Empat Menak bersaudara segera menerjang dengan pedangnya masing-masing, mengurung Ki Dewan dan Ki Jangkar. Permainan pedang keempat bersaudara itu memang hebat dan sangat berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari berbagai arah. Seandainya saja Ki Dewan dan Ki Jangkar tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, tentu mereka berdua sudah menjadi daging cincang. Pedang-pedang di tangan keempat bersaudara itu adalah pedang yang terbuat dari baja pilihan. Pedang yang dimainkan dengan gesit itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinar berkilauan menyambar-nyambar.
Dua kubu yang berhadap-hadapan itu pun tanpa dikomando lagi langsung saling menyerang dengan sengit. Suara teriakan ditimpa denting berbagai senjata yang beradu menimbulkan kengerian. Dua kubu rupanya memiliki kekuatan seimbang. Sampai sepuluh menit berlalu belum tampak pihak mana yang akan memenangkan pertarungan.
Teriakan dan jerit kesakitan mengiringi keringat dan darah yang mulai bercucuran membasahi tanah. Tenaga semakin melemah. Kedua kubu tampak kelelahan.
Setelah setengah jam berlalu, seorang yang berdiri di pinggir arena pertempuran memberi kode dengan tepukan tangan. Tepukan tangan yang mengandung tenaga dalam kuat, sehingga membuat semua orang berhenti dan berpaling ke arahnya. Dia adalah Kanjeng Wotwesi, didampingi Iblis Muka Gedek. Mereka berdua masih duduk di atas kuda mereka masing-masing, seolah sebagai pengamat pertempuran.
Kanjeng Wotwesi berbicara dengan suara halus namun penuh mengandung ancaman. "Anak muda, nyawa kalian sekarang berada di telapak tangan kami!"
"Diam kau bajingan!" teriak Ki Krapak di sela nafasnya yang tersengal-sengal, "Penipu rendah seperti kalian akan tetapi berani berlagak sok jagoan!"
"Kurang ajar. Kamu pasti sudah bosan hidup!" Kanjeng Wotwesi kemudian memberi kode agar Ki Dewan dan anak buahnya mundur.
Tiba-tiba dengan sekali melompat Iblis Muka Gedek sudah berada di depan keempat Menak bersaudara. Loncatannya itu memang luar biasa dan akan membuat para ahli silat melongo disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda tanpa membuat binatang itu terkejut, lantas masih disusul gerakan jungkir balik di udara dan tahu-tahu meluncur turun di hadapan musuh.
Keempat Menak bersaudara kembali berkobar-kobar amarahnya. Keluarga mereka sudah ditipu, dikhianati, dirampas bisnisnya, sekarang dihina sedemikan rendah. Mereka pun memperhebat serangan-serangan pedangnya, dan jika saat itu harus kalah, mereka bertekad untuk kalah terhormat dan mati bersama.
Iblis Muka Gedek pun terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kadang kala harus menangkis dengan lengan jika elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran empat batang pedang.
Ki Menak Songkok dan ketiga saudaranya terkejut bukan main menyaksikan betapa iblis itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja. Padahal, pedang mereka terbuat dari baja yang keras dan sangat tajam. Mereka sadar bahwa musuhnya itu benar-benar sangat sakti dan mereka pun tidak heran jika mendengar banyak pendekar hebat yang tewas di tangan iblis itu.