Dalam waktu singkat Kanjeng memberi perintah agar Ki Dewan mengumpulkan seluruh anggota Intijiwo. Tidak berselang lama kemudian, barisan murid Intijiwo tampak telah memenuhi halaman.
"Wahai murid-muridku yang gagah perkasa, saat ini kita sedang disatroni oleh gerombolan bajingan yang mau mencoba menghancurkan kita!" pidato Kanjeng Wotwesi dari atas podium, "Mari kita mempertahankan harga diri dan kehormatan Intijiwo hingga tetes darah penghabisan! Siap tidak!"
"Siaaap...!" terdengar sahutan yang seolah sanggup merobohkan tiang-tiang penyanggah.
"Ini sudah menjadi resiko bagi kita sebagai pejuang pembela kebenaran. Resiko untuk selalu dimusuhi oleh para bajingan terkutuk. Berani mati demi kebenaran tidak?"
"Berani..!"
Proses pencucian otak para anggota Intijiwo memang telah dimulai sejak awal mereka bergabung. Mereka hanya mendapat dan menerima informasi dari kalangan mereka sendiri. Berita apa pun yang berasal dari luar kelompoknya pasti akan ditolak. Hal itu menjadikan mereka bagaikan katak dalam tempurung. Mereka memiliki mental sebagai jongos terbaik. Bagi mereka, Kanjeng Wotwesilah sosok guru yang dianggap termulia. Kebenaran mutlak ada padanya. Tanpa cacat sedikit pun. Oleh karena itu mereka rela mati demi membelanya.
"Siap masuk surga tidak?"
"Siaaap!"
"Bagus! Mari kita bergandengan tangan menuju surga!"
"Hidup Kanjeng Wotwesi..! Hidup Kanjeng Wotwesi...!"
***