Oleh: Tri Handoyo
Waktu menjelang adzan isya' dikumandangkan, Ki Wiryo datang menyerahkan pundi berisi kepingan uang emas di depan sekumpulan panitia pembangunan masjid. Sekantung emas itu ia kumpulkan dari para anggota perkumpulan 'Wong Langit', hasil dari merampok rumah Roro Ajeng.
"Ini dana yang pernah saya janjikan, Ki Ustadz Jangkar!" kata Ki Wiryo sambil mengeluarkan kepingan emas dari kantung, "Semoga pembangunan masjid lancar!"
"Amin..! Ahamdulillah..! Ini bukti bahwa Allah meridhai perjuangan kita," balas Ustadz Jangkar sambil tak henti-hentinya mengucapkan syukur. "Inilah balasan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah! Insyaallah dana sebesar ini cukup untuk biaya pembangunan masjid kita ini hingga selesai!"
"Syukurlah. Saya minta doa dari Usadz dan bapak-bapak agar orang-orang yang menyumbangkan hartanya ini mendapat ampunan dari Gusti Allah, selalu diberi keselamatan dan panjang umur! Termasuk buat keselamatan almarhum anak saya Warsito kelak di akhirat!"
"Tentu saja, Ki Wiryo!" sahut Ustadz Jangkar, "Barangsiapa membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun rumah untuknya di surga! Janji Allah itu pasti, Ki Wiryo! Insyaallah ananda Warsito dan bapak-bapak yang menyumbangkan hartanya ini akan masuk surga! Saya jamin! Amin!"
"Amin.., alhamdulillah..! Permisi, saya mau ambil wudhu dulu!" kata Ki Wiryo dengan wajah bangga penuh suka cita.
Adzan berkumandang. Orang-orang kemudian ikut menyusul si mantan demang menuju tempat wudhu.
"Saya tadi letakan kantung emas di atas meja!" kata Ki Wiryo, "Siapa yang jaga di sana?"
"Insyaallah aman, Ki!" jawab seorang lelaki di sampingnya. "Ini rumah Allah yang suci! Tidak ada orang yang akan berani ngambil!"
Ki Wiryo merasa resah, sehingga terburu-buru meyelesaikan wudhunya dan cepat kembali ke dalam masjid. Tiba-tiba ia melihat bayangan orang berlari keluar dari masjid. "Hei siapa itu? Maling..! Ada maling..!"
Beberapa orang segera ikut berlari di belakang Ki Wiryo. "Mana malingnya, Ki?" tanya mereka.
Seru Ki Wiryo sambil terus mengejar, "Dia nyuri kantung emas kita!"
"Bajingan, dia jangan sampai diberi ampun!" terdengar suara orang dari belakang.
Sekitar delapan orang saling sahut-menyahut, menumpahkan berbagai sumpah serapah kepada si pencuri.
Pencuri lari berbelok ke jalan menuju makam kuno. Ki Wiryo yang berada di urutan paling depan mulai memperlambat larinya. "Kita butuh obor!" serunya ketika orang-orang sudah berhasil menyusulnya.
Cepat sekali lari mereka dan tidak seorang pun di antara mereka yang nafasnya tidak terengah-engah, kecuali Ustadz Jangkar dan kedua murid setianya.
'Hm.., rupanya mereka ini orang-orang jago silat juga!' pikir Ki Wiryo sambil mengamati wajah Ustadz Jangkar dengan kagum.
"Dia hanya sendirian, Ki!" kata salah seorang ketika menangkap ada keraguan yang tersirat di wajah Ki Wiryo. "Kita jangan takut!"
"Tapi dia masuk ke tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan!" kata Ki Wiryo, "Dia bisa bersembunyi di mana saja!" Dia sengaja tidak menyebut tempat itu adalah makam kuno yang terkenal angker.
"Kita ada delapan orang!" sahut Ustadz Jangkar, "Masak kalah sama seorang maling!"
"Tapi, Ustadz, itu.., itu area makam kuno yang menurut orang-orang sangat angker!"
"Maaf, itu khurofat namanya, Ki! Jangan percaya tahayul!" sahut Ustadz Jangkar penuh percaya diri.
"Baik ayo kita masuk!" akhirnya timbul juga keberanian Ki Wiryo setelah mendengar kata-kata Ustadz Jangkar, tapi jelas ia tidak mau di depan.
Mereka mulai memasuki area makam. Semerbak bau harum yang menyengat terseret angin. Siapa yang peduli dengan bau harum? Di dalam rombongan itu ada Ustadz Jangkar dan Ki Wiryo, mana mungkin ada hantu berani menampakkan diri?
Aneh, ada jalan setapak beralas batu yang tersusun rapi. Tempat itu tampak terang, seolah-olah diterangi oleh lampu minyak di kiri kanan jalan. Ada taman dengan berbagai bunga yang tengah bermekaran. Rombongan yang dipimpin Ustadz Jangkar itu terus berjalan pelan sambil mengawasi sekelilingnya.
"Saya belum pernah tahu ada taman di tempat ini!" kata Ki Wiryo memecah keheningan.
"Kalau begitu ini tempat angker yang paling indah, Ki!" sindir Ustadz Jangkar sambil tersenyum.
"Ya Gusti!" ucap Ki Wiryo. Pandangannya menatap tajam ke depan dan diikuti yang lain. Sementara tubuhnya gemetaran.
Semua menghentikan langkah kakinya. Tanpa sadar ada yang saling berpegangan tangan. Jalan setapak dan taman tadi kini berubah menjadi area kuburan kuno.
Di depan, dalam keadaan remang-remang, ada sosok pocong meronta-ronta keluar dari kubur yang tanahnya masih basah. Ia kemudian meloncat keluar dan berdiri di antara dua nisan. Kain pocong bagian kepala terbuka.
Kedua mata Ki Wiryo terbelalak tak percaya, seolah-olah mau meloncat keluar dari kelopaknya. "Mahesa? Ini tidak mungkin! Tidak mungkin!" Ia kemudian berlindung di belakang Ustadz Jangkar.
Dengan nada suara sedikit gemetar, Ustadz Jangkar kemudian membaca ayat kursi dan diikuti oleh yang lain. Terdengar suara bacaan mereka laksana dengung rombongan tawon.
Tapi pocongan Mahesa itu justru mendekat. Ketika meloncat selalu ada potongan daging di wajahnya yang melorot dan copot lalu jatuh ke tanah. Tentu saja orang-orang merasa ngeri dan bergidik melihatnya. Mereka berusaha mundur, tapi kesulitan karena jalan yang mereka lewati ternyata penuh dengan nisan. Berkali-kali kaki mereka tersandung.
Tiba-tiba di belakang terdengar suara tawa perempuan cekikikan. Suara tawa yang sekaligus mirip tangis memilukan.
Ketika Ki Wiryo berpaling, matanya kembali melotot dan akal pikirannya sulit menerima apa yang dilihatnya. "Lastri!" serunya. Kakinya terasa lemas. "Tidak mungkin!"
Tubuh Lastri berlumuran darah, dan masih mengucur keluar dari luka-lukanya. Matanya besar sebelah dan menatap tajam sambil tangannya menuding ke arah Ki Wiryo.
Ki Wiryo tanpa merasa malu lagi memeluk badan Ustadz Jangkar yang kini membaca ayat kursi dengan suara lantang. Tangan kanannya mengacungkan tasbih seolah hendak menakuti pocong-pocong itu.
Bau harum bunga kini berubah menjadi bau busuk bangkai. Sangat menyengat. Membuat pusing dan mual. Beberapa yang tidak kuat menghirup aroma itu akhirnya muntah, lemas dan pingsan.
Ki Wiryo berusaha lari, tapi tiba-tiba ada tangan muncul dari dalam tanah dan menangkap kakinya. Ketika ia menarik kakinya, sosok mayat ikut tertarik keluar sebatas pinggang di atas tanah.
"Lepaskan..! Mati aku! Lepaskan..!"
***
"Paman, bangun!" seru Dewan seraya menggoyang-goyang badan Ki Wiryo.
Ki Wiryo terbangun. Rupanya ia tertidur di atas gundukan tanah. Ia sangat keheranan karena berada di area kuburan. Saat itu sudah pagi. Ia melihat Ustadz Jangkar dan beberapa orang muridnya juga masih tertidur, berserakan di atas tanah. Ia dan Dewan lalu membangunkan mereka semua.
"Kami semalaman mencari anda semua!" kata Guk Pur yang bekerja sebagai marbot di masjid.
"Kami mengejar pencuri. Ia mengambil kantung emas sumbangan dari Ki Wiryo!" ujar Ustadz Jangkar juga dengan wajah kebingungan.
"Kantong berisi emas itu masih ada di serambi masjid, Ki Ustadz! Tidak ada yang mengambilnya!" sahut Dewan.
"Benarkah?" Ki Wiryo tercengang keheranan.
Ustadz Jangkar kaget mendengar itu. Dia dan kedua murid setianya adalah mantan anggota pasukan rahasia di bawah pimpinan Dewandaru. Ia memandang Dewan penuh arti seolah-olah sebagai ucapan permintaan maaf atas kebodohannya.
Peristiwa itu menjadi bahan gunjingan masyarakat. mereka heran, bagaimana mungkin seorang ustadz yang sangat anti tahayul bisa dikelabuhi sama jin.
