Mohon tunggu...
TRIYANTO
TRIYANTO Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa_Universitas Mercubuana

NIM: 55522120004 - Magister Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2_Controlled Foreign Corporation, Peluang dan Tantangan di Indonesia_Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

16 Juni 2024   22:30 Diperbarui: 16 Juni 2024   22:30 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa Itu Controlled Foreign Corporation (CFC)?

Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah entitas perusahaan yang terdaftar dan menjalankan bisnis di yurisdiksi atau negara yang berbeda dari tempat tinggal pemilik pengendali.

Secara umum Controlled Foreign Corporation (CFC) adalah suatu entitas atau perusahaan yang didirikan dan beroperasi di luar negeri yang kepemilikan dan pengendaliannya dijalankan oleh individu atau entitas dengan melalui status  kepemilikan saham. 

Pada umumnya, untuk dapat memiliki hak pengendalian dalam suatu entitas lain, dibutuhkan proporsi saham minimal 50% untuk dimiliki. Namun dapat juga pada kondisi tertentu, suatu entitas dengan kepemilikan saham dapat berjumlah kurang dari 50% dengan adanya suatu persetujuan dari para pihak yang terlibat.

Di Amerika Serikat, CFC adalah perusahaan asing di mana pemegang saham AS memiliki lebih dari 50% total hak suara gabungan dari seluruh saham berhak suara atau total nilai saham perusahaan.

Undang-undang Controlled Foreign Corporation (CFC) sejalan dengan perjanjian pajak untuk menentukan bagaimana wajib pajak menyatakan pendapatan luar negeri mereka. CFC menguntungkan bagi perusahaan ketika biaya mendirikan bisnis, cabang di luar negeri, atau kemitraan di negara asing lebih rendah bahkan setelah adanya implikasi pajak—atau ketika paparan global dapat membantu pertumbuhan bisnis.

Seputar Controlled Foreign Corporation (CFC)

Struktur CFC diciptakan untuk membantu mencegah penghindaran pajak, yang dilakukan perusahaan dengan mendirikan perusahaan luar negeri di yurisdiksi dengan sedikit atau tanpa pajak, seperti Bermuda dan Kepulauan Cayman. 

Jika sebuah bisnis yang berkantor pusat, misalnya, di Jerman, memiliki anak perusahaan di Jersey, yang tarif pajak perusahaannya adalah 0%, otoritas Jerman mungkin akan meminta agar pendapatan yang diperoleh anak perusahaan Jersey tersebut dikenakan pajak di Jerman. Peraturan CFC mendisinsentifkan perusahaan untuk memperoleh pendapatan di yurisdiksi pajak yang lebih rendah dengan mengenakan pajak dalam negeri atas pendapatan tersebut.

Setiap negara mempunyai undang-undang CFC sendiri, namun sebagian besar cenderung menyasar individu dibandingkan perusahaan multinasional dan mengikuti pedoman serupa. Biasanya terdapat ambang batas kepemilikan untuk menentukan apakah suatu entitas asing dikendalikan oleh cukup banyak pemegang saham domestik untuk dianggap sebagai CFC. Seringkali ambang batasnya adalah 50%, atau setengah kepemilikan.

Peraturan CFC juga akan menentukan apakah pendapatan CFC telah dikenakan pajak pada tingkat minimum oleh negara asing dan mengidentifikasi jenis pendapatan yang berlaku bagi peraturan tersebut, seperti semua pendapatan atau hanya pendapatan pasif.

Negara-negara yang mematuhi aturan CFC antara lain Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Australia, Selandia Baru, Brasil, Swedia, dan Rusia.

Tujuan Controlled Foreign Corporation (CFC)

CFC biasanya digunakan untuk mengalihkan penghasilan dan/atau harta kekayaan dari para individu atau entitas pemilik ke negara tempat CFC didirikan, yang biasanya memiliki tarif pajak lebih rendah atau biasa disebut tax haven country. 

CFC dapat pula digunakan untuk menunda pengakuan penghasilan yang modalnya bersumber dari luar negeri yang nantinya akan dikenakan pajak di dalam negeri. Hasil dari perbuatan itu, maka dapat menyebabkan penerimaan pajak domestik pada tempat para individu atau entitas pemilik CFC tersebut menjadi berkurang dan dampaknya menjadikan potensi pajak tidak dapat terealisasikan.

Oleh karena itu, untuk upaya pencegahan praktik ini, maka pasal 18 ayat (2) UU PPh diterbitkan untuk mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan saat diterima atau diperolehnya dividen oleh Wajib pajak dalam negeri atas suatu penyertaan modal pada Controlled Foreign Corporation  (CFC), dengan ketentuan yakni:

a. Penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetorkan; atau

b. Bersama dengan Wajib Pajak dalam negeri lain memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor.

Contoh umumnya, suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia (PT. X misalnya) memiliki perusahaan dengan kepemilikan saham 60% di Bermuda (sebut saja PT. Y). PT. X nantinya akan mendapat penghasilan dari PT. Y dalam bentuk dividen, dan dividen ini nantinya akan dikenakan pajak di Indonesia. 

Biasanya, atas penghasilan yang diterima berupa dividen ini akan ditunda ataupun ditahan di PT. Y. Sehingga akibatnya, atas penghasilan ini akan ikut dikenakan pajak di Bermuda yang notabene sebuah negara tax haven dengan tarif pajak yang rendah, sehingga Indonesia akan kehilangan potensi atas penerimaan pajak.

Controlled Foreign Corporation (CFC) rules pada intinya merupakan seuah ketentuan untuk membatasi penangguhan dari pengenaan pajak atas suatu penghasilan Controlled Foreign Corporation. Dengan adanya CFC rules tersebut, maka negara akan memajaki penghasilan yang didapat dari CFC pada tingkat pemegang saham, terlepas apakah suatu pemegang saham telah menerima penghasilan tersebut atau tidak menerima sesuai dengan jangka waktu dan batas waktu yang sudah ditetapkan. 

CFC rules juga akan memberikan kewajiban untuk pelaporan bagi para Wajib Pajak dalam negeri atas suatu penghasilan yang telah diterima serta kaitannya dengan CFC yang dimilikinya di luar negeri.

Sekilas Tentang Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules di Indonesia.

Dalam rangka proses menyelenggarakan suatu aktivitas perpajakan di Indonesia dengan cara efektif, Maka pemerintah berusaha untuk menyediakan sebuah sarana prasarana serta sebuah kebijakan yang diharapkan mumpuni. 

Kebijakan tersebut diatur sedemikian rupa dan diharapkan untuk sedapat mungkin mengatur supaya dalam iklim perpajakan akan tetap kondusif sesuai dengan unsur kepastian hukumnya. Kemudian dalam kebijakan ini digunakan pula dengan harapan supaya dalam proses pengumpulan penerimaan pajak dapat terlaksana dengan se-efisien mungkin serta mampu tercipta suatu keadilan pajak.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam rangka pengumpulan penerimaan pajak ialah upaya penghindaran pajak oleh masyarakat. Penghindaran pajak dilakukan oleh berbagai kalangan, namun sering ditemui di kalangan Wajib Pajak dengan skala bisnis dan penghasilan yang besar. Memang dapat di maklumi, bahwa semakin besar suatu skala bisnis dan suatu penghasilan dari Wajib Pajak, Maka tarif PPh akan semakin besar dan akan semakin terasa beban pajak yang ditanggung.

Demi menghadapi masalah ini, pemerintah membuat pengaturan khusus untuk mencegah praktik penghindaran pajak. Pengaturan mengenai cara pencegahan tindakan praktik penghindaran pajak disebutkan dalam pasal 18 UU PPh. Diantara tindakan praktik penghindaran pajak yang telah disinggung pada pasal tersebut yaitu terkait suatu pembebanan biaya pinjaman, transaksi yang diselimuti dengan hubungan istimewa, hingga pembuatan controlled foreign company (CFC).

Peluang , Tantangan dan Perkembangan Control Foreign Corporation (CFC) Rules di Indonesia

Dampak adanya Globalisasi ekonomi telah memberikan pengaruh dimana semakin meningkatnya suatu transaksi internasional yang dilakukan oleh para perusahaan multinasional. Suatu Peruhaan Multinasional dalam upaya mencapai suatu laba yang optimal, Maka mereka melakukan berbagai cara dan upaya efisiensi, baik itu dilakukan dengan cara-cara yang legal maupun yang illegal. 

Tindakan dan upaya tersebut merupakan praktek dalam melakukan penghindaran pajak internasional. Salah satu bentuk dalam melakukan praktek penghindaran pajak yang dilakukan oleh entitas adalah melalui skema Control Foreign Corporation (CFC), yaitu sebuah upaya untuk melakukan penghindaran pajak dengan cara menunda suatu pengakuan penghasilan dari suatu modal yang bersumber dari luar negeri (khususnya pada negara tax haven) untuk dikenakan suatu pajak di dalam negeri.

Dalam praktik penghindaran pajak dengan melalui skema ini dapat menggerus suatu penerimaan negara dari sektor pajak. Untuk itu bagi negara Indonesia yang menjadikan penerimaan pajak sebagai sumber utama pendapatan dan sekaligus primadona penerimaan negara, Maka hal tersebut merupakan sebuah acaman yang sangat serius. 

Oleh karena itu upaya untuk menangkal adanya praktik penghindaran pajak tersebut, maka negara Indonesia membuat sebuah Control Foreign Corporation  (CFC) Rules. Kebijakan CFC Rules di Indonesia sudah melalui banyak revisi dan beberapa kali diperbaharui dalam upaya untuk menutup adanya peluang-peluang dalam penghindaran pajak tersebut dan sekaligus untuk mengamankan suatu penerimaan negara dari sektor pajak.

Negara Indonesia sendiri telah memiliki sebuah CFC rules yang tertuang pada pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan dan kebijakan tersebut adalah mengatur tentang bagaimana kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan saat diterima atau diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas suatu penyertaan modal pada suatu entitas di luar negeri, kecuali entitas atau Wajib Pajak yang menjual saham di bursa efek. Kewenangan tersebut telah diwujudkan dengan diterbitkan sebuah Peraturan Menteri Keuangan. 

Dalam proses perkembangannya, upaya untuk dmenangkal praktik penghindaran pajak dengan melalui skema Control Foreign Corporation (CFC), pemerintah Negara Indonesia telah melakukan tiga kali penerbitan Keputusan Menteri Keuangan sebagai berikut.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KMK No.650/KMK.04/1994, tanggal 29 Desember 1994 tentang tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek.

Dari keputusan Menteri Keuangan yang diterbitkan tersebut telah diatur bahwa untuk keperluan dalam penghitungan Pajak Penghasilan, saat diterima ataus diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas suatu penyertaan modal pada entitas atau badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan pada bursa efek ditetapkan pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu dari kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun yang bersangkutan.

Apabila tidak ada suatu ketentuan terkait batas waktu dalam penyampaian surat pemberitahuan tahunan atas pajak penghasilan atau tidak ada adanya suatu kewajiban dalam amenyampaikan surat pemberitahuan tahunan atas pajak penghasilan, maka saat diterima atau diperolehnya dividen tersebut akan ditetapkan pada bulan ketujuh setelah tahun pajak telah berakhir. 

Kebijakan dan Ketentuan dalam hal itu sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut menyimpang dari peratutan atau ketentuan yang umum berlaku bahwa penghasilan dari luar negeri yang berupa pasive income (dalam hal ini dividen) akan digabungkan dengan penghasilan yang didapat dari dalam negeri untuk dikenakan tarif pajak di Indonesia dalam tahun  diterima atau diperolehnya pasive income tersebut, yang dalam hal ini berlaku cash basis.

Jadi selama penghasilan yang berupa dividen tersebut belum diterima Wajib Pajak secara tunai, maka dividen atau penghasilan tersebut yang berasal dari luar negeri itu belum dapat digabungkan dengan penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri dan belum dapat dikenakan tarif pajak di Indonesia. Proses penangguhan atas pembagian laba dari penyertaan pada badan usaha di luar negeri untuk waktu yang tidak terbatas tersebut akan dikhawatirkan dapat digunakan untuk menghindari pemenuh.

Sehingga dilihat dari perkembangan CFC Rules di Indonesia maka menunjukkan bahwa aturan dan upaya dalam  menangkal praktik penghindaran pajak melalui sebuah skema CFC akan terus diperketat untuk menutup adanya peluang-peluang suatu praktik penghindaran pajak di Indonesia. 

Melalui Control Foreign Corporation (CFC) Rules ini maka diharapkan prinsip worldwide income terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri yang telah sdikenakan pajak atas suatu penghasilan baik itu yang bersumber dari dalam negeri maupunbersumber  dari luar negeri dapat diterapkan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian maka diharapkan upaya dalam optimalisasi penerimaan negara dari sector pajak dapat tercapai dan terlaksana dengan maksimal.

Yang Dikenakan Pajak dalam Praktek CFC 

Dalam Pasal 2 (dua) Peraturan Menteri Keuangan PMK 107/PMK.03/2017, yaitu Wajib pajak dalam negeri yang :

a. Memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada Badan Usaha Luar Negeri (yang selanjutnya disingkat BULN) Nonbursa; atau

b. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal langsung paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada BULN Nonbursa.

Uraian di atas lebih menyoroti kriteria wajib pajak yang dikenakan Pajak atas praktek CFC, selain itu juga terdapat tiga jenis penghasilan yang berhubungan dengan ketentuan CFC secara global yaitu :

a. Passive investment type income (penghasilan-penghasilan dari investasi) merupakan penghasilan dikenakan oleh semua Negara yang mempunyai kebijakan dan ketentuan CFC. Penghasilan pasif berupa bunga, royalti, dividen atau sewa.

b. Active business income (penghasilan dari kegiatan usaha), secara umum ketentuan CFC membebaskan jenis penghasilan tersebut (kecuali Hongaria, Selandia Baru, dan Swedia).

c. Base business income (atau penghasilan selain dari passive income yang dikategorikan tainted income), dikenakan oleh beberapa Negara tetapi ada juga yang sama sekali tidak mengenakannya. Tainted income ini sendiri merupakan suatu penghasilan yang diperoleh dari adanya praktek CFC yang terhadapnya dapat diterapkan suatu ketentuan tentang CFC. Beberapa penghasilan yang masuk dalam kategori ini misalnya yaitu penjualan dari harta atau pemberian suatu jasa yang dilakukan di luar Negara domisili dari suatu pemegang saham.

Sebagai contoh Tainted Income yang diatur di Amerika Serikat yaitu penghasilan berupa :

a. Pendapatan asuransi.

b. Pendapatan dasar atau pokok yang berasal dari Perusahaan asing yang termasuk didalamnya berupa  pendapatan dari jasa servis dan penjualan.

c. Penghasilan yang didapat dari Negara-negara yang tunduk pada program boikot internasional.

d. Praktek suap illegal, kickbacks atau pembayaran sejenis.

e. Penghasilan dari negara-negara yang sudah tidak berhubungan diplomatik dengan Amerika Serikat.

Skema Praktek CFC

Sumber : Data diolah di Web
Sumber : Data diolah di Web

Secara singkat ilustrasi dalam gambar diatas menggambarkan bahwa Wajib Pajak A yang berkedudukan di Negara X yang mengenakan tarif pajak sebesar 25 % yang mendirikan perusahaan holding company T Ltd di Negara Y yang tidak mengenakan pajak (Tax Haven Country). Selanjutnya T Ltd akan melakukan investasi di anak perusahaan A Corp yang berkedudukan di Negara Z yang mengenakan tarif pajak 10%. 

Ketika A Corp membagikan dividen tersebut kepada T Ltd, maka akan dikenakan tarif pajak di Negara Z sebesar 10% karena penghasilan dari dividen yang diterima merupakan penghasilan atas T Ltd yang tidak dikenakan pajak di Negara Y. Jika kemudian pada T Ltd membagikan sebuah dividen kepada Wajib Pajak A di Negara X, maka atas deviden tersebut akan dikenakan pajak dengan tarif sebesar 25% sehingga solusinya adalah lebih baik T Ltd menahan pembagian dividen tersebut maka dengan demikian pengenaan atas pajak dengan tarif pajak sebesar 25% tersebut dapat ditunda.

Skenario dan skema tersebut akan lebih menguntungkan daripada Wajib Pajak A langsung melakukan investasi di anak perusahaan (A Corp) di Negara Z tersebut, karena dengan demikian maka akan langsung dikenakan pajak dengan tarif pajak sebesar 25%. Dari Skema dan ilustrasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Praktek CFC biasanya dilakukan untuk menunda peredaran laba (praktek profit shifting) dengan membuat entitas lain sebagai perantaranya tertunda.

Skema CFC rules di Indonesia

Adapun skema CFC rules di Indonesia yang sudah diperjelas bila melihat dari CFC rules yang sedang berlaku (PMK 107/PMK.03/2017) yaitu sebagai berikut :

Sumber : Data diolah di Web
Sumber : Data diolah di Web

Dari gambar 9 dapat dijelaskan bahwa PT ABC memiliki pengendalian langsung terhadap XYZ Ltd karena penyertaan modal yang diberikan oleh PT ABC sudah mencapai 50% (sesuai dalam ketentuan CFC rules di Indonesia).

Sedangkan dalam gambar 10 dapat dijelaskan bahwa PQR Ltd, merupakan BULN Nonbursa terkendali langsung bagi PT GHI, dan STU co. merupakan BULN Nonbursa terkendali tidak langsung bagi PT GHI. Sementara VWX Co. bukan merupakan BULN Nonbursa terkendali bagi PT GHI (penyertaan modal kurang dari 50%)

Sumber : Data diolah di Web
Sumber : Data diolah di Web

 

Perbandingan CFC rules di Dunia

Kita tahu bahwa peraturan Controlled Foreign Corporation (CFC) tidak hanya ada di Indonesia,banyak  negara-negara yang juga menjadikan pajak sebagai pioneer devisa untuk negaranya sehingga dirasa perlu mengatur dan memperkuat peraturan dan kebijakan mengenai praktek Controlled Foreign Corporation (CFC). Berikut tabel dari perkembangbiakan ketentuan CFC (Proliferation of CFC Legislation) yang diterapkan oleh Negara Maju maupun berkembang, sebagai berikut :

1

United States (1962)

14

Portugal (1995)

2

Germany (1972)

15

Denmark (1995)

3

Canada (1976)

16

Korea (1996)

4

Japan (1978)

17

Hungary (1997)

5

France (1980)

18

Mexico (1997)

6

United Kingdom (1984)

19

South Africa (1997)

7

New Zealand (1988)

20

Argentina (1999)

8

Sweden (1990)

21

Venezuela (1999)

9

Australia (1990)

22

Italy (2000)

10

Norway (1992)

23

Israel (2000)

11

Finland (1993)

24

Estonia (2000

12

Spain (1994)

25

Lithuania (2002

13

Indonesia (1994)

 

 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sandler (2004) terdapat beberapa persamaan secara umum dalam CFC rules yang diterapkan oleh 25 Negara dalam tabel 2.5 di atas yaitu, (a) Secara general menargetkan pengenaan pajaknya untuk “passive income” dan “base company income”, dan (b) secara umum peraturan ini dibuat untuk tidak mengganggu kegiatan industri dan kerjasama bilateral yang “sah”. 

Negara berkembang seperti Indonesia, Afrika Selatan dan Argentina masih sangat bergantung pada penerimaan pajaknya. Dengan demikian, peneliti akan membandingkan CFC rules yang diaplikasikan ke tiga Negara berkembang tersebut untuk melihat keefektifan peraturan CFC yang diterapkan untuk memerangi BEPS.

Sumber : Profilpelajar.com
Sumber : Profilpelajar.com

Pierre Bourdieu (1930 – 2002) adalah seorang sosiolog dan intelektual publik Perancis yang terutama menaruh perhatian pada dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Karyanya di bidang sosiologi budaya masih sangat berpengaruh, termasuk teorinya tentang stratifikasi sosial yang berkaitan dengan status dan kekuasaan. 

Bourdieu prihatin dengan sifat budaya, bagaimana budaya direproduksi dan diubah, bagaimana kaitannya dengan stratifikasi sosial dan reproduksi serta pelaksanaan kekuasaan. Salah satu kontribusi utamanya adalah hubungan antara berbagai jenis modal, termasuk ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik.

Salah satu dari aspek terpenting dalam teori sosiologi Bourdieu adalah sebuah penekanannya pada unsur komponen struktural aktivitas sosial sebagai suatu sarana untuk mengintegrasikan sebuah  teori-teorinya yang berpusat pada suatu agen atau suatu aktor ke dalam satu kesatuan yang koheren.

1. Habitus “Kebiasaan”

              Konsep “habitus” dari sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menjelaskan bagaimana individu mengatur sendiri perilakunya agar sesuai dengan ekspektasi sosial.

Pikirkan tentang bagaimana Kita menjalani hari Kita: Kita melakukan hal-hal seperti berjalan di sisi kanan trotoar atau mengucapkan “Bless you” ketika seseorang bersin tanpa terlalu memikirkannya.

Ini adalah kebiasaan: perasaan internal tentang bagaimana berperilaku. Habitus bukanlah seperangkat aturan sosial yang kita rasa harus dipatuhi, melainkan seperangkat keterampilan dan sumber daya sosial yang memungkinkan kita berintegrasi dengan komunitas tertentu.

Bourdieu mengatakan bahwa kesamaan selera humor, selera, dan watak dalam sekelompok orang dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama adalah hasil dari kebiasaan bersama mereka.

Bourdieu tertarik pada bagaimana pilihan individu dipertahankan bahkan dalam struktur sosial yang mempengaruhi perilaku kita.

Konsepnya tentang kebiasaan menjelaskan kemungkinan ini dan menggambarkan bahwa perilaku yang disosialisasikan tidak sekadar menginternalisasikan aturan-aturan kaku tentang apa yang harus dilakukan dalam setiap situasi.

Sebaliknya, kebiasaan memberi kita gambaran tentang apa yang bermanfaat dan apa yang merugikan; untuk perilaku seperti apa yang diperbolehkan. Perasaan ini tertanam dalam diri kita dan cara kita berinteraksi dengan dunia. Sesuai dengan namanya, habitus merupakan perwujudan dari kebiasaan sosial.

Bagaimana Habitus Bekerja

Untuk mengilustrasikan cara kerjanya, mari kita bayangkan kebiasaan sebagai suatu bahasa. Setiap orang berbicara dalam satu bahasa atau bahasa lain, sama seperti setiap orang mempunyai kebiasaan.

Bahasa memiliki aturan: kosa kata dan struktur tata bahasa yang harus Kita ikuti. Namun, saat berbicara dengan seorang teman, Kita memunculkan kalimat-kalimat baru; Kita mengatakan hal-hal baru untuk mengatasi situasi baru sambil tetap berpegang pada aturan tata bahasa.

Inilah cara Bourdieu melihat fungsi habitus. Seseorang memperoleh pemahaman yang terinternalisasi tentang apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, suatu perasaan yang sebagian besar tidak disadari, mirip dengan tata bahasa bahasa ibu.

Kita menjalankan otonomi dalam rentang kemungkinan struktur tata bahasa dalam bahasa kita, dan kita berperilaku dengan cara yang sama dalam suatu kebiasaan. Dengan cara ini, kebiasaan lebih merupakan disposisi daripada determinasi

Hal-hal tertentu tidak terpikir oleh Kita untuk dilakukan karena kebiasaan Kita, sama seperti tidak terpikir oleh Kita untuk mengucapkan kalimat yang sepenuhnya mengabaikan aturan tata bahasa bahasa Kita.

Dengan cara ini, kebiasaan mengatur perilaku namun memungkinkan adanya pilihan dan kreativitas.

Bagaimana Seseorang Mendapatkan Habitus?

Apapun bahasa induk kita, kemungkinan besar Kita memahami sebagian besar aturan tata bahasa yang Kita ikuti hanya dengan mendengarkan secara pasif orang-orang di sekitar Kita berbicara.

Habitus bekerja dengan cara yang sama: kita memahami apa yang benar, salah, dan mungkin terjadi di dunia kita melalui osmosis sosial pasif.

Kami memahami apa yang diperbolehkan tanpa ada yang harus memaksa kami untuk mengikuti aturan yang diartikulasikan. Karena kita memperoleh suatu kebiasaan dengan menginternalisasikan apa yang terjadi di sekitar kita, orang-orang dari lingkungan yang berbeda menginternalisasikan kebiasaan yang berbeda pula.

Keterampilan dan wawasan yang datang bersama dengan kebiasaan khusus Kita terkadang sulit untuk dikomunikasikan kepada orang lain karena kita mendapatkannya dengan cara yang pasif.

Misalnya, memahami mengapa mengenakan pakaian tertentu ke sekolah tidak keren hanya akan sulit diungkapkan jika orang lain bertanya kepada kami mengapa kami merasa seperti itu.

Hal ini karena pengetahuan sosiokultural seperti ini adalah sesuatu yang lain dari apa yang umumnya kita peroleh atau praktikkan dengan perhatian sadar. Kami secara pasif merasakan “perasaan terhadap permainan tersebut”, seperti yang digambarkan Bourdieu.

Habitus juga merupakan cara kita memposisikan diri dalam dunia sosial dan mengambil keputusan mengenai kemampuan kita. Sebagai makhluk sosial, kita merasakan bahwa masyarakat mempunyai struktur dan tatanan tertentu.

Kita juga merasakan posisi kita dalam struktur tersebut, dan melalui internalisasi kebiasaan, kita membuat penilaian mengenai pilihan apa yang tersedia bagi kita.

2. Modal

Bourdieu melihat modal sosial sebagai milik individu, bukan milik kolektif, yang terutama berasal dari posisi dan status sosial seseorang. Modal sosial memungkinkan seseorang untuk mengerahkan kekuasaan pada kelompok atau individu yang memobilisasi sumber daya. Bagi Bourdieu, modal sosial tidak tersedia secara seragam bagi anggota suatu kelompok atau kolektif, tetapi tersedia bagi mereka yang melakukan upaya untuk memperolehnya dengan mencapai posisi kekuasaan dan status serta dengan mengembangkan niat baik (Bourdieu, 1986). Bagi Bourdieu, modal sosial tidak dapat direduksi menjadi kelas dan bentuk stratifikasi lain yang pada gilirannya diasosiasikan dengan berbagai bentuk keuntungan atau kemajuan.

Bourdieu membingkai modal sosial sebagai sumber daya aktual atau virtual yang diperoleh oleh individu atau kelompok melalui kepemilikan “hubungan saling kenal dan pengakuan yang kurang lebih terlembagakan” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 119). Oleh karena itu, modal sosial berada dalam diri individu dan terkait dengan koneksi sosial yang dapat dimanfaatkan seseorang untuk kemajuan.

Bagi Bourdieu, modal sosial diwujudkan melalui manfaat yang diperoleh dari jaringan sosial, namun sumber modal sosial berasal dari struktur sosial, ekonomi, dan budaya yang menciptakan perbedaan kekuasaan dan status bagi individu tertentu dan bukan orang lain. Kekuasaan dan status menciptakan asumsi-asumsi yang diterima begitu saja seperti norma-norma sosial yang menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, modal sosial bukan sekedar memiliki jaringan sosial yang luas, namun memiliki posisi sosial yang menciptakan potensi keuntungan dari jaringan sosial seseorang.

Habitus. Modal dan Ketimpangan

Bourdieu berteori bahwa terdapat banyak variasi kebiasaan yang berbeda pada orang-orang dari lingkungan yang berbeda. Kelas ekonomi, ras, jenis kelamin, kebangsaan, agama, dan latar belakang keluarga Anda—semuanya berkontribusi terhadap kebiasaan yang Anda wujudkan. Setiap habitus mempunyai pengetahuan dan keterampilannya masing-masing.

Misalnya, seseorang dari latar belakang elit akan memperoleh keterampilan seperti jaringan, negosiasi, dan komunikasi yang baik. Hal ini penting untuk keberhasilan dalam komunitas yang makmur.

Namun, jika orang-orang ini hidup di komunitas miskin, mereka tidak akan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup di sana, seperti kemampuan untuk menghadapi situasi kekerasan atau berimprovisasi dengan sumber daya yang terbatas. Mereka perlu mewujudkan kebiasaan baru.

Mempelajari kebiasaan baru bisa jadi menantang. Melanjutkan metafora bahasa, penutur asli memiliki perasaan intuitif ketika tata bahasanya salah, namun mungkin tidak dapat menjelaskan alasannya kepada orang lain.

Seseorang yang mencoba mempelajari bahasa baru tidak memiliki intuisi tersebut, dan pada kenyataannya, mungkin tidak pernah memiliki intuisi tentang tata bahasa seperti yang dimiliki oleh penutur asli, meskipun mereka dapat mencapai kefasihan yang tinggi. Jadi, walaupun kebiasaan tidak bersifat tetap dan permanen, akan sulit untuk mempelajari kebiasaan baru atau melupakan kebiasaan lama.

Hal ini dapat mempersulit peningkatan jenjang sosial ekonomi. Jika Anda mempunyai kebiasaan yang cocok untuk lingkungan berpendapatan rendah, akan lebih sulit untuk mendapatkan “feel for the game” dari lingkungan kaya yang asing.

Bagi Bourdieu, salah satu hal terpenting yang kita internalisasikan sebagai bagian dari habitus adalah modal budaya. Modal budaya adalah keuntungan sosial—seperti halnya modal ekonomi—yang memungkinkan kemudahan perolehan dan pemeliharaan sumber daya.

Dalam hal modal ekonomi, secara umum diterima dengan baik bahwa jika Anda memiliki $100.000 dolar di rekening bank, akan lebih mudah bagi Anda untuk menghasilkan $1.000.000 dolar daripada seseorang yang memulai tanpa uang sama sekali.

Misalnya, seseorang yang memiliki $100.000 dapat menginvestasikannya dan memperoleh keuntungan kembali atau menggunakannya sebagai modal awal untuk bisnis yang dapat menjadi sukses.

Modal budaya bekerja dengan cara yang sama. Jika Anda dilahirkan dalam keluarga yang mempelajari tata krama makan yang benar, yang mengajari Anda tentang seni rupa, dan yang keluarga serta teman-temannya adalah orang-orang yang mempunyai koneksi baik dan berpengaruh, maka akan lebih mudah bagi Anda untuk maju secara ekonomi.

Jika Anda tahu cara berbicara dengan orang-orang yang memiliki koneksi baik dan merasakan “permainan” dengan berada di dekat mereka dalam waktu lama, akan lebih mudah untuk maju.

Misalnya, jika dua orang sama-sama memiliki $100.000 dolar dan mencoba menghasilkan $1.000.000, akan lebih mudah bagi seseorang yang memiliki modal budaya, seperti mengetahui dengan siapa harus diajak bicara tentang investasi atau sudah familiar dengan proses investasi.

Modal budaya seperti ini (sebagai bagian dari kebiasaan) akan lebih sulit dianggap sebagai suatu keuntungan karena sudah terinternalisasi dan tidak terlihat. Oleh karena itu, habitus dapat melegitimasi dan melanggengkan sistem kesenjangan dengan mengaburkan batas antara apa yang alami dan apa yang dipelajari dalam kaitannya dengan keterampilan.

Misalnya, tes standar seperti SAT sering kali dipandang sebagai penilaian kecerdasan yang obyektif. Namun, bimbingan belajar dan latihan sebelum ujian dapat mendongkrak nilai.

Mampu membayar untuk les merupakan keuntungan yang jelas, tapi bagaimana dengan pengetahuan budaya bahwa SAT memang merupakan sesuatu yang harus dipelajari? Bagaimana dengan pengetahuan budaya tentang betapa pentingnya SAT untuk penerimaan perguruan tinggi?

Hal ini lebih sulit untuk dilacak namun sangat berpengaruh terhadap seberapa sukses seorang pelamar dalam tahap penerimaan perguruan tinggi.

Hal ini mengarah pada perguruan tinggi yang lebih baik, pekerjaan yang lebih baik, dan gaji yang lebih tinggi. Dengan cara ini, modal budaya, melalui kebiasaan, menjaga ketimpangan. Hal ini penting bagi pentingnya kebiasaan bagi Bourdieu.

3. Arena

Arena atau medan atau ranah (field) merupakan satu jaringan atau relasi antara pendirian-pendirian objektif yang ada di dalamnya. Hubungan tersebut terpisah dari sebuah kesadaran dan kehendak dari individu. Mereka bukanlah sebuah ikatan-ikatan inter-subjektif antar individu. Bourdieu melihat bahwa arena seperti halnya sebuah medan pertempuran. Dimana dalam arena pertempuran, dibutuhkan konsep dan sstruktur-struktur untuk mengatur sebuah strategi dalam menempatkan posisi individu atau kelompok guna menentukan sebuah rencana penyerangan atau suatu sistem bertahan.

Menurut Bourdieu, Arena seperti halnya sebuah pasar bebas, di mana didalamnya terdapat banyak jenis modal seperti modal ekonomi, budaya. sosial, dan modal simbolik yang dapat dipergunakan dan dijajakan. Namun, dari banyaknya bentuk modal di dalam arena tersebut, tentunya ada satu modal yang menjadi ujung tombak yaitu sebuah arena kekuasaan (politik). Arena kekuasaan tersebut mampu menjadi pemersatu dari jenis modal-modal yang lain.

Setidaknya ada tiga langkah dalam menganalisis suatu arena.

Pertama, Arena yang mencerminkan suatu keunggulan yaitu berupa arena kekuasaan yang digunakan untuk melacak suatu hubungan dalam setiap arena spesifik ke arena politis.

Kedua, langkah untuk memetakan struktur objektif relasi-relasi antar posisi-posisi yang ada di dalam arena itu.

Ketiga, Langkah yang diambil dalam menganalisis arena, maka harus ditentukan hakikat dari habitus para agen yang menduduki beberapa tipe posisi di dalam arena itu sendiri.

Arena merupkan sebuah konteks mediasi yang penting yang di dalamnya terdapat faktor eksternal (situasi yang berubah) dibawa untuk melahirkan sebuah praksis dan institusi individu. Arena juga merupakan ruang yang terstruktur dengan beberapa aturan keberfungsiannya yang punya ciri khas, namun ciri tersebut tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk sebuah habitus yang sesuai dengan konsep dan strukturnya. Otomatisasi yang relatif dalam arena mensyaratkan suatu agen menempati berbagai posisi yang tersedia di dalam sebuah arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan untuk memperebutkan suatu sumber daya ataupun modal yang diperlukan guna memperoleh sebuah akses terhadap kekuasaan dan memperoleh posisinya dalam arena tersebut.

4. Praktik

Bourdieu menyatakan, bahwa teori praktik sosial mempunyai sebuah rumusan yang generatif sebagai berikut: Praktik = (Habitus x Modal) + Arena. Teori tersebut merupakan salah satu konsep dari pemikiran Bourdieu untuk meracik sebuah formula dalam menganalisis suatu praktik sosial. Adapun dalam hal ini habitus menjadi fondasi awal dalam melakukan perkembangan menuju praktik sosial. Setelah terjadinya benturan habitus maka diperlukan sebuah formula kedua yaitu modal, dimana modal sebagai kaki-tangan untuk porses merealisasikan sebuah gesekan habitus tersebut. Tentunya, selain modal maka diperlukan arena sebagai tempat untuk tindakan dan mengeksekusi sebuah pola ataupun hasil dari sebuah benturan dalam habitus dan bantuan dari modal. Setelah semua hal itu terjadi maka praktik menjadi sebuah konklusi akhir dalam teori sosiologi Bourdieu yang tentu saja berupa praktik sosial.

Formulasi Bourdieu terhadap modal menjadi sebuah jalan ataupun sebuah jembatan dari munculnya praktik sebagai sebuah rumusan dari hasil akhir yang lebih luas sehingga dalam praktik sosial dapat dikonseptualisasikan kedalam sebuah kerangka individu. Dalam model formulasi generatif Bourdieu tersebut merupakan hasil yang timbal-balik antara struktur yang objektif dengan struktur subjektif sebagai dasar benturan dialektis. Bentuk formulasi generatif ini mampu dan dapat memodifikasi suatu indikasi dalam arena yang berbeda sehingga dapat smerimbas pada hasil akhir yaitu sebuah praktik sosial yang tidak disadari oleh para agen sosial.

Referensi :

Fadila, C. A. (2018). Analisis Implementasi Controlled Foreign Companies (CFC) Rules di Indonesia (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun