Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (109): Menyesal Telah Berbuat Baik

19 November 2024   04:34 Diperbarui: 19 November 2024   04:44 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Ki Menak Songkok mengumpulkan keluarga besarnya, adik-adik, paman dan sepupu serta orang-orang yang selama ini ikut berjuang membesarkan Gajah Unggul. Para wanita berkumpul di tempat terpisah, tapi ada pintu lebar yang menghubungkan kedua ruang itu, sehingga mereka masih bisa menyimak apapun pembicaraan di ruang utama.

"Aku merasa bersalah kepada romo!" ucap Ki Songkok dengan nada penuh penyesalan. "Kesalahan terbesarku adalah karena sangat mengaggumi Kanjeng Wotwesi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kepada kalian semua, aku juga minta maaf!"

Impian indah keluarga besar Ki Ageng Menak porak-poranda. Wajah-wajah yang sedang berduka tidak lagi mampu disembunyikan.

"Selama ini," sambung Ki Songkok, "Romo mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada istilah menyesali kegagalan dalam sebuah perjuangan. Tidak ada yang namanya merenungi pahitnya kekalahan. Kita diajarkan apa arti disiplin pribadi, tapi kebetulan saja kita tertumbuk pada bajingan besar. Seperti yang pernah dikatakan romo, dan beliau benar bahwa Kanjeng Wotwesi adalah pemimpin para bajingan! Untuk menebus kesalahanku, maka malam ini juga, akan aku hadapi penjahat busuk itu dengan bertarung sampai mati!"

Keluarga besar itu baru sadar kenapa Ki Songkok mengenakan baju bagus, lengkap dengan sebilah keris pusaka terselip di pinggang, serta ikat kepala.

"Jangan terbawa emosi, Kanda. Kita harus pikirkan jalan terbaik!" sahut Ki Krapak. Putera bungsu Ki Ageng Menak.

"Inilah jalan terbaik. Aku tidak akan meminta kalian untuk ikut bersama aku!"

"Apa Kanda pikir kami bisa berdiam diri saja melihat saudara kami bertempur bertaruh nyawa?" sahut Ki Menak Singo. Putera ke tiga Ki Ageng itu adalah salah seorang prajurit berpangkat cukup tinggi di Kerajaan Demak. "Bukankah selama ini badai puting beliung tidak kita pedulikan karena kebersamaan kita jauh lebih kuat. Lagi-lagi kita hanya perlu kebersamaan. Dengan bersama kita tidak pernah takut menghadapi maut!"

"Sepakat, kalau maut itu mengerikan, maka bersamalah yang membuatnya indah. Semua ini merupakan kesalahan kita, jadi kita semua juga harus berani bertanggung jawab!" Ki Menak Simo, putera ke dua menambahkan.

Ki Ageng Menak telah berhasil mendidik sebuah generasi baru yang hebat. Rumahnya adalah ruang pendidikan dan pelatihan. Ia ajarkan anaknya untuk kalahkan kantuk, kalahkan lelah, demi menata satu persatu batu bata untuk bangunan masa depan yang lebih baik.

"Ketika sedang melakukan perjalanan ke Majapahit," kata Paman Gondo, adik Ki Ageng Menak, "Ingatanku kembali pada sebuah peristiwa tewasnya Ki Blandotan Kobra di dalam langgar di Jombang. Saranku, pergilah salah satu dari kalian ke sana, untuk minta bantuan Mbah Kucing. Dia yang melumpuhkan penjahat besar Ki Blandotan. Aku punya keyakinan beliaulah orang yang bisa menandingi kesaktian Kanjeng Wotwesi!"

"Mbah Kucing? Mohon maaf, Paman!" potong Ki Singo, "Apakah orang tua bernama aneh itu seorang pendekar yang memiliki padepokan besar?"

Ki Gondo terperangah mendengar pertanyaan itu. "Itulah kesalahan besar kebanyakan orang. Mereka sering terjebak gelar dan nama besar!"

"Bagus, tapi terjebak itu yang selama ini cukup untuk membuat saya jadi orang sukses!" bantah Ki Krapak.

"Tapi akhirnya sekarang...?"

Keheningan kembali menyelimuti.

"Satu hal yang sering kali diucapkan romo adalah pepatah 'Fajar menyingsing, elang menyongsong'!" Ki Songkok menengahi, "Artinya sambutlah hari dengan semangat berusaha yang gigih. Kita tetap akan berusaha mengeluarkan kemampuan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tujuan itu tidak tercapai atau kita kalah dalam mengupayakannya, tapi tidak boleh ada kata menyerah!"

"Setuju. Kesabaran kita sudah habis!"

"Hanya melalui perang inilah jalan terakhir yang bisa kita upayakan!"

"Para penjahat tengik itu harus segera diberi pelajaran!"

Para sahabat dan puluhan anak buah keluarga Ki Menak menyatakan diri siap membantu. Mereka selama ini merasa berhutang budi kepada keluarga tersebut.

Ki Menak Songkok, Ki Menak Simo, Ki Menak Singo dan Ki Menak Krapak, bukanlah orang sembarangan. Nama mereka selama ini cukup disegani di dunia persilatan. sejak kanak-kanak mereka digembleng sendiri oleh Ki Ageng dengan berbagai ilmu kanuragan. Setelah dewasa mereka masing-masing melanjutkan berguru kepada para pendekar yang menjadi sahabat ayahnya.

Tidak ada cahaya bulan di langit, dan awan hitam tebal mendatangkan cuaca yang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Suara kucing liar yang bertengkar di kejauhan menambah dalamnya kesunyian. Kesunyian yang mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka ketahui, yang menimbulkan kegelisahan.

Tantangan keluarga Menak dijawab Intijiwo dengan suasana tetap tenang. Bahkan Kanjeng Wotwesi tidak melakukan persiapan apapun untuk menghadapi tantangan itu. Pertempuran baginya adalah semacam rekreasi.

"Para bajingan busuk!" bentak Ki Songkok, "Berani juga kalian datang?"

"Kalian menjual, kami dengan senang hati membeli!" teriak Ki Dewan, berdiri di depan sekelompok pasukan.

"Hei bangsat!" balas Ki Krapak, "Jangan berlagak seolah-olah kalian itu orang yang tidak berdosa!"

"Ki Dewan!" seru Ki Songkok sambil menatap tajam ke arah lelaki tampan itu. Batinnya terasa nyeri apabila mengingat kebodohannya di awal penyebab hancurnya Gajah Unggul.

Suatu ketika istri Ki Songkok sakit aneh. Sakit mendadak seperti yang dialami Ki Ageng Menak. Ki Dewan membesuk ke rumah sambil mengatakan agar Ki Songkok fokus saja merawat si istri. Untuk sementara perusahaan akan diurus oleh lelaki yang saat itu datang berperan sebagai seorang sahabat yang sangat peduli dan murah hati. Ki Songkok merasa lega dan mempercayakan semuanya.

Ki Songkok menggenggam erat pedangnya. "Sampai hari ini aku masih sulit percaya ada manusia sejahat dan sebusuk kamu, Dewan!"

"Sudah jangan banyak omong!" teriak Ki Dewan melangkah maju, "Tunggu apa lagi?"

Empat Menak bersaudara segera menerjang dengan pedangnya masing-masing, mengurung Ki Dewan dan Ki Jangkar. Permainan pedang keempat bersaudara itu memang hebat dan sangat berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari berbagai arah. Seandainya saja Ki Dewan dan Ki Jangkar tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, tentu mereka berdua sudah menjadi daging cincang. Pedang-pedang di tangan keempat bersaudara itu adalah pedang yang terbuat dari baja pilihan. Pedang yang dimainkan dengan gesit itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinar berkilauan menyambar-nyambar.

