Lewat tengah malam, Ki Menak Songkok terjaga, terbaring di antara mayat-mayat yang puluhan jumlahnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
'Apakah aku sudah mati?' pikirnya samar.
Ia seolah masih mendengar jeritan dan pekikan pertarungan, serta senjata-senjata yang berdentingan. Terasa suara itu bagai berlanjut terus menghuni kepalanya untuk selamanya. Timbul tenggelam. Lalu terbayang satu per satu wajah adik-adiknya. Menimbulkan kepedihan yang begitu mendalam.
'Sudah berapa lama aku pingsan di sini?' Ia bertanya-tanya sambil memandang langit. Secara ajaib ia belum mati. Masih ada kekuatan yang berpihak kepadanya. Itu pasti. "Ya Tuhan!" Tubuhnya mengalami mati rasa. "Apa ada yang masih hidup?" panggilnya dengan suara parau. Sepi.
Sesaat kemudian ia mencoba bangun, tapi menggerakkan sebelah tangan pun tak sanggup. Tangan itu kaku, seperti halnya bagian anggota tubuh yang lain. Ia baru menyadari bahwa dirinya sudah terluka parah. sebelah lengannya putus. Gumpalan darah mengering di atas luka.
Lalu ia terbaring diam, mendengarkan keheningan. Penderitaan itu membangkitkan kesadaran. Tiba-tiba terlintas sebuah nama di dalam pikirannya. Nama itu adalah Mbah Kucing. Ia berjanji dalam hati akan menemui kakek bernama aneh itu.
***
Sebulan kemudian, dengan susah payah Ki Menak Songkok berhasil menemukan langgar tempat Mbah Kucing. Tapi orang yang dicarinya tidak ada di tempat. Ia tampak begitu kecewa. Orang-orang di langgar tidak satu pun yang tahu ke mana perginya kakek itu.
Kebo Klebat yang hari itu memata-matai langgar juga bertanya-tanya. Ia beberapa kali melihat Alya, bidadari pujaannya, tapi sama sekali tidak melihat Mbah Kucing. Begitu melihat Ki Songkok berada di teras langgar, ia langsung menghampirinya.
"Selamat siang!" sapa Kebo Klebat ramah.
"Selamat siang!" sahut Ki Songkok sama sekali tidak mengenenali pemuda yang berdiri di hadapannya itu. Beberapa orang yang berada di teras memberi tempat kepada pemuda yang baru datang itu untuk duduk.