KUHPer. Akibat penolakan, seseorang akan kehilangan haknya untuk mewaris sehingga orang itu dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Pasal 1058) dan bagian legitieme portie-nya pun akan hilang.

Mewaris Dengan Cara Mengganti

Mewaris dengan cara mengganti disebut dalam bahasa Belanda menjadi ahli waris "bij plaatsvervulling"

Ada tiga macam penggantian tempat dalam hukum waris, yaitu:

  • Pasal 842:
  • "Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlang- sung terus dengan tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bila- mana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama- sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris ber- sama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya".
  • Pasal 844:
  • "Dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tak sama"
  • Pasal 845:
  • "Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu ".
  • Golongan AhliWaris

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:

  • Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
  • Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:

  • Golongan I
  • Golongan I adalah suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya.
  • Menurut Pasal 852:
  • "Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu ".
  • Jadi dalam pewarisan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan dan lahir dari perkawinan pertama atau kedua, semuanya sama saja.
  • Apabila si pewaris tidak meninggalkan keturunan dari suami/ isteri, maka undang-undang memanggil golongan keluarga sedarah dari golongan berikutnya untuk mewaris, yaitu golongan kedua (II). Dengan demikian, golongan terdahulu menutup golongan yang berikutnya.
  • Golongan II
  • Ahli waris golongan II adalah orang tua ( ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya.
  • Golongan III
  • Ahli waris golongan III adalah keluarha dalam garis lurus keatas sesudah bapak dan ibu
  • Golongan IV
  • Ahli waris golongan IV adalah keluarga garis kesamping sampai derajat keenam. Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.
  • Pasal 858 menentukan: jika tidak ada saudara laki-laki dan perempuan, dan tidak ada pula keluarga sedarah dalam salah satu garis ke atas, maka setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup. Setengah bagian lainnya, kecuali dalam Pasal 859 menjadi bagian saudara dalam garis yang lain.

Penggolongan ahli waris itu dapat disimpulkan sebagai berikut.

  • Golongan I meliputi:
  • suami/istri yang hidup terlama;
  • Anak;
  • Keturunan anak.
  • Golongan II meliputi:
  • Ayah dan ibu;
  • Saudara;
  • Keturunan.
  • Golongan III meliputi:
  • Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu;
  • Orang tua kakek dan nenek itu, dan seterusnya ke atas.
  • Golongan IV meliputi:
  • Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu;
  • Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal;
  • Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal.

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penggolongan ahli waris:

  • Jika tidak ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada negara.
  • Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi, jika ada ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III dan IV tidak menjadi ahli waris.
  • Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis (lihat contoh nomor 5).
  • Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki/ perempuan dan perbedaan umur.
  • Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 859, warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas dan satu bagian lagi untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu (Pasal 853).
  • Dengan demikian apabila ahli waris golongan I dan II tidak ada, maka yang mewaris ialah golongan III dan/atau golongan IV. Dalam hal ini harta warisan dibagi dua sama besar (disebut dalam bahasa Belanda: "kloving"). Setengah untuk keluarga sedarah garis bapak dan setengahnya lagi untuk keluarga sedarah garis ibu.

Pewarisan Anak Luar Kawin

Anak luar kawin yang diakui dengan sah ialah anak yang dibenihkan oleh suami atau istri dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya yang sah.

Perlu diperhatikan dalam hubungan pewarisan anak luar kawin, ialah ketentuan pasal 285 KUHPer yang mengatur:

"Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin olehnya diperbuahkan dengan seorang lain daripada istri atau suaminya, tidak boleh merugikan istri atau suami itu dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu".

Jadi: Bagian istri atau suami dan anak-anak mereka tidak boleh dikurangi dengan adanya anak luar kawin yang diakui sah selama perkawinan itu.

Dengan kata lain, dalam memperhitungkan warisan suami atau istri dan anak-anak mereka yang dilahirkan dalam perka- winan itu, anak luar kawin dianggap tidak ada.

Besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar kawin itu mewaris (atau dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris), yaitu:

Pasal 863:

"Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka terima, andaikata mereka anak-anak yang sah;

Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun saudara laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewaris setengah dari warisan. Jika hanya ada sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, anak luar kawin mewaris tiga perempat dari warisan.

