Mereka semua bergidik mendengarnya. Mereka tahu anak muda yang diasuh oleh Mbok Cipluk itu dulunya adalah bocah pemalu, dan kini mereka baru tahu bahwa dia ternyata adalah cucu Kanjeng Wotwesi. Ancaman itu pasti tidak main-main.
Kepala dusun memberanikan diri maju untuk menceritakan awal ditemukan jenazah Mbok Cipluk. "Yang menemukan mayat itu adalah Wagino, seorang penggembaa!" urainya dengan suara gemetar. "Setelah penemuan mayat, baru muncul seorang kusir yang cerita kalau ada perampok itu mencegat dokarnya. Sepertinya perampok itu orang yang sangat sakti, karena si kusir bahkan tidak melihat bagaimana cara perampok itu mengambil penumpangnya dari dokar! Si kusir yang sangat ketakutan lalu melarikan dokarnya dengan cepat!"
"Bisakah kusir itu didatangkan ke sini sekarang juga?" sahut Kanjeng Wotwesi.
"Mohon maaf, Kanjeng! Baru kemarin dia ditemukan tewas di dalam kamar tidurnya! Padahal istrinya bilang ia tidak sakit apa-apa!"
"Orang sakti merampok perempuan tua!" sahut Klebat dengan nada heran. "Apa yang mau dia ambil? Baju nenek desa?"
"Kami juga bertanya-tanya keheranan?" timpal kepala dusun yang diikuti anggukan kepala beberapa orang.
"Aku akan kejar pembunuh itu sampai ke lubang semut!" sumbar Klebat.
Kanjeng Wotwesi dan Ki Dewan merasa sedikit kikuk. Ucapan Klebat itu seolah-olah ditujukan langsung kepada mereka berdua, yang sesungguhnya paling bertanggungjawab atas kejadian itu.
"Saya juga akan berikan hadiah kepada siapa saja yang bisa memberikan informasi atau bisa menemukan barang-barang Mbok Cipluk yang dicuri maling itu!" sahut Kanjeng Wotwesi.
"Dan saya sendiri akan menjamin maling kecil itu mendapat hukuman yang berat!" Ki Dewan menambahkan. Ia tidak pernah menyangkah bahwa menghilangkan nyawa seorang perempuan tua saja akan mendatangkan persoalan serumit itu.
***