***
"Mahesa telah terbang terlampau tinggi!" kata Gandung saat bercanda dengan murid-muridnya, "Itulah akibatnya, dia akhirnya tersandung puncak dan tersungkur roboh!"
Beberapa orang mengerutkan keningnya mendengar itu. Murid-murid Benteng Nusa memang sempat benci dengan Guru Mahesa yang mereka anggap telah durhaka dan murtad. Tapi itu bukan candaan yang lucu.
Lintang berdiri di halaman rumput sambil mengamati murid-muridnya. Kemudian tiba-tiba ia memanggil Ghozali alias Gandung. "Cak Ghozali, cepat ke sini!" perintahnya tegas.
Dengan tergesa-gesa Gandung menghampiri pimpinannya. 'Apa dia mendengar candaan ku tadi? Tidak mungkin!' batinnya gelisah. Ia kemudian membungkuk memberi hormat dan berdiri tepat di depan Lintang.
"Kamu tahu kesalahanmu?" tanya Lintang.
"Maaf, kesalahan apa, Guru?"
Lintang lalu menjulurkan tangan dan dengan telunjuk jarinya mendorong dada Gandung. Lelaki itu jatuh ke belakang dan tahu-tahu ia merasa berada di dalam sumur yang cukup lebar. Ia berenang dan berusaha merayap keluar, tapi dinding sumur yang penuh lumut itu sangat licin.
"Kamu tahu kesalahanmu?" Lintang berdiri di pinggir sumur.
"Maaf, saya tidak tahu, Guru!"
"Pikirkan!"
"Maaf, Guru, apa kesalahan saya karena menganggap Mahesa telah murtad?"
"Kesalahan yang lainnya?"
Murid-murid padepokan tampak keheranan menyaksikan Gandung yang melakukan gerakan seperti orang berenang, tapi di atas rumput. Mereka tidak mengerti apa yang sebetulnya telah terjadi.
"Maaf, Guru, apa karena saya menjalin hubungan dengan Roro Ajeng!" jawab Gandung dengan wajah sedih.
"Yang lain lagi!"
"Maaf, Guru. Saya.., saya tidak tahu!" jawab Gandung dengan nafas terengah-engah.
"Renungkan dulu!"
Gandung berusaha berpikir keras. "Tapi maaf, saya tidak tahu, Guru!"
"Bukankah kamu yang memukul dada Manggala?"
Betapa terkejut Gandung mendengar itu. Ia pikir tidak mungkin ada orang yang tahu. "Ampun, Guru..!" Ia mulai menangis.
"Jadi kamu mengaku?"
"Iya, mohon ampuni saya, Guru! Maaf, saya menyesal!" Gandung kemudian melihat gurunya menjulurkan tongkat untuk menolongnya keluar dari sumur. Ia berpegangan pada tongkat itu dan ditarik keluar.
Betapa terkejut Gandung, ternyata ia berpegangan pada sebatang lidi yang di ujung lainnya dipegang hanya dengan kedua jari oleh Lintang. Ia terpaku melihat kakinya berdiri di atas rumput. Bajunya kering. Tidak ada sumur.
Ia lalu bersimpuh di kaki Lintang dan masih dengan berurai air mata. "Ampuni saya, Guru! Saya menyesal!" Ia berpikir gurunya itu pasti seorang wali yang memiliki karomah luar biasa.
Yang terjadi sebetulnya, Lintang hanya menggunakan ilmu mempengaruhi pikiran orang, seperti yang pernah ditunjukan oleh Mbah Gendam kepadanya beberapa tahun yang lalu.
Sedangkan Lintang tahu dari pengakuan Manggala sendiri, bahwa Gandung yang memukul dadanya saat ia sabung dengan Ghandi.
***
Sekitar jam satu malam. Suasana begitu hening. Di sebuah gubuk di Tengah hutan, Lintang dan Cak Japa duduk menghadap Mbah Kucing. Mereka sedang membahas peristiwa yang belakangan menggemparkan Jombang.
"Tampaknya di Jombang telah berkumpul begitu banyak orang sakti! Ada kelompok Dewandaru yang bekerja sama dengan Ki Wiryo dan Ki Kalong Wesi!" kata Mbah Kucing.
Lintang kaget mendengar itu. Padahal ia tadinya akan menceritakan bahwa dia telah berhasil menangkap seorang penyusup dan mengorek banyak informasi darinya. Ternyata Mbah Kucing telah mengutarakan hal itu lebih dulu.
"Ki Kalong Wesi dan semua anggota kelompoknya harus ditumpas!" kata Lintang seolah mencari dukungan dari Cak Japa dan Mbah Kucing atas pemikirannya itu. "Saya akan menumpas habis mereka!"
Cak Japa menimpali, "Tidak semuanya, Lintang!"
"Ki Kalong Wesi dan kelompoknya sudah bukan manusia lagi. Mereka itu iblis keparat yang tidak punya peri kemanusiaan, jadi tidak pantas dikasihani!"
"Kamu salah Lintang!" kata Mbah Kucing, "Sejahat apapun manusia itu tetap manusia. Sekalipun perbuatannya melampaui iblis, mereka tetap manusia yang layak mendapat kesempatan untuk dikasihani!"
Lintang mengganti posisi duduk dan berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Mohon maaf, Mbah Guru. Saya benar-benar kaget. Memberi maaf orang-orang jahat menurut saya sama artinya dengan membiarkan kejahatan, siapa kira Panjenengan justru menganggap aku yang salah. Mohon penjelasan agar terbuka pikiran saya!"
Mbah Kucing menjawab tenang, "Lintang, kamu seorang yang selama ini dikenal berbudi pekerti luhur dan penuh belas kasih, akan tetapi agaknya itu belum cukup untuk mampu mengasihi musuh-musuhmu!"
Mbah Kucing lalu meminta Cak Japa untuk bercerita tentang peristiwa perang Uhud. Dalam peperangan di Gunung Uhud, gugur enam puluh empat orang dari kalangan Anshar dan enam orang dari kalangan Muhajirin, termasuk paman Rasulullah, Hamzah. Semua syuhada yang gugur, yang berjumlah tujuh puluh jiwa itu, anggota tubuhnya dicincang dengan sangat kejam dan brutal.
Bahkan, ketika Hindun melihat jasad Hamzah, dengan penuh kebencian, dia belah dadanya, mengeluarkan jantungnya dan kemudian memakannya.
Dengan penuh kemarahan kaum Anshar lantas bersumpah bahwa manakala mereka kelak mendapat kemenangan, mereka akan berbuat sama atau bahkan lebih kejam dari apa yang telah dilakukan oleh musuh-musuh itu.
Kemarahan yang diungkapkan kaum Anshar itu menyiratkan keinginan melampiaskan dendam. Mereka beranggapan sudah sepantasnya memberikan balasan yang setimpal. Kalau perlu, dibalas dengan yang lebih kejam. Akan tetapi, ternyata bagi Allah balas dendam itu tidak sepatutnya dilakukan oleh umat Islam.
Allah berfirman dalam Surat An Nahl, jika kita memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kita. Akan tetapi, jika kita bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kita bersedih hati terhadap kekafiran mereka dan janganlah kita bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya, Allah menyertai orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat kebaikan.
"Berarti kita harus bersabar?" tanya Lintang jelas tidak bisa menerima argumen itu. "Mbah Guru, Cak Japa, bagaimana kalau niat yang kulakukan untuk menumpas mereka bukan sekali-kali untuk melampiaskan dendam, melainkan memberantas kejahatan demi kepentingan masyarakat, demi memberi rasa aman kepada masyarakat luas?"
Mbah Kucing tersenyum mendengar itu. "Lintang, aku setuju dengan kamu. Aku hanya tidak ingin kamu diliputi nafsu amarah dan sampai melampaui batas! Jangan juga merasa sudah pasti bisa menumpas mereka, karena itu berarti takabur!"
Lintang tampak manggut-manggut.
"Ketahuilah Lintang! Niat itulah yang penting!" Mbah Kucing menambahkan, "Kesejahteraan, kemakmuran, ketenteraman, dan keadilan, semuanya itu menjadi tanggung jawab pemerintah yang berkuasa. Itulah kenapa pemerintah tidak boleh lemah. Jika pemerintah lemah, hukum akan kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Apalagi bila bahaya yang selalu mengancam dari para perongrong pemerintah itu bekerja sama dengan kekuatan dari luar yang ingin menguasai kekayaan Nusantara kita."
"Saya setuju, Mbah!" timpal Cak Japa, "Bila keadaan pemerintahan kuat, negara aman, maka masyarakat akan menjadi makmur. Itulah cita-citaku kenapa aku dulu mau menerima diangkat menjadi Demang, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri, bukan pula untuk mencari kedudukan dan kekayaan, seperti yang pernah kamu duga Lintang. Tetapi insyaallah ini demi kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara!"
"Maafkan saya, Cak Japa!" ucap Lintang karena merasa pernah berburuk sangka kepada lelaki hebat itu.
"Tidak apa-apa Lintang. Sekali lagi semua amalan itu tergantung niatnya. Aku yang akan membereskan Ki Wiryo dan kelompok Dewan. Ustadz gadungan anak buah Dewan itu juga perlu dibereskan! Nah, tugasmu membersekan 'wong hutan' yang mengaku 'wong langit' itu! Ayo kita sama-sama bergerak!"
Mbah Kucing kemudian mengeluarkan cincin pirus dari sebuah saku bajunya. "Aku dulu pernah memberikan