Nyi Lembok menengok, melihat ke arah Prana yang duduk di belakang, dan berkata, "Iya, tidak mengherankan apa bila tidak banyak orang yang mengenalnya, karena di samping dia memang tidak pernah mau keluar ke dunia ramai, orang yang minta bantuannya juga selalu melewati saya lebih dulu! Jika saya mampu, maka tidak perlu ke Mbah Beluk!"
Mereka sampai di pinggir hutan, dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Cerita Nyi Lembok mengenai gurunya masih berlanjut, "Mbah Beluk itu sangat sakti dan kiriman santetnya belum pernah mengalami kegagalan. Sewaktu dulu Raden Halayudha menjabat mahapatih, itu sebagian besar juga karena mengandalkan bantuan kesaktian Mbah Beluk!"
"Benarkah? Halayudha? Mapatih Majapahit yang dikenal sebagai Sengkuni itu?"
"Iya benar, saya tidak bohong!"
"Jadi berapa usia mbah guru Nyi Lembok itu?"
"Saya tidak tahu pasti. Tapi salah seorang muridnya saja ada yang sudah berusia seratus tahun lebih!"
Dalam hati Kencana meyakini bahwa dukun yang semakin tua usianya pasti akan semakin tinggi ilmunya. Langkah kakinya semakin lebar dan wajahnya berbinar, seiring harapannya yang cerah bersinar.
Dukun perempuan yang berjuluk lengkap Mbah Kukuk Beluk Laut itu mempunyai bentuk kepala yang mirip kepala burung hantu. Kepala yang bulunya nyaris rontok semua. Kepala itu hanya menyisahkan beberapa helai rambut yang memutih dan dibiarkan panjang. Wajahnya tertutup bedak putih yang lumayan tebal. Di lehernya yang kurus tegantung kalung dari tulang belulang, dan bandulnya tengkorak burung hantu.
Mbah Beluk menggerak-gerakkan tangan, sementara seringai misterius tidak pernah lepas dari bibirnya, menampakan giginya yang geripis kehitaman, serta air liur yang selalu menetes. Matanya agak juling dan besar sebelah. Penampilan yang mengerikan.
"Mbah mempersilakan anda berdua duduk!" kata Nyi Lembok, rupanya ia juga sebagai penerjemah, karena suara Mbah Beluk sangat lirih.
Sejak melangkahkan kaki memasuki ruangan itu, udara terasa dingin dan dipenuhi suasana magis. Ruangan sempit dan penuh benda-benda aneh berserakan. Mbah Beluk, sambil bersandar di atas ranjang, menanyakan maksud kedatangan tamunya.