Dua kubu yang berhadap-hadapan itu pun tanpa dikomando lagi langsung saling menyerang dengan sengit. Suara teriakan ditimpa denting berbagai senjata yang beradu menimbulkan kengerian. Dua kubu rupanya memiliki kekuatan seimbang. Sampai sepuluh menit berlalu belum tampak pihak mana yang akan memenangkan pertarungan.

Teriakan dan jerit kesakitan mengiringi keringat dan darah yang mulai bercucuran membasahi tanah. Tenaga semakin melemah. Kedua kubu tampak kelelahan.

Setelah setengah jam berlalu, seorang yang berdiri di pinggir arena pertempuran memberi kode dengan tepukan tangan. Tepukan tangan yang mengandung tenaga dalam kuat, sehingga membuat semua orang berhenti dan berpaling ke arahnya. Dia adalah Kanjeng Wotwesi, didampingi Iblis Muka Gedek. Mereka berdua masih duduk di atas kuda mereka masing-masing, seolah sebagai pengamat pertempuran.

Kanjeng Wotwesi berbicara dengan suara halus namun penuh mengandung ancaman. "Anak muda, nyawa kalian sekarang berada di telapak tangan kami!"

"Diam kau bajingan!" teriak Ki Krapak di sela nafasnya yang tersengal-sengal, "Penipu rendah seperti kalian akan tetapi berani berlagak sok jagoan!"

"Kurang ajar. Kamu pasti sudah bosan hidup!" Kanjeng Wotwesi kemudian memberi kode agar Ki Dewan dan anak buahnya mundur.

Tiba-tiba dengan sekali melompat Iblis Muka Gedek sudah berada di depan keempat Menak bersaudara. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat para ahli silat melongo disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda tanpa membuat binatang itu terkejut, lantas masih disusul gerakan jungkir balik di udara dan tahu-tahu meluncur turun di hadapan musuh.

Keempat Menak bersaudara kembali berkobar-kobar amarahnya. Keluarga mereka sudah ditipu, dikhianati, dirampas bisnisnya, sekarang dihina sedemikan rendah. Mereka pun memperhebat serangan-serangan pedangnya, dan jika saat itu harus kalah, mereka bertekad untuk kalah terhormat dan mati bersama.

Iblis Muka Gedek pun terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kadang kala harus menangkis dengan lengan jika elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran empat batang pedang.

Ki Menak Songkok dan ketiga saudaranya terkejut bukan main menyaksikan betapa iblis itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja. Padahal, pedang mereka terbuat dari baja yang keras dan sangat tajam. Mereka sadar bahwa musuhnya itu benar-benar sangat sakti dan mereka pun tidak heran jika mendengar banyak pendekar hebat yang tewas di tangan iblis itu.

"Ha..ha..ha!" Suara ketawa dari balik topeng gedek itu terdengar menyeramkan sekali. Membuat merinding orang yang mendengarnya. Mendadak iblis itu menggerakkan tangan kiri mencengkeram pedang Ki Simo yang ditebaskan ke arah leher. Ujung pedang itu ditekuk hingga patah.

Menak bersaudarah tidak menyangkah jurus-jurus maut yang telah mereka latih puluhan tahun hanya ditertawakan oleh si muka gedeg.

Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu berkali-kali tanpa sadar mengeluarkan seruan terkejut saking kagumnya. Pemuda bertopeng itu dapat menerima hantaman dan sabetan pedang tanpa mengalami cedera atau terluka sedikit pun. Mereka nyaris tak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda memiliki kekebalan sehebat itu.

Untungnya bahwa empat orang bersaudara itu memiliki gerakan yang cukup lincah, sehingga sejauh itu mampu berkelit dari setiap serangan balasan.

"Muka gedeg keparat!" Ki Simo membentak sambil meloncat ke depan, lantas membabat kepala iblis itu dengan pedang yang setengahnya patah. Gerakannya cepat dan disertai tenaga dalam kuat.

Akan tetapi, iblis itu menggerakkan tangan menyambut, dan pedang yang tajam itu sudah ditangkap begitu saja oleh jari-jari tangannya.

Ki Krapak dan Ki Singo secara bersamaan menusuk ke arah dada. Iblis itu menangkis serangan dengan pedang hasil rampasan. Ki Krapak dan Ki Simo merasa betapa tangan mereka yang menggenggam pedang tergetar hebat, tanda betapa luar biasa kuatnya tenaga tangkisan itu.

"Iblis keparat!" Ki Songkok dengan nekad menerjang dengan pedangnya, menyambar ke arah leher. Ketika dengan gerakan mudah sambaran itu dielakkan oleh lawan, secepat kilat pedang itu sudah dilanjutkannya dengan tusukan ke arah dada, tepat ke arah jantung.

Akan tetapi, yang membuat semua orang tercengang heran, iblis itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti menerima tusukan yang digerakkan dengan sepenuh tenaga itu.

Pedang itu tepat mengenai dada, tapi kemudian patah dengan mengeluarkan suara sangat nyaring. Sungguh mengagumkan. Menerima tusukan pedang dengan dada begitu saja jelas menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan tingkat tinggi. Kali ini Iblis itu sengaja ingin memamerkan ilmunya untuk membuat lawannya semakin berkecil hati.

Di saat kritis itu, tampak beberapa orang muncul memberikan bantuan. Rupanya Ki Gondo datang dengan membawa murid-muridnya.

"Paman Gondo!" panggil keempat bersaudara hampir bersamaan. Mereka merasa gembira.

"Maaf, aku terlambat datang!" kata Ki Gondo dan langsung mengirim pukulan dan tendangan ke arah Iblis Muka Gedeg. Akan tetapi, lawan yang diserangnya dengan mudah meloncat ke belakang dan serangan beruntun itu pun mengenai tempat kosong.

"Terima kasih, Paman!" balas Ki Songkok. "Paman datang di saat yang tepat!"

"Demi membela kebenaran, aku siap mati bersama kalian!" Sebelum menyerang lagi, Ki Gondo sengaja menyampaikan beberapa kalimat untuk memotivasi para kemenakannya, disamping untuk menyerang mental lawan. "Gusti Allah pasti melindungi orang-orang benar!" lalu dengan cepat ia sudah meloncat ke depan.

Ki Gondo memiliki ajian Brojomusti, yang membuat tinjunya mampu menghancurkan batu karang. Terdengar suara keras ketika pukulan-pukulannya mengenai sasaran, namun tanpa menimbulkan luka berarti. Melihat itu, Ki Gondo maklum bahwa ilmu kebal musuhnya memang sangat hebat.

Dan kini, di bawah temaram cahaya bulan yang mulai muncul, Ki Gondo meloncat tinggi dan meluncur turun dengan tendangan dasyat. Iblis itu mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya dan secepat kilat menangkap kaki yang melayang itu, memutar di udara dan kemudian membantingnya hingga tanah seperti terguncang. Diangkat lagi dan secepat kilat dibanting lagi. Setelah itu, tubuh yang bagaikan boneka jerami itu dilemparkan jauh. Tubuh Ki Gondo terguling-guling beberapa kali.

"Paman!"

"Aku tidak apa-apa!" Ki Gondo mencoba kedengaran kuat, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas. Sambil terengah-engah, ia menyeret badan dengan susah payah, dan dalam kesengsaraan itu ia berusaha menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya memuntahkan darah segar, dan roboh bersamaan hembusan nafas terakhir.

"Paman!"

Tidak ada jawaban.

Menak bersaudara sesaat saling berpandangan. Tenaga mereka sudah banyak terkuras. Napas mulai terputus-putus menunjukkan tanda-tanda lelah. Butir-butir keringat muncul di dahi, di sekitar anak rambut, menetes dan membasahi wajah. Senjata pun rasanya tidak berguna.

"Kau percaya betul dengan kekuatan iblismu, dan mengira tak ada tandingannya di dunia ini?" Ki Songkok mencoba menggugah hati nurani musuhnya. Barangkali masih punya sisa belas kasih.

"Ha..ha..ha..!"

"Kau benar-benar iblis!"

"Ya kamu benar, aku memang iblis!"

Mereka saling berpandangan lagi, mungkin untuk terakhir kali, lalu dengan perasaan putus asa berteriak keras dan menyerang secara bersamaan. Teriakan itu mereka maksudkan untuk meminta bantuan teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang terdesak hebat oleh gempuran dasyat.

Tidak ada harapan. Satu per satu keempat Menak bersaudara roboh dengan bersimbah darah.

Iblis Muka Gedeg belum pernah meninggalkan musuhnya dalam keadaan masih bernafas. Anehnya, tepat pada saat ia akan menusukan pedang ke jantung Ki Menak Songkok, tiba-tiba bayangan Mbok Cipluk hadir. Seakan-akan pengasuhnya itu berdiri di depannya dengan menampakan wajah prihatin.

"Kamu masih ingat? Kamu pernah berjanji untuk tidak membunuh orang lagi?" Kalimat itu kembali terngiang di telinganya.

Untuk memuaskan nafsunya, sebagai gantinya, dia hanya menebas putus sebelah lengan Ki Songkok. Lalu meninggalkannya dengan harapan musuhnya itu akan mati kehabisan darah.

'Kali ini aku menuruti nasehat Mbok! Biar Mbok senang di sana!'

***

Lewat tengah malam, Ki Menak Songkok terjaga, terbaring di antara mayat-mayat yang puluhan jumlahnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

'Apakah aku sudah mati?' pikirnya samar.

Ia seolah masih mendengar jeritan dan pekikan pertarungan, serta senjata-senjata yang berdentingan. Terasa suara itu bagai berlanjut terus menghuni kepalanya untuk selamanya. Timbul tenggelam. Lalu terbayang satu per satu wajah adik-adiknya. Menimbulkan kepedihan yang begitu mendalam.

'Sudah berapa lama aku pingsan di sini?' Ia bertanya-tanya sambil memandang langit. Secara ajaib ia belum mati. Masih ada kekuatan yang berpihak kepadanya. Itu pasti. "Ya Tuhan!" Tubuhnya mengalami mati rasa. "Apa ada yang masih hidup?" panggilnya dengan suara parau. Sepi.

Sesaat kemudian ia mencoba bangun, tapi menggerakkan sebelah tangan pun tak sanggup. Tangan itu kaku, seperti halnya bagian anggota tubuh yang lain. Ia baru menyadari bahwa dirinya sudah terluka parah. sebelah lengannya putus. Gumpalan darah mengering di atas luka.

Lalu ia terbaring diam, mendengarkan keheningan. Penderitaan itu membangkitkan kesadaran. Tiba-tiba terlintas sebuah nama di dalam pikirannya. Nama itu adalah Mbah Kucing. Ia berjanji dalam hati akan menemui kakek bernama aneh itu.

***

Sebulan kemudian, dengan susah payah Ki Menak Songkok berhasil menemukan langgar tempat Mbah Kucing. Tapi orang yang dicarinya tidak ada di tempat. Ia tampak begitu kecewa. Orang-orang di langgar tidak satu pun yang tahu ke mana perginya kakek itu.

Kebo Klebat yang hari itu memata-matai langgar juga bertanya-tanya. Ia beberapa kali melihat Alya, bidadari pujaannya, tapi sama sekali tidak melihat Mbah Kucing. Begitu melihat Ki Songkok berada di teras langgar, ia langsung menghampirinya.

"Selamat siang!" sapa Kebo Klebat ramah.

"Selamat siang!" sahut Ki Songkok sama sekali tidak mengenenali pemuda yang berdiri di hadapannya itu. Beberapa orang yang berada di teras memberi tempat kepada pemuda yang baru datang itu untuk duduk.

"Terima kasih. Maaf, saya Klebat!" Ia memperkenalkan diri ke semua orang dan kemudian berpaling ke Ki Songkok. "Saya dengar Ki sanak sedang mencari Mbah Kucing!"

"Benar! Apakah Ki sanak tahu di mana tempat beliau?"

"Saya sebetulnya juga ingin menemui beliau! Tapi rupanya kita sama-sama tidak beruntung. Maaf, kalau boleh tahu ada maksud apa anda mencari beliau?"

Sejenak Ki Menak Songkok tampak meringis saat menggeser pahanya. Luka di beberapa bagian tubuhnya belum sepenuhnya kering. "Saya ingin minta tolong sama beliau!"

"Minta tolong?"

"Benar!" Ki Songkok pun akhirnya menceritakan peristiwa yang telah menimpahnya. "Saya adalah salah seorang pengagum Kanjeng Wotwesi. Saya sering berdoa agar diberikan petunjuk supaya bisa sukses seperti beliau!" tuturnya mengawali cerita.

Suatu saat, melalui cara yang sama sekali tidak terduga, dia bertemu dengan Ki Dewan, seorang kepercayaan Kanjeng Wotwesi. Ki Dewan menyampaikan bahwa Intijiwo berniat menjalin kerja sama bisnis dengan Gajah Unggul, perusahaan milik keluarga Ki Ageng Menak.

Ki Songkok yakin bahwa doanya telah dijawab oleh Tuhan. Seorang pendekar dan pengusaha besar yang sangat sukses menawarkan kerja sama. Suatu peluang emas yang sangat langka.

Ki Songkok dan ketiga saudaranya sangat gembira mendengar kabar itu. Hampir setiap hari mereka membanggakannya pada ayahnya, Ki Ageng Menak, orang yang justru menentang keras rencana itu. Sampai akhirnya Ki Ageng sakit parah dan sampai meninggal dunia.

Tibalah saat yang dinantikan, mereka diundang oleh Kanjeng Wotwesi untuk bertemu dan menandatangani surat perjanjian.

"Awalnya semua berjalan baik-baik saja," papar Ki Songkok, "Tapi tidak lama kemudian mereka menampakan wajah aslinya. Saya baru sadar seperti apa teknik bisnis Intijiwo yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya mengetahui tehnik bisnis yang begitu licik dan kejam!"

Semua yang mendengar cerita itu tertegun. Mereka berusaha memastikan apakah Ki Songkok itu orang yang waras akalnya.

"Tapi setelah berbisnis dengan mereka," sambung Ki Songkok, "Ternyata semua itu hanya topeng. Bisnis Intijiwo adalah bisnis manipulatif, yang akan digunakan untuk merampas bisnis orang lain!"

Tapi siapa yang akan percaya dengan cerita orang cacat seperti Ki Menak Songkok? Sementara di sisi lain Kanjeng Wotwesi terkenal begitu dermawan dan banyak memberi bantuan kepada masyarakat miskin.

"Oleh karena itu, sebetulnya kepada siapa saja yang memiliki kesaktian, saya mau minta tolong agar menghukum orang seperti Kanjeng Wotwesi dan Intijiwo. Harus ada yang menghentikan mereka, agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi!"

"Begini saudaraku!" kata Kebo Klebat, "Lebih baik anda menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut orang-orang yang iri dengki. Banyak para pembesar kerajaan, para hartawan dan pendekar yang menjadi saksi, bahwa Kanjeng Wotwesi adalah orang baik. Beliau dinobatkan sebagai pendekar besar dan pengusaha terkaya di seluruh bumi Nusantara!"

Kebo Klebat alias Iblis Muka Gedek sadar akan kesalahannya tidak menghabisi Ki Songkok dalam pertarungan sebulan yang lalu. Ia menyesal telah berbuat baik. Tapi tidak apa-apa, demi menghormati mendiang Mbok Cipluk yang telah berpulang seratus hari sebelum pertarungan itu terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun