Ki Ranggo menarik nafas panjang. Ia sudah menduga reaksi kakaknya akan seperti itu. “Tidak seorang pun!”
“Huh!” dengus Eyang Semi, “Aku juga sering dengar berita di luar yang mengatakan bahwa Kanjeng itu seorang ahli sihir jahat! Fitnah itulah yang jahat. Kamu tahu? Kanjeng adalah orang pertama yang datang memberikan bantuan kepada masyarakat ketika bencana melanda desa kita! Kamu sendiri di mana saat itu?”
“Maaf! Kalau begitu saya permisi!”
“Tunggu sebentar!” seru Eyang Semi menahan. Ia lalu masuk ke dalam untuk membungkus makanan dan segera memberikan bungkusan itu kepada adiknya.
“Saya datang bukan untuk ini!”
“Jangan menolak pemberian!” desak Eyang Semi, “Maaf, atas sikapku. Aku hanya tidak senang orang gampang menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannnya!”
“Saya hanya mengingatkan, tidak punya kepentingan apa-apa!”
“Tapi kamu sudah memvonis bahwa Kanjeng Wotwesi itu jahat! Bukankah itu artinya kamu ikut menyebarkan fitnah?”
Melalui hatinya yang tak pernah ternoda oleh kemaksiatan semenjak menjadi pertapa, Ki Renggo dapat merasakan segala sesuatu lebih jernih dan terang. Ia tahu bahwa ada kekuatan sihir kuat yang telah memengaruhi kakaknya. “Semua orang yang hadir di rumah Kanjeng Wotwesi tidak akan menyadari bahwa mereka telah disihir melalui berbagai acara dan pertunjukan!”
“Sudah, hentikan kebiasaan burukmu itu!” potong Eyang Semi, “Aku bukan anak kemarin sore yang tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk! Jadi jangan sok ngajari! Entah siapa yang ngomong ke kamu, tapi aku yang ada di sana dan langsung lihat dengan mata kepalaku sendiri! Kanjeng itu adalah orang yang ahli komunikasi. Tutur katanya memang mampu menyentuh hati setiap orang dan bisa membuat mereka sampai tunduk dan bertekuk lutut. Itu yang kamu anggap sihir?”
“Saya yakin belakangan ini Mbakyu pun merasakan ada tanda keanehan-keanehan!”