Kesimpulan yang dapat diambil yakni:

  • Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya seandainya ia anak sah.
  • Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya: 1/2 dari seluruh warisan.
  • Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: 3/4 dari seluruh warisan.

Pasal 886

"Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu, maka sekalian anak dan keturunannya yang sah, berhak me- nuntut bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan 865".

Jadi, keturunan anak luar kawin dapat bertindak sebagai pengganti.

Pasal 867: Pasal ini mengatur bahwa anak zina dan anak sumbang tidak berhak mewaris. Mereka hanya berhak atas nafkah. Bagaimana tentang warisan anak luar kawin yang meninggal dunia yang tidak meninggalkan keturunan dan suami atau istri?

Pasal 870:

"Warisan seorang anak luar kawin, yang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri adalah untuk bapak atau ibunya yang telah mengakuinya, atau untuk mereka berdua masing-masing setengahnya, jika ke- duanya telah mengakuinya".

Mewaris Berdasarkan Wasiat (Pasal 874-894 Dan Pasal 813-929)

Menurut undang-undang, mereka dijamin dengan adanya legitieme portie (bagian mutlak).

Pihak yang berhak atas legitieme portie (LP) disebut legitimaris. Jadi, legitimaris adalah ahli waris menurut undang- undang dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah. LP baru bisa dituntut jika bagian mutlak itu berkurang sebagai akibat adanya tindakan si pewaris sebelum ia meninggal.

Menurut Pasal 874 harta peninggalan seorang yang meninggal adalah kepunyaan ahli waris menurut undang-undang, sepanjang si pewaris tidak menetapkan sebagai lain dengan surat wasiat.

Ada kemungkinan bahwa suatu harta peninggalan (warisan) diwaris berdasar wasiat dan berdasar undang-undang. Dengan surat wasiat, si pewaris dapat mengangkat seseorang atau beberapa orang ahli waris dan pewaris dapat memberikan sesuatu kepada seseorang atau beberapa orang ahli waris tersebut.

Pasal 875: Surat wasiat atau testamen itu adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehen dakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.

Ketetapan dengan surat wasiat dalam Pasal 876: terdiri dari 2 cara, yaitu:

  • Dengan alas hak umum: Erfstelling, yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Misalnya, A mewasiatkan dari harta bendanya pada X,
  • Dengan alas hak khusus: Legaat, yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat ditentukan. Misalnya, A mewasiatkan rumah di Jalan Mawar No. 1 kepada X.

Legaat disebut juga hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat khusus berupa pemberian beberapa benda dari suatu jenis tertentu kepada seseorang atau lebih (Pasal 957).

Penerima legaat disebut legaataris. Legaataris bukan ahli waris testamenter, karena ia tidak mempunyai hak untuk meng- gantikan pewaris, tetapi ia mempunyai hak menagih pada para ahli waris agar legaat dilaksanakan.

Kewajiban-kewajiban Legaataris.

  • Menanggung semua beban pajak, kecuali ditentukan lain (Pasal 961).
  • Umumnya legaataris tidak menanggung beban utang kecuali ditentukan lain.

Sebab-sebab batalnya legaat, karena:

  • Bendanya tidak ada lagi,
  • Orang yang akan dapat wasiat tidak ada, sehingga tidak dikenal plaatsvervulling.

Menurut Pasal 1001 KUHPer, surat wasiat akan gugur apabila:

  • Ahli waris testament menolak;
  • Ahli waris testament tidak cakap menerima.

Dengan demikian, wasiat itu merupakan kehendak terakhir dari seseorang/pernyataan sepihak yang setiap waktu dapat dicabut kembali.

Dalam Pasal 897 disebutkan bahwa seorang yang belum dewasa dan belum mencapai umur genap delapan belas tahun tidak boleh membuat wasiat.

Dalam Pasal 888 disebutkan pada, jika dalam surat wasiat ada syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik harus dianggap sebagai tidak tertulis.

Perbedaan pengangkatan sebagai ahli waris dengan pemberian dengan wasiat adalah sebagai berikut.

  • Dalam hal pengangkatan sebagai ahli waris belum tentu bagian yang diperoleh ahli waris yang diangkat itu. Ha- nya disebutkan berapa bagian haknya. Dalam hal pem- berian (hibah) wasiat, bagian yang menjadi hak orang yang dihibahi sudah tertentu, misalnya sebidang tanah tertentu.
  • Orang yang diangkat sebagai ahli waris kedudukannya sama sebagai ahli waris menurut undang-undang dalam hal tentang utang-piutang si pewaris.

Jika ternyata si pewaris meninggalkan utang, maka ahli waris yang diangkat juga turut bertanggung jawab atas utang itu. Orang yang menerima hibah wasiat tidak sama kedudukannya dengan ahli waris menurut undang-undang terhadap utang-piutang si pewaris. Ia tidak bertanggung jawab atas utang si pewaris. Ia pun tidak punya hak atas harta si pewaris kecuali yang dihibahkan secara wasiat kepadanya.

Perbedaan antara hibah dan hibah wasiat adalah sebagai berikut:

Hibah ialah pemberian selama hidup, sedangkan hibah wasiat ialah pemberian dengan wasiat dan baru berlaku sesudah yang memberi meninggal dunia.

Menurut bentuknya, ada 3 macam wasiat/testament:

  • Openbaar testament:

Testament dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan meninggalkan warisan menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya kepada notaris tersebut dengan dihadiri dua orang saksi.

  • Olographis testament:

Suatu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan dan diserahkan kepada notaris untuk disimpan dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

  • Testament tertutup (rahasia):

Suatu testament yang dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan menulis dengan tangannya sendiri, namun harus selalu tertutup dan disegel.

Dalam penyerahannya kepada notaris harus dihadiri empat orang saksi.

Syarat-syarat menjadi seorang saksi dalam pembuatan atau penyerahan suatu testament kepada seorang notaris adalah:

  • Sudah dewasa;
  • Penduduk Indonesia;
  • Paham/mengerti terhadap bahasa yang digunakan dalam testament tersebut.

Sementara itu, syarat-syarat untuk membuat testament, orang tersebut haruslah:

  • Telah berumur delapan belas tahun
  • Telah dewasa (sudah menikah, walaupun belum berusia delapan belas tahun);
  • Berakal sehat.

Penolakan Wasiat:

Terhadap legaataris, undang-undang tidak menyebutkan mengenai penolakan suatu hak sehingga tidak ada ketentuannya. Penolakan wasiat cukup memberitahukan kepada ahli waris pelaksana wasiat. Apabila tidak ada yang ditunjuk, maka semua ahli waris yang ada adalah pelaksana wasiat.

Pencabutan Wasiat, antara lain:

  • Dapat terjadi atas kehendak pewasiat;
  • Dapat dinyatakan secara:
  • Tegas dengan akta;
  • Diam-diam, dengan membuat testament baru yang ber tentangan dengan testament lama;
  • Terbukti dari perbuatan testatuur.
  • Testament batal jika pelaksanaannya tidak mungkin.

Dalam hukum waris yang berhubungan dengan wasiat terdapat istilah Fidei Commis, yang diartikan suatu pemberian warisan kepada seorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ahli waris itu diwajibkan menyimpan warisan itu dan setelah lewat waktu atau si ahli waris itu meninggal, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan dalam testament.

Berdasarkan pasal 879 Fidei commis dilarang oleh undang- undang. Fidei commis yang diperbolehkan yaitu "fidei commis de residuo", yang menetapkan bahwa jika masih ada sisa harta yang telah diberikan, maka sisa harta itu harus diwariskan lagi kepada orang lain yang telah ditetapkan dalam testament.

Bagian Mutlak (Legitieme Portie) adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris yang berada dalam garis lurus menurut undang-undang. Si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat (Pasal 913).

Dengan demikian, legitimaris haruslah ahli waris menurut undang-undang dalam garis lurus ke atas atau ke bawah.

Selain itu, ada pula ahli waris yang menurut undang-undang. Bukan legitimaris, misalnya suami atau istri, saudara-saudara.

Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan legitimais:

  • Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat.
  • Bagian mutlak harus selalu dituntut. Apabila tidak dituntut tidak diperoleh legitieme portie. Jadi kalau ada tiga legitimaris dan yang menuntut hanya satu, Maka yang menuntut itu saja yang dapat. Yang dua lagi (yang tidak menuntut) tidak dapat.
  • Seorang legitimaris berhak menuntut/melepaskan "legitieme portienya" tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris lainnya.

Penuntutan atas "bagian mutlak" baru dapat dilakukan terhadap hibah/hibah wasiat yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka (Pasal 920).

  • Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa "erfstelling" (pengangkatan sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian yang dilakukan oleh si pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah).
  • Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntut itu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu.

Hal lain yang perlu diperhatikan pula sebagai berikut.

  • Orang yang dinyatakan onwaardig dan yang menolak warisan, kehilangan L.P-nya.
  • Ahli waris yang onterfd (dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris), tetap berhak atas LP-nya.
  • LP diadakan oleh pembentuk undang-undang untuk melin- dungi ahli waris legitimaris, agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris.
  • Menurut Pasal 902, kepada suami atau istri kedua atau selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibanding- kan bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah dari harga peninggalan seluruhnya.

Mengenai besarnya legitieme portie diatur dalam Pasal 914-1916 KUHPer, yaitu:

  • Pasal 914 (LP bagi anak-anak sah):

"Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas dari harta peninggalan, yang mana oleh si anak itu dalam pewarisan sedianya harus diperolehnya... "

Selanjutnya Pasal 914 mengatur:

"Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing 2/3 dari apa yang sedianya harus diwaris oleh mereka masing-masing dalam pewarisan Jadi dua anak, LP-nya ialah 2/3 x bagian yang seandainya harus diperolehnya.

Jadi:

  • jika hanya ada satu orang anak sah, maka LP-nya=1/2 x bagian menurut undang-undang.
  • Jika ada dua orang anak sah, maka LP-nya = 2/3 x bagian menurut undang-undang.
  • Jika ada tiga orang atau lebih anak sah, maka LP-nya=3/4x bagian menurut undang-undang.

Berlaku hal itu diatur dalam Pasal 914 Ayat ke-4: Dengan sebutan anak, termasuk juga di dalamnya keturunan dalam derajat apa pun juga, tetapi mereka terakhir ini hanya di- hitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si yang mewariskannya.

  • Pasal 915 (LP dari ahli waris lurus ke atas).

"Dalam garis lurus ke atas bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apa yang menurut undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian".

  • Bagian Mutlak Anak Luar Kawin (diatur dalam Pasal 916). Pasal 916:

"Bagian mutlak seorang anak luar kawin yang telah diakui dengan sah adalah setengah dari bagian yang menurut undang-undang sedianya harus diwarisinya dalam pewarisan karena kematian".

Pemecatan Ahli Waris

Pemecatan sebagai ahli waris dilakukan oleh pewaris. Dengan kata lain, pewaris mengenyampingkan ahli waris. Hal itu biasanya dilakukan dengan membuat surat wasiat yang isinya mengangkat satu (beberapa) orang tertentu sebagai ahli waris untuk seluruh harta peninggalannya. Orang tertentu itu dapat tergolong ahli waris dapat juga orang luar (bukan ahli waris)

Pemecatan (onterfd) sebagai ahli waris yang dilakukan oleh si pewaris terhadap legitimaris, akibatnya dibatasi, yaitu bahwa legitimaris dilindungi undang-undang dengan menjamin haknya sebanyak bagian mutlak.

Bagian bebas ialah bagian dari harta si pewaris yang dapat ditentukan sesuka hatinya kepada siapa pun. Sementara itu, LP ialah bagian legitimaris dari harta pewaris yang tidak dapat dikurangi oleh pewaris, baik berdasarkan hibah maupun wasiat. Jadi, bagian bebas itu tidak lagi daripada harta si pewaris dikurangi LP legitimaris.

Perlu diperhatikan bahwa harta pewaris yang dimaksud di sini tidak saja hartanya yang ditinggalkan, tetapi semua hartanya termasuk yang sudah dihibahkannya kepada ahli warisnya atau orang lain.

Pada bagian yang lalu telah dijelaskan mengenai banyaknya bagian LP dari para legitimaris. Selanjutnya, pada bagian ini akan dijelaskan cara menetapkan besarnya LP dalam jumlah uang.

LP dihitung dari seluruh harta si pewaris, tidak saja yang ditinggalkan sebagai miliknya, tetapi juga barang atau uang yang sudah dihibahkan kepada orang lain, baik ahli waris maupun bukan ahli waris. Semuanya itu dikurangkan dengan utang- utang si pewaris. Hasilnya disebut "Harta Peninggalan Massa" (HPM).

 

Pemotongan (Inkorting) 

Pasal 916 a mengatur tentang tuntutan pemotongan (inkorting) dari orang selain legitimaris yang telah menerima hibah atau legaat.

Pemotongan (inkorting) ada dua macam, yaitu sebagai berikut

  • Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) adalah pemo. Tongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat Pemotongan semu dibagi menjadi dua, yaitu:
  • Pemotongan langsung dari ahli waris abintestato yang bukan legitimaris;
  • Wasiat yang sudah dipotong, tetapi belum diberikan karena bagian mutlak tersinggung, hibah wasiat itu dipotong untuk menutup kekurangan bagian mutlak.
  • Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh diadakan, seperti pemo- tongan terhadap hibah yang telah diberikan dan dikembalikan untuk menutupi LP. Jadi, pemotongan yang sebenarnya pada umumnya adalah pemotongan atas hibah-hibah atau hadiah- hadiah.

Menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk menerapkan Pasal 916 KUHPer diperlukan adanya tiga golongan ahli waris, yaitu:

  • Ahli waris ab intestato legitimaris;
  • Ahli waris ab intestato bukan legitimaris;
  • Pihak ketiga.

Keterangan:

  • Tuntutan inkorting hanya dapat dilakukan oleh para legi. Timaris atau pengganti mereka
  • Istri termasuk pengganti apabila suaminya juga legiti- maris, sehingga si istri dapat menuntut LP.
  • Menurut Pitlo: Kreditur dari legitimaris tidak berhak menuntut inkorting.

Pemotongan pemberian-pemberian dilakukan dengan urutan sebagai berikut.

  • Pemberian berdasar surat wasiat, baik sebagai legaat maupun erfstelling (pengangkatan sebagai ahli waris), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing.
  • Apabila LP belum juga tertutupi dengan cara demikian, maka selanjutnya pemberian semasih hidup (hibah) yang dipotong. Pemotongan tidak berdasarkan perbandingan, tetapi ber- dasarkan urutan pemberian. Pemberian paling akhir dipotong lebih dahulu, dan jika dengan ini sudah cukup, hibah lain tidak mengalami pemotongan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan diuraikan di bawah ini.

  • LP harus dituntut karena jika tidak, maka berlakulah sepe- nuhnya pembagian berdasarkan pelaksanaan wasiat. Jika tidak ada keterangan menuntut atau tidak menuntut, maka legitimaris dianggap menuntut LP-nya.
  • Yang boleh menuntut LP ialah para legitimaris atau ahli waris mereka atau pengganti mereka. Istri termasuk pengganti suami apabila LP masuk ke dalam harta persatuan mereka, sedangkan si suami telah meninggal lebih dulu. Istri diwakili oleh suaminya apabila hasilnya jatuh pada harta persatuan. Apabila seorang legitimaris pailit, maka ia diwakili oleh kurator (Pasal 25 Peraturan Kepailitan). Kreditur legitimaris tidak berhak untuk menuntut "inkorting".
  • Pemberian dalam perjanjian kawin dianggap berlaku pada hari perkawinan dilangsungkan, bukan pada hari si pewaris meninggal, sekalipun pemberian itu digantungkan kepada meninggalnya si pewaris.
  • Apabila suatu benda yang dihibahkan hilang sebelum pemberi hibah meninggal dan hal itu terjadi tanpa kesalahan si pene rima, maka dalam menentukan besarnya LP hibah itu tidak diperhitungkan (Pasal 923).
  • Apabila penerima hibah juga legitimaris, pengurangan hanya dapat dilakukan hingga jumlah batas LP-nya.
  • Apabila barang yang dihibahkan telah ddipindahtangankan tetap saja harus diperhitungkan dalam menghitung LP.
  • Apabila barang sudah dihibahkan, yaitu pada harta persatuan si penerima hibah, legitimaris harus sudah puas dengan menerima pembayaran saja.
  • Apabila legitimaris menerima barang-barang tak bergerak dalam wujudnya, sedangkan barang itu harus diserahkan sebagai legaat kepada orang lain, ia dapat membayar bagian yang menjadi hak penerima legaat itu.
  • Menurut Pasal 925, penyerahan kembali barang-barang tak bergerak harus dalam wujudnya (mengenai barang bergerak tidak ada ketentuan). Akan tetapi, bisa terjadi si penerima hibah tidak mengembalikan hibah dalam wujudnya, yaitu:
  • Jika barang yang dihibahkan hanya sebagian saja yang harus dikembalikan;
  • Apabila barang yang dihibahkan itu telah dipindah- tangankan.

Pemasukan Atas Hibah (Inbreng) (Pasal 1086 S.D 1099)

Pemasukan ("inbreng") adalah pengembalian hibah-hibah yang dilakukan pewaris selama hidup ke dalam harta peninggalan pewaris. Inbreng dilakukan pada saat pembagian dan pemisahan harta peninggalan.

Pasal 1086 mengatur mengenai siapa-siapa saja yang harus inbreng, yaitu:

Ayat 1:

Para ahli waris dalam garis lurus ke bawah, baik sah atau anak luar kawin, termasuk juga penggantinya (Pasal 841). Baik menerima warisan secara murni atau terbatas mereka yang menerima sebanyak LP atau lebih, kecuali jika dengan tegas dibebaskan untuk inbreng dalam suatu akta wasiat.

Ayat 2:

Para ahli waris lainnya, baik ab intestato/testamen tair, namun hanya mereka yang diwajibkan dengan tegas untuk inbreng.

Jadi:

  • Memasukkan (inbreng) tidak tergantung dari pewaris karena hukum mengenai inbreng adalah hukum mengatur/tambahan (anvullend recht).
  • Ketentuan dalam pasal 1086 adalah untuk melindungi hak legitimaris.

Perbedaan antara Inkorting dengan Inbreng

  • Inkorting (pengurangan) dilakukan di luar kemauan pewaris dan hanya untuk menutup bagian mutlak (LP) saja. Ini bisa terjadi bertentangan dengan kemauan si pewaris karena untuk melindungi hak legitimaris.
  • Inbreng dilakukan untuk menentukan pembagian warisan, dan hal itu tergantung kemauan pewaris.

Dalam penyelesaian warisan, mula-mula dilakukan inbreng, sesudah itu baru inkorting. Menurut Pasal 1091, pemasukan hanya terjadi untuk kepen- tingan waris lainnya. Pemasukan tidak untuk kepentingan kreditur harta peninggalan.

Yang Menolak Tidak Inbreng

Pasal 087:

"Seorang waris yang menolak warisannya tidaklah diwajibkan memasukkan apa yang pernah dihibahkan kepadanya, selain- nya untuk menambah bagian yang sedemikian yang menyebab kan bagian mutlak para kawannya mewaris telah dikurangi.

Jadi, selama bagian mutlak (legitieme portie = LP) tidak tersinggung, maka ahli waris yang menolak tidak diwajibkan untuk inbreng.

Inbreng dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

  • Dalam wujud ("in natura");
  • Dalam uang tunai;
  • Dengan perhitungan.
  • Inbreng "in natura" ialah menyerahkan barang-barang hibah seperti wujudnya semula.
  • Inbreng dengan uang tunai ialah menyerahkan nilai barang dalam uang ke dalam harta peninggalan.
  • Inbreng dengan cara perhitungan, yaitu memperhitung- kan apa yang telah diterima sebagai hibah dengan bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang bersangkutan. Apabila bagiannya dalam warisan Rp5.000.000,00 dan telah menerima hibah rumah ting- galnya seharga Rp4.000.000,00, maka ia tinggal menerima Rp1.000.000,00 jika rumah itu diperhitungkan sebagai bagiannya.

Cara yang dipilih tergantung pada siapa yang harus inbreng. Selain itu, juga dengan melihat keadaan, misalnya hibah tadinya adalah tanah dan di atasnya telah dibangun rumah, maka wajarlah bila dipilih cara perhitungan.Sehubungan dengan cara melakukan inbreng, perlu diperhatikan Pasal 1093, 1094 dan 1095 KUHPer.

Penolakan Warisan (Pasal 1057 S.D 1065)

Pasal 1057:

"Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepanite- raan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu".

Dalam hal ini, penolak warisan harus datang menghadap Panitera Pengadilan Negeri setempat, lalu menyatakan ke- inginannya dan panitera membuat akta penolakan. Apabila si penolak warisan tidak datang sendiri, ia boleh menguasakan penolakan itu kepada orang lain. Akan tetapi surat kuasa itu haruslah notariil.

Hak untuk menolak baru timbul setelah warisan terbuka dan tidak dapat gugur karena daluwarsa (Pasal 1062).

Jika terdapat beberapa ahli waris, maka yang satu boleh menolak sedangkan yang lain menerima warisan (Pasal 1050).

Seorang wali yang akan menolak warisan yang seharusnya diterima oleh orang yang diwalikannya, harus memiliki izin dari Pengadilan Negeri sesuai dengan aturan Pasal 1046 jo Pasal 401 dan 393.

Harta Persatuan Dalam Perkawinan Kedua

Persatuan harta perkawinan pada perkawinan kedua dan seterusnya diatur dalam Pasal 180, 181, 182, 852a, 902 yo 128.

Orang yang menikah (dalam hal ini dengan orang yang telah mempunyai anak dari perkawinan pertama), ada kemungkinan memperoleh tambahan harta dari 4 cara, yaitu:

  • Percampuran harta (="boedelmenging");
  • Pemberian (hibah) dari suami/istri yang dimuat dalam perjjanjian kawin;
  • Dari haknya sebagai ahli waris
  • Legaat dari suami/istri.

Catatan:

Orang yang menikah itu tidak boleh menerima tambahan harta (keuntungan) dari satu atau lebih cara di atas yang melebihi bagian terkecil seorang anak dari perkawinan pertama suamisuami/istrinya.

Apabila pada perkawinan kedua ada anak luar kawin yang diakui sah, maka anak tersebut mendapat bagian warisan yang dengan demikian akan mengurangi bagian dari anak-anak sah dari suami/istri yang baru itu.

Pasal 127 menitikberatkan harta persatuan yang berjalan terus.

Pasal tersebut mengatur, bahwa akibat kelalaian suami atau istri yang hidup terlama mengadakan pendaftaran/inventarisasi barang-barang yang merupakan harta benda persatuan, maka persatuan harta itu berjalan terus atas kebahagiaan anak-anak yang belum dewasa dan sekali-sekali tidak atas kerugian mereka.

Bagian anak-anak yang belum dewasa di dalam harta persatuan yang berjalan terus berjumlah selalu kurang dari setengahnya karena suami atau istri yang hidup terlama ikut mewaris dari yang meninggal itu. Bagian anak-anak itu berjalan terus dan anak-anak menerima bagian yang sama pula.

Kesimpulan

Hukum waris adalah serangkaian aturan yang mengatur bagaimana kekayaan dan hak dari seseorang yang telah meninggal akan dialihkan kepada penerima warisnya. Ini adalah suatu sistem hukum yang kompleks, yang mencakup berbagai prinsip dan prosedur yang berbeda tergantung pada negara dan budaya yang bersangkutan.

Dalam hukum waris, ada pihak yang disebut sebagai pewaris, yaitu orang yang telah meninggal, dan ahli waris, yaitu penerima atau penerima-penerima harta warisan. Prinsip-prinsip hukum waris mengidentifikasi siapa saja yang berhak menerima bagian dari harta warisan dan seberapa besar bagian yang mereka dapatkan.

Pembagian harta warisan bisa saja ditentukan oleh wasiat yang dibuat oleh pewaris sebelum meninggal, di mana pewaris mengatur sendiri bagaimana harta mereka akan didistribusikan. Namun, jika tidak ada wasiat, maka hukum waris yang berlaku di negara tersebut akan menentukan bagaimana harta tersebut akan dibagi antara ahli waris.

Hukum waris juga mencakup aturan-aturan yang melindungi kepentingan ahli waris, baik itu melalui penetapan hak waris minimum atau melalui prinsip-prinsip keadilan dalam pembagian harta warisan.Selain itu, hukum waris juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial, seperti perubahan dalam struktur keluarga, nilai-nilai budaya, dan kondisi ekonomi.

Dalam prakteknya, proses hukum waris seringkali kompleks dan memerlukan bantuan profesional dari pengacara atau ahli waris untuk memastikan bahwa pembagian harta warisan dilakukan secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bibliography

Perangi, Effendi. Hukum Waris, Depok: Rajawali Pers, 2018.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun