Oleh: Tri Handoyo
Desa terpencil itu digemparkan dengan penemuan mayat seorang perempuan tua. Kondisi mayat tampak masih utuh, meskipun sebagian jazad nyaris dimangsa anjing liar. Mayat ditemukan oleh Wagino, seorang penggembala kambing yang biasa melewati ladang tersebut. Awalnya ia melihat ada sejumlah anjing liar mengerubungi sesuatu. Curiga dengan hal itu, ia langsung mendatangi dan akhirnya melihat adanya sosok mayat. Panik dengan temuan itu, ia langsung melaporkannya ke kepala dusun dan akhirnya sampai kepada pihak berwenang di desa.
Selanjutnya, dari hasil identifikasi diketahui mayat tersebut bernama Mbok Cipluk, berumur sekira 75 tahun. Warga dusun setempat yang diam-diam meninggalkan rumahnya belasan tahun silam. Hal tersebut dikuatkan setelah para tetangga dekat mengenali ciri-ciri korban. Jenazah lalu diterima tetangga dan dilanjutkan pemakaman hari itu juga.
Kabar meninggalnya Mbok Cipluk sampai ke Padepokan Intijiwo, berselang dua hari setelah pembantu perempuan itu pamit pulang kampung. Semua warga Lembah Gunung Pegat ikut berkabung.
Sore itu juga Klebat langsung berangkat untuk melihat kuburan Mbok Cipluk, dengan segudang rasa penasaran ingin memastikan kabar yang mengatakan bahwa pengasuhnya tewas dibunuh oleh seorang perampok.
Ia ditemani oleh Kanjeng Wotwesi, Ki Dewandaru dan beberapa orang pengawal. Mereka disambut oleh kepala dusun dan para tetangga.
"Menanggapi laporan tersebut, beberapa warga yang dipimpin oleh Pak Lurah langsung pergi menuju lokasi penemuan," terang Kepala Dusun.
"Siapa saja yang bisa menemukan pembunuhnya?" kata Kanjeng Wotwesi, "Akan aku beri hadiah sekepal emas!"
Kepala dusun dan orang-orang kampung tentu sudah pernah mendengar nama besar Kanjeng yang terkenal murah hati dan kaya raya itu. Itulah kenapa mereka berbondong-bondong datang agar bisa menyaksikan langsung. Kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang kedua kalinya dalam kehidupan mereka.
"Tapi jika pembunuh itu tidak bisa ditemukan, kampung ini akan aku obrak-abrik!" ancam Klebat dengan menahan amarah. Ia ingat bagaimana dulu para tetangga memperlakukan dirinya dan Mbok Cipluk dengan sangat buruk.
Mereka semua bergidik mendengarnya. Mereka tahu anak muda yang diasuh oleh Mbok Cipluk itu dulunya adalah bocah pemalu, dan kini mereka baru tahu bahwa dia ternyata adalah cucu Kanjeng Wotwesi. Ancaman itu pasti tidak main-main.
Kepala dusun memberanikan diri maju untuk menceritakan awal ditemukan jenazah Mbok Cipluk. "Yang menemukan mayat itu adalah Wagino, seorang penggembaa!" urainya dengan suara gemetar. "Setelah penemuan mayat, baru muncul seorang kusir yang cerita kalau ada perampok itu mencegat dokarnya. Sepertinya perampok itu orang yang sangat sakti, karena si kusir bahkan tidak melihat bagaimana cara perampok itu mengambil penumpangnya dari dokar! Si kusir yang sangat ketakutan lalu melarikan dokarnya dengan cepat!"
"Bisakah kusir itu didatangkan ke sini sekarang juga?" sahut Kanjeng Wotwesi.
"Mohon maaf, Kanjeng! Baru kemarin dia ditemukan tewas di dalam kamar tidurnya! Padahal istrinya bilang ia tidak sakit apa-apa!"
"Orang sakti merampok perempuan tua!" sahut Klebat dengan nada heran. "Apa yang mau dia ambil? Baju nenek desa?"
"Kami juga bertanya-tanya keheranan?" timpal kepala dusun yang diikuti anggukan kepala beberapa orang.
"Aku akan kejar pembunuh itu sampai ke lubang semut!" sumbar Klebat.
Kanjeng Wotwesi dan Ki Dewan merasa sedikit kikuk. Ucapan Klebat itu seolah-olah ditujukan langsung kepada mereka berdua, yang sesungguhnya paling bertanggungjawab atas kejadian itu.
"Saya juga akan berikan hadiah kepada siapa saja yang bisa memberikan informasi atau bisa menemukan barang-barang Mbok Cipluk yang dicuri maling itu!" sahut Kanjeng Wotwesi.
"Dan saya sendiri akan menjamin maling kecil itu mendapat hukuman yang berat!" Ki Dewan menambahkan. Ia tidak pernah menyangkah bahwa menghilangkan nyawa seorang perempuan tua saja akan mendatangkan persoalan serumit itu.
***
Klebat duduk termenung di dalam kamarnya. Seandainya ia punya seorang teman. Tidak usah banyak. Satu saja, yang sepenuhnya dapat dipercaya dan mengenalnya dengan baik, seperti Mbok Cipluk. Itulah yang ia rindukan.
Ingatannya kepada gadis Jombang mulai kembali menari-nari. Menimbulkan harapan yang sanggup menenggelamkan kerinduannya kepada mendiang pembantunya. Itulah kini yang paling ia dambakan di dunia.
Memang ada eyang dan para pengawal serta para pembantu di dekatnya, tapi pada saat seorang pemuda menginjak umur di atas dua puluh tahunan, ada hal-hal tak menentu di dalam dirinya yang tidak dapat dijawab oleh keberadaan mereka semua.
Sudah beberapa kali Klebat pergi ke warung ayam bakar hanya agar, jika beruntung, bisa secara sembunyi-sembunyi mengamati gadis pujaannya. Jika sudah melihatnya, meskipun dari jarak jauh, itu sudah cukup membuatnya senang. Itu sudah bisa menghibur hatinya sampai beberapa hari. Sebaliknya jika gadis itu tidak kelihatan, ia akan pulang dengan wajah muram.
Hal seperti itu tentu tidak luput dari perhatian Ki Woto, si pemilik warung. Ia hanya bisa menarik nafas panjang menyaksikan pelanggan barunya itu melakukan hal seperti yang banyak dilakukan pemuda desa. Ia sendiri mengakui bahwa Alya, putri Ki Demang Japa itu, memang gadis yang istimewa. Paling istimewa yang pernah ditemuinya.
"Kenapa Ki sanak tidak mencoba mengajaknya berkenalan?" tanya Ki Woto yang membuat Klebat gelagapan.
"Ha.., Apa? Memangnya siapa yang mau berkenalan, Pak?" bantahnya menyembunyikan rasa malu.
"Ki sanak sudah tidak lagi menagih cerita tentang pendekar-pendekar kepada saya! Sepertinya cerita pendekar sudah tidak menarik lagi. Kalah menarik dibanding sama Alya!"
"Ah! Bapak bisa saja!" Jujur saja ia memang takut mendekatinya karena gadis itu pernah mengatainya sebagai orang jahat. "Namanya Aliya?"
"Nah kan!" Ki Woto tersenyum penuh arti. "Saya bisa membaca pikiran anda. Iya benar Tuan Pendekar. Namanya Alya, putri tunggal Ki Demang Japa!"
Itu informasi yang sangat berarti. 'Kenapa nama itu seperti sudah tersimpan lama dalam benaknya'. Sepenggal nama yang terdengar lebih merdu dibanding tembang-tembang cinta masa itu. 'Aliyah!'
Dari seorang pengunjung warung, Klebat mendapat informasi mengenai seorang dukun spesialis pelet terkenal yang bernama Mbah Myang Mimbe.
Petang itu juga ia pergi ke rumah Mbah Myang Mimbe. Sebetulnya Mbah Myang Mimbe yang asli sudah lama tiada. Tewas dalam pertempuran melawan Ki Lurah Setiaji yang dibantu Pendekar Kaki Malaikat. Tapi kemudian seorang murid si dukun meneruskan membuka praktek perdukunan itu dengan memakai nama Mbah Myang Mimbe.
Mbah Myang Mimbe yang asli memiliki wajah mengerikan dan dengan sorot mata yang tajam. Sedangkan muridnya itu hanya mampu meniru cara berpakaian lengkap dengan ikat kepala warna hitamnya, dengan rambut dan jenggot yang dibiarkan panjang tak terawat, soal ilmunya belum ada setengahnya.
Namun demikian, telah banyak yang menjadi korban praktek ilmu hitamnya. Pengaruh sihir jahat dalam berbagai bentuk seperti menceraikan pasangan suami-istri, mengunci jodoh seseorang agar tidak menikah, hingga andalannya yakni ilmu pelet yang membuat seseorang bisa takluk dan tunduk.
"Siapa nama lengkapnya?" tanya si dukun.
"Saya tidak tahu persis, Mbah! Yang saya dengar hanya Aliya!"
"Aliya..! Apakah dia anak Ki Demang Japa?"
"Iya betul, Mbah!"
"Hmm..!" Dukun tua itu menatap prihatin kepada kliennya. Setelah diam beberapa saat, dia berkata, "Percaya atau tidak, Ki sanak adalah orang ke tiga puluh satu yang datang ke sini yang berniat menaklukan hati gadis itu! Terus terang dia bukan gadis sembarangan. Ada kekuatan gaib yang hebat yang selalu melindunginya!"
"Terus!"
"Maaf, Ki sanak, saya terus terang tidak mampu! Saya juga tidak mau punya urusan dengan Ki Demang! Jujur saya takut!"
"Tolong, Mbah!"
"Hm...!" Mbah Myang Mimbe seperti merenungkan sesuatu. "Apa Ki sanak bisa mendapatkan tanggal lahir atau weton gadis itu? Dan syarat yang paling penting agar pekerjaan ini jadi mudah, apa Ki sanak sanggup mendapatkan rambut dan darahnya!"
"Itu tidak mungkin, Mbah!"
"Berarti saya juga tidak mungkin bisa menolong Ki sanak!"
"Berapapun biayanya pasti akan saya bayar!"
"Ini bukan soal biaya!"
"Kalau begitu berhenti saja kamu jadi dukun pelet!"
"Maksudnya!"
Tanpa banyak bicara Klebat mencekik leher dukun tua itu, bagaikan mencekik leher seekor anak kucing. Urusan mudah.
***
Tengah malam yang sunyi. Beberapa tokoh penting hadir di langgar. Di antara mereka adalah Mpu Wicak yang menguasai banyak kitab-kitab kuno, Mbah Kadir Jailani Si Mahaguru Tasawuf, Kyai Japa yang sekaligus seorang demang, dan Lintang Pendekar Pedang Akhirat. Mereka berkumpul malam itu karena menerima undangan dari Eyang Dhara 'Mbah Kucing'.
Langgar kecil itu menjadi tampak sangat istimewa, seperti dulu ketika menjadi tempat terakhir petualangan seorang penjahat besar Ki Blandotan Kobra. Buronan Majapahit yang nama angkernya puluhan tahun mewarnai puncak dunia kejahatan itu dilumpuhkan oleh Mbah Kucing hanya dengan dua kali kibasan tangan. Serangan jarak jauh pertama mengarah ke tangan yang mencengkeram kedua anak kecil yang disandera. Membuat syaraf-syaraf lengan lumpuh. Begitu sandera bebas, serangan kilat berikutnya ke arah jantung. Jantungnya hancur seperti daging dicacah. Tubuh gagah perkasa itu roboh tanpa ada sedikit pun perlawanan. Kematian itu dianggap misterius, karena Mbah Kucing hanyalah sosok orang tua yang tampak ringkih. Peristiwa yang sempat menggemparkan dunia persilatan.
Di pintu langgar muncul dua orang lagi. Seorang kakek yang kedua matanya kelihatan seperti orang mengantuk dan tidak semangat, sama sekali tidak layak disebut pendekar besar. Usianya sembilan puluh tahun lebih. Akan tetapi, apa bila orang mendengar nama julukannya, apa lagi bagi orang-orang persilatan, tentu akan terkejut setengah mati. Dialah yang memiliki sebutan Dewa Sinting. Kiranya dari penampilannya tidak salah kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi, ia memiliki Ajian Tapak Dewa, yang hanya dengan menggunakan telapaknya ia bisa menahan sekitarnya tetap kering di saat hujan lebat turun, atau membuat sekitarnya gelap padahal matahari sedang bersinar cerah. Belum pernah terdengar ada pendekar yang bisa selamat menerima pukulan Ajian Tapak Dewa itu.
Satunya lagi seorang kakek yang tampak lebih muda dan berbadan tegap. Ia bernama Pendekar Cluring. Nama yang sangat akrab di masyarakat karena sangat jarang orang yang mampu menguasai ilmu andalan yang dimilikinya. Konon ia bisa memasuki lubang sekecil jarum asalkan ada sinar yang menerobos lubang itu. Ia juga mendapat julukan lain, yakni Maling Sakti.
Tidak lama kemudian ada angin berhembus cukup kuat. Sampai mengguncang daun pintu langgar. Padahal dedaunan di sekitar langgar tampak diam.
"Ha..ha..ha..!" tiba-tiba terdengar di teras suara berat orang tertawa, "Aku pikir sudah mau mampus! Rupanya masih gesit juga kau Mbah Gendam!"
"Kau juga hebat Pendekar Ingusan!" puji orang yang dipanggil Mbah Gendam, "He..he.., aku pikir kamu sudah masuk liang kubur, gak tahunya masih sanggup ke sini!"
Seorang berpakaian pengembara berambut gimbal panjang yang dikenal dengan nama Mbah Gendam itu mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula, sambil memandang Pendekar Ingusan dengan tajam. "Bagaimana kabarmu, Sobat?".
"He..he.., seperti yang kamu lihat sendiri!" sahut Pendekar Ingusan, "Jangan kamu kira aku sudah tidak sanggup melayanimu bertarung sampai seribu jurus! He..he.."
Mereka berdua berdiri di depan pintu langgar seperti hendak berebut masuk. Tidak banyak yang tahu bahwa kedua orang tua itu sebetulnya sedang berlomba siapa yang lebih cepat menginjakan kaki di langgar. Pendekar Ingusan berangkat tadi siang dari pertapaannya di pulau terpencil di dekat Banyuwangi, sedangkan Mbah Gendam berangkat tadi siang dari pulau kecil di dekat Jepara. Mbah Kucing memang mengirim undangan melalui telepati kepada mereka berdua baru siang tadi.
Mbah Gendam dulunya adalah seorang penguasa Bukit Gendam. Sebuah bukit angker yang tidak ada seorang pun berani mendaki kecuali pasti akan berakhir menjadi bangkai. Mayat-mayat yang dilemparkan begitu saja dari atas bukit itu menimbulkan bau bangkai hingga ke desa-desa sekitar, sehingga masyarakat menamainya Bukit Bangkai. Penguasanya, Mbah Gendam akhirnya bisa dilumpuhkan oleh Mbah Kucing.
Sementera Pendekar Ingusan mendapat julukan seperti itu karena ia selalu menenteng gasing, mainan anak-anak, yang merupakan satu-satunya warisan dari orang tuanya. Sikapnya pun tampak kekanak-kanakan. Tapi dibalik sikap itu tersembunyi kekuatan ampuh yang mematikan. Gasing itu juga merupakan senjata yang membuat mimpi buruk semua musuh-musuhnya. Pendekar Ingusan bersenjata andalan Gasing Setan.
Orang-orang maklum dengan kedatangan kedua orang aneh itu. Jangankan menegur atas ketidaksopanan itu, bahkan mereka tidak berani berprasangkah buruk. Mbah Gendam dan Pendekar Ingusan itu adalah dua dari sembilan anggota Pendekar Besar yang menguasai Nusantara. Dari sembilan itu tinggal lima orang yang masih hidup. Rata-rata usia mereka sudah di atas delapan puluh tahun, tapi mereka masih sering mengadakan pertemuan rutin, apalagi di saat-saat Nusantara memanggil.
"Assalamualaikum..!"
"Wa alaikum salam..!"
Kedua orang itu memberi hormat dengan menangkupkan kedua tangan di hadapan Mbah Kucing dan kepada yang lain. Mereka semua duduk bersila membentuk lingkaran, siap menerima informasi penting dari Sang Panglima.
Namanya telah menjadi legenda di seluruh Nusantara. Tapi karena nyaris tak ada orang yang pernah melihat wajahnya, maka cerita mengenainya dianggap sebagai dongeng belaka. Sepintas lalu orang yang melihat sosok Mbah Kucing tentu akan menganggap dia sebagai orang biasa. Banyak pandangan mata masyarakat tertipu karena mereka biasa mengukur kemuliaan seseorang dari lahiriyahnya, atau dari popularitasnya karena seringnya muncul di panggung persilatan. Siapa sangka sosok yang sangat bersahaja dan penuh kerendahan hati itu adalah Ketua Pendekar Besar Nusantara, sebuah berlian terpendam yang tiada bandingnya.
Setelah cukup saling bertegur sapa, Mbah Kucing lalu menyatakan rencana bahwa dirinya mungkin akan pergi mengasingkan diri untuk selamanya. "Saya telah menemukan tempat untuk mempersiapkan diri menyongsong perjalanan jauh. Semoga kita kelak bisa dipertemukan lagi!"
Suasana seketika menjadi hening. Tanpa memberi kesempatan orang untuk mempersoalkan hal itu, dia langsung menyampaikan informasi berikutnya, yakni kabar tentang Kanjeng Wotwesi dan ajaran Intijiwo yang belakangan sangat meresahkan masyarakat. Akan tetapi, informasi awal mengenai rencana Mbah Kucing tadi mengundang rasa penasaran yang mengganjal, sekaipun paham betul apa yang dimaksud, mereka semua tetap menginginkan penjelasan lebih jauh.
"Kabarnya dia sangat kaya raya, konon karena memiliki kemampuan bisa menggandakan emas!" ujar Mbah Kucing, mengabaikan kepenasaranan para pendekar yang mengelilinginya, "Disamping mulai banyak orang yang berdatangan ingin menjadi muridnya, juga lebih banyak lagi yang datang karena ingin menjadi kaya raya!"
"Tapi di balik cerita kesuksesannya itu penuh lumuran darah!" timpal Pendekar Sinting. "Tentu kita semua pasti sudah mendengar kasus Pendopo Emas?"
"Saya juga sedang mengikuti sepak terjang kanjeng palsu itu!" sahut Mbah Gendam tegas, "Bisa menggandakan emas itu hanya sulapan anak-anak! Kenapa penipuan semacam ini masih terus bermunculan?"
"Ya karena masih banyak orang yang gampang dibodohi sulap!"
"Bagaimana dengan pihak Kerajaan Demak? Kenapa tidak ada tindakan untuk mengatasinya?" sahut Pendekar Ingusan.
"Mohon maaf," kata Ki Demang hati-hati, "Sejauh ini Kanjeng Wotwesi memang masih aman karena dia juga menjalin kerja sama dengan banyak pejabat! Di samping sebagai seorang guru spiritual dengan Intijiwonya, memiliki banyak murid yang terkenal sakti, dan juga seperti yang dibilang Mbah Kucing, dia seorang ahli sihir!"
"Dan jangan lupa, dia mempunyai seorang cucu yang menjadi tameng terkuatnya," potong Mbah Gendam, "Kalau gak salah cucunya itu dijuluki Iblis Muka Gedek!"
"Tapi di sisi lain Kanjeng Wotwesi juga terkenal murah hati. Dia dan Intijiwo banyak memberi sumbangan dan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan!"
"Jangan sebut dia kanjeng, Anak Muda!" potong Pendekar Ingusan ringan, "Sebut saja dia penipu besar!"
"Saya sepakat dengan anda!" jawab Ki Demang.
"Soal siapa sebenarnya pendekar yang berjuluk Iblis Muka Gedek itu, biarlah Mbah Kadir yang menjelaskan!" ujar Mbah Kucing datar.
Di kalangan pendekar besar dikatakan bahwa pemilik pusaka 'Pring Kuning Sambung Nyawa Junjung Derajat' mempunyai tujuh keistimewaan yang tidak dimiliki oleh pusaka-pusaka lainnya. Adapun tujuh keistimewaan itu antara lain, membungkus ilmu dengan pembungkus seribu lapis, sehingga ilmu tidak bisa luntur karena melanggar suatu pantangan misalnya. Kemudian dengan sekali merapal mantra bisa digunakan untuk mengundang atau mendatangkan bantuan 'Bolosewu' dari bangsa jin. Bisa membangkitkan aura yang berganti-ganti sesuai kebutuhan. Seperti aura agar disegani, aura agar dikasihi, aura agar ditakuti. Bisa digunakan untuk menghimpun kekuatan inti bumi dan langit untuk didayagunakan seketika. Terakhir bisa untuk mengobati berbagai macam penyakit dan menyembuhkan luka dengan sangat cepat.
"Jadi Iblis Muka Gedek memiliki bambu pusaka itu?" tanya Pendekar Sinting.
"Benar!" jawab Mbah Kadir singkat.
"He..he..," tawa Mbah Gendam memecah keheningan. "Cukup serahkan saja urusan ini pada yang masih muda! He..he..!"
Mendadak semua mengarahkan pandangan kepada Lintang, orang yang jelas paling muda di antara mereka semua. Kemudian urusan itu sudah dianggap beres.
"Iya, ini urusan mudah, jadi cocok untuk anak muda!" timpal Pendekar Sinting sambil tersenyum aneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H