Langgar kecil itu menjadi tampak sangat istimewa, seperti dulu ketika menjadi tempat terakhir petualangan seorang penjahat besar Ki Blandotan Kobra. Buronan Majapahit yang nama angkernya puluhan tahun mewarnai puncak dunia kejahatan itu dilumpuhkan oleh Mbah Kucing hanya dengan dua kali kibasan tangan. Serangan jarak jauh pertama mengarah ke tangan yang mencengkeram kedua anak kecil yang disandera. Membuat syaraf-syaraf lengan lumpuh. Begitu sandera bebas, serangan kilat berikutnya ke arah jantung. Jantungnya hancur seperti daging dicacah. Tubuh gagah perkasa itu roboh tanpa ada sedikit pun perlawanan. Kematian itu dianggap misterius, karena Mbah Kucing hanyalah sosok orang tua yang tampak ringkih. Peristiwa yang sempat menggemparkan dunia persilatan.
Di pintu langgar muncul dua orang lagi. Seorang kakek yang kedua matanya kelihatan seperti orang mengantuk dan tidak semangat, sama sekali tidak layak disebut pendekar besar. Usianya sembilan puluh tahun lebih. Akan tetapi, apa bila orang mendengar nama julukannya, apa lagi bagi orang-orang persilatan, tentu akan terkejut setengah mati. Dialah yang memiliki sebutan Dewa Sinting. Kiranya dari penampilannya tidak salah kalau ia dianggap orang yang miring otaknya. Akan tetapi, ia memiliki Ajian Tapak Dewa, yang hanya dengan menggunakan telapaknya ia bisa menahan sekitarnya tetap kering di saat hujan lebat turun, atau membuat sekitarnya gelap padahal matahari sedang bersinar cerah. Belum pernah terdengar ada pendekar yang bisa selamat menerima pukulan Ajian Tapak Dewa itu.
Satunya lagi seorang kakek yang tampak lebih muda dan berbadan tegap. Ia bernama Pendekar Cluring. Nama yang sangat akrab di masyarakat karena sangat jarang orang yang mampu menguasai ilmu andalan yang dimilikinya. Konon ia bisa memasuki lubang sekecil jarum asalkan ada sinar yang menerobos lubang itu. Ia juga mendapat julukan lain, yakni Maling Sakti.
Tidak lama kemudian ada angin berhembus cukup kuat. Sampai mengguncang daun pintu langgar. Padahal dedaunan di sekitar langgar tampak diam.
"Ha..ha..ha..!" tiba-tiba terdengar di teras suara berat orang tertawa, "Aku pikir sudah mau mampus! Rupanya masih gesit juga kau Mbah Gendam!"
"Kau juga hebat Pendekar Ingusan!" puji orang yang dipanggil Mbah Gendam, "He..he.., aku pikir kamu sudah masuk liang kubur, gak tahunya masih sanggup ke sini!"
Seorang berpakaian pengembara berambut gimbal panjang yang dikenal dengan nama Mbah Gendam itu mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula, sambil memandang Pendekar Ingusan dengan tajam. "Bagaimana kabarmu, Sobat?".
"He..he.., seperti yang kamu lihat sendiri!" sahut Pendekar Ingusan, "Jangan kamu kira aku sudah tidak sanggup melayanimu bertarung sampai seribu jurus! He..he.."
Mereka berdua berdiri di depan pintu langgar seperti hendak berebut masuk. Tidak banyak yang tahu bahwa kedua orang tua itu sebetulnya sedang berlomba siapa yang lebih cepat menginjakan kaki di langgar. Pendekar Ingusan berangkat tadi siang dari pertapaannya di pulau terpencil di dekat Banyuwangi, sedangkan Mbah Gendam berangkat tadi siang dari pulau kecil di dekat Jepara. Mbah Kucing memang mengirim undangan melalui telepati kepada mereka berdua baru siang tadi.
Mbah Gendam dulunya adalah seorang penguasa Bukit Gendam. Sebuah bukit angker yang tidak ada seorang pun berani mendaki kecuali pasti akan berakhir menjadi bangkai. Mayat-mayat yang dilemparkan begitu saja dari atas bukit itu menimbulkan bau bangkai hingga ke desa-desa sekitar, sehingga masyarakat menamainya Bukit Bangkai. Penguasanya, Mbah Gendam akhirnya bisa dilumpuhkan oleh Mbah Kucing.
Sementera Pendekar Ingusan mendapat julukan seperti itu karena ia selalu menenteng gasing, mainan anak-anak, yang merupakan satu-satunya warisan dari orang tuanya. Sikapnya pun tampak kekanak-kanakan. Tapi dibalik sikap itu tersembunyi kekuatan ampuh yang mematikan. Gasing itu juga merupakan senjata yang membuat mimpi buruk semua musuh-musuhnya. Pendekar Ingusan bersenjata andalan Gasing Setan.