Oleh: Tri Handoyo
Semenjak remaja, Kencanawati dan semua saudara-saudaranya belajar silat kepada neneknya sendiri, Nyai Gambang. Dari gurunya itu Kencana mendapat beberapa ajian, di antaranya ajian 'Buntel Mayit', yang ternyata merupakan kunci pembuka kunci gaib, termasuk kunci bambu pusaka 'Sambung Nyowo Junjung Drajad'.
Siapa sangka ia rupanya juga memiliki gelombang energi yang selaras dengan energi dalam pusaka itu. 'Mungkinkah kakek buyutku masih ada hubungan darah dengan kakek buyut Klebat?'Â pikirnya penasaran.
Ia diam-diam meminta tolong seorang tukang kebun untuk mencarikan bambu dengan panjang, bentuk dan ciri-ciri yang sama dengan bambu pusaka.
"Ini rahasia kita. Jangan sampai ada orang lain yang tahu!" pesannya kepada si tukang kebun sambil memberikan beberapa keping uang logam sebagai upahnya.
"Tidak usah upah, Ndoro Putri. Di dekat rumah saya banyak bambu seperti ini! Saya akan usahakan untuk mencarinya!"
"Sudah terima saja!" paksa Kencana, "Kalau bisa secepatnya, Ki!"
Sehari kemudian, tukang kebun itu menemuinya dan menunjukan lima batang bambu seperti yang diminta.
"Kok banyak!" kata Kencana dengan wajah berseri-seri, "Ingat, jangan cerita ke orang lain ya!" Ia memilih satu yang paling mirip dengan bambu pusaka.
Hanya ada satu kesempatan bagus untuk menukar bambu itu dengan bambu pusaka milik Klebat, yaitu pada saat suaminya sedang buang hajat.
Ketika ia mengambil kantung hitam yang berisi pusaka bambu, salah satu pusaka yang paling ampuh di dunia, ia berlutut di depannya sambil mengucapkan mantra. Kemudian ia menukar dengan bambu miliknya, dan mengembalikan kantung hitam itu di bawa baju suaminya.
Sebetulnya itu tindakan yang bodoh jika mengira Klebat tidak akan mengetahui jika pusakanya telah ditukar, karena Klebat akan dengan mudah merasakan energi yang sudah terbiasa dan menyatu dengan dirinya.
Dengan segera Kencana berjalan cepat menuju kamar angker di mana Alya dan Zulaikah disekap. Kamar di bagian paling belakang bangunan puri itu memang selalu sepi, bahkan Kanjeng Wotwesi pun tidak setiap hari memasukinya. Hanya di hari-hari tertentu.
"Kalian baik-baik saja?" tanya Kencana setengah berbisik. Ia kagum melihat kedua anak gadis yang begitu tegar itu.
"Alhamdulillah baik, Mbak!" jawab Alya juga berbisik. Mereka tidak mau membangunkan Zulaikah yang tengah tertidur di pangkuan Alya.
"Aku bawakan camilan buat kalian!"
"Terima kasih!"
Sambil tersenyum Kencana bilang bahwa ia akan menemani mereka bersembunyi di situ. Di ruang itu banyak bagian gelap yang bagus untuk bersembunyi. "Seandainya nanti suamiku mencari, bilang tidak tahu ya!"
"Baik!" Alya sudah tidak lagi merasa heran dengan keanehan-keanehan pasangan suami istri itu.
"Sebentar lagi malam! Jadi tidak ada lagi sorot cahaya dari ventilasi!"
***
Klebat panik setelah menyadari bambu pusakanya hilang, tepatnya ditukar dengan yang palsu. Bersamaan dengan itu ia juga tidak menemukan istrinya. Beberapa orang pelayan yang ditanyai juga tidak ada yang tahu.
Ia melaporkan kepada Eyang Wotwesi bahwa istrinya menghilang.
"Apa maksudmu menghilang?"
"Dia pergi, Eyang. Aku sudah cari ke mana-mana tidak ada!"
"Benarkah? Hm.., eyang sudah pernah menasehatimu untuk menceraikan istrimu itu! Biarkan dia pergi. Dia sudah benar-benar sinting. Eyang akan mencarikanmu istri yang seratus kali lebih cantik dari dia!"
"Tapi aku akan mengejar dan menangkap perempuan kurang ajar itu. Aku bersumpah akan melakukan itu, dan pasti akan kulakukan, biarpun aku harus terpaksa mengikat lehernya dan menyeretnya pulang!"
Menjelang malam, seluruh pelayan menyongsong kegelapan dengan menyalahkan lampu-lampu minyak dan memasangnya di seluruh sudut puri.
"Apa dia membawa lari sesuatu?" tanya Kanjeng Wotwesi sedikit curiga.
"Hm.., tidak!"
"Lalu kenapa kamu susah-susah mencarinya?"
"Karena dia mengkhianatiku!"
"Ya sudah, gak usah dicari. Menikahlah lagi secepatnya, biar bisa menghapus aib ini, dan supaya orang kembali mengakui keluarga kita sebagai keluarga yang mulia, yang selama ini selalu dihormati dan dijadikan panutan!"
Klebat menjatuhkan tubuhnya pada kursi, tampak kusut dan kehilangan semangat.
"Kenapa dia sampai lari?" pancing Eyang Wotwesi penasaran, "Apa kalian habis bertengkar?"
Dengan wajah tertunduk Klebat mengaku, "Saya menculik anak gadis Ki Demang Jombang, Eyang!"
"Ha..ha..ha.., itukah gadis yang selama ini kamu cintai? Jangan kamu pikir eyang tidak tahu. Kamu sembunyikan di mana dia?"
"Di kamar!"
"Kalau kamu jujur sama eyang, kan eyang bisa minta baik-baik ke orang tuanya!"
Saat itu Ki Dewan muncul dan melaporkan bahwa tempat mereka sedang didatangi Pendekar Pedang Akhirat dan para pengikutnya. "Mereka tampak sangat marah dan memaksa masuk. Kini masih dihadang murid-murid tingkat pertama!"
"Apa yang membuat mereka begitu gila sehingga berani menyerbu tempat kita? Ayo kita beri mereka pelajaran yang paling kejam!"
"Pasti karena anaknya aku culik!" desah Klebat setengah menyesal. Ia masih sedih memikirkan bambu pusaka andalannya yang hilang bersama istrinya.
"Ha..ha..., gak usah khawatir!" hibur Eyang, "Sekali pun mereka menyandang nama besar, mereka bukan apa-apa bagi kita!"
Dalam waktu singkat Kanjeng memberi perintah agar Ki Dewan mengumpulkan seluruh anggota Intijiwo. Tidak berselang lama kemudian, barisan murid Intijiwo tampak telah memenuhi halaman.
"Wahai murid-muridku yang gagah perkasa, saat ini kita sedang disatroni oleh gerombolan bajingan yang mau mencoba menghancurkan kita!" pidato Kanjeng Wotwesi dari atas podium, "Mari kita mempertahankan harga diri dan kehormatan Intijiwo hingga tetes darah penghabisan! Siap tidak!"
"Siaaap...!" terdengar sahutan yang seolah sanggup merobohkan tiang-tiang penyanggah.
"Ini sudah menjadi resiko bagi kita sebagai pejuang pembela kebenaran. Resiko untuk selalu dimusuhi oleh para bajingan terkutuk. Berani mati demi kebenaran tidak?"
"Berani..!"
Proses pencucian otak para anggota Intijiwo memang telah dimulai sejak awal mereka bergabung. Mereka hanya mendapat dan menerima informasi dari kalangan mereka sendiri. Berita apa pun yang berasal dari luar kelompoknya pasti akan ditolak. Hal itu menjadikan mereka bagaikan katak dalam tempurung. Mereka memiliki mental sebagai jongos terbaik. Bagi mereka, Kanjeng Wotwesilah sosok guru yang dianggap termulia. Kebenaran mutlak ada padanya. Tanpa cacat sedikit pun. Oleh karena itu mereka rela mati demi membelanya.
"Siap masuk surga tidak?"
"Siaaap!"
"Bagus! Mari kita bergandengan tangan menuju surga!"
"Hidup Kanjeng Wotwesi..! Hidup Kanjeng Wotwesi...!"
***
Pada tahun 1520 Masehi, Wilayah Gunung Pegat telah menjadi saksi sejarah dari salah satu pertarungan yang paling mengerikan bagi dunia persilatan. Betapa tidak, Lintang Kejora Si Pendekar Pedang Akhirat, dengan beberapa pendekar lainnya menyerbu padepokan Intijiwo milik Kanjeng Wotwesi.
Banyak pengamat yang mengira bahwa pertarungan tersebut akan berlangsung sengit. Kedua perguruan yang akan berperang itu sama-sama kuat. Terdapat ungkapan bijak Jawa, 'Kakehan gludug ora ono udan', yang artinya 'Kebanyakan geledek tidak ada hujan', ungkapan bijak yang sama maknanya dengan 'Tong kosong nyaring bunyinya'. Nah, kedua perguruan itu bagaikan tong yang berisi penuh. Mereka tidak butuh mengumbar gertak sambal, tapi langsung tindakan nyata.
Sebagian masyarakat pendukung Kanjeng Wotwesi berpendapat bahwa Padepokan Benteng Nusa akan berakhir hancur lebur, sama seperti lawan-lawan Intijiwo sebelumnya. Mereka bahkan meyakini bahwa andaikan Kerajaan Demak berani menyerang Intijiwo, maka kerajaan itu pun pasti akan hancur.
Sebagian lagi menyadari bahwa Pendekar Pedang Akhirat kala itu menyerbu padepokan Kanjeng Wotwesi dengan satu tujuan, satu tekad yang teramat kuat dan mulia, yaitu memberantas angkara murka di muka bumi. Membebaskan putrinya yang diculik itu hanya sebagai salah satu pintu masuk.
Lintang teringat sesuatu, bahwa Zulaikah adalah satu-satunya orang yang percaya bahwa ayahnya adalah orang tersakti yang sanggup mengalahkan semua penjahat di seluruh muka bumi. "Ayahku pasti akan menang melawan para penjahat!", celoteh anak kecil itu suatu hari kepada teman-temannya. Lintang berjanji akan bertarung dengan segenap kekuatan jiwa raga. Ia tidak ingin mengecewakan putri bungsu kesayangannya itu.
Di pintu gerbang menuju kampung yang diberi nama Sujiwo, murid-murid Benteng Nusa lebih dulu mengingatkan kepada para murid Intijiwo yang menghadang.
"Kami ingatkan kalian untuk menyingkir, atau terpaksa akan kami sikat!"
Tapi para murid tingkat satu yang jumlahnya ratusan itu adalah pendukung Kanjeng Wotwesi yang paling fanatik. Tentu mereka tidak akan mau menyingkir begitu saja. Pertumpahan darah pun sulit terelakan lagi. Murid-murid tingkat dua dan tiga juga bergabung untuk memberikan perlawanan sengit.
Di lembah bagian atas, tampak kerumunan orang banyak bergerak ke sana kemari dengan membawa obor. Jelas mereka telah melihat bahwa rombongan yang dipimpin oleh Pendekar Pedang Akhirat itu telah menyapu bersih murid intijiwo sampai mereka kini telah menginjakan kaki di pos ke empat.
Kanjeng Wotwesi akhirnya mengeluarkan suara keras dan itulah suara sebagai tanda bagi Intijiwo untuk mengeluarkan pasukan yang mereka andalkan, Laskar Intijiwo. Selain ilmu pedang yang amat ampuh, mereka juga digembleng secara khusus ilmu kebal tingkat tinggi.
Kanjeng Wotwesi mengangkat tangan kanannya ke atas, memberi isyarat kepada murid-muridnya dan serentak mereka menerjang maju. Bagaikan air bah, mereka menyerbu dari segala penjuru.
Cahaya obor-obor selain memantulkan kilatan pedang-pedang yang terhunus, juga menyorotkan pandangan mata beringas, pandangan yang biasa diperlihatkan oleh binatang ketika terancam bahaya.
Bagaikan serigala kelaparan yang lepas dari kandang, murid pilihan tingkat tujuh yang berjumlah lima puluh orang itu mengamuk hebat. Bagaikan makhluk-makhluk buas yang baru mencium bau darah saja sudah menjadi ganas. Ya, mereka seakan-akan telah menjelma menjadi gerombolan binatang yang tuna peradaban, yang tengah mendambakan surga. Pendamba surga tak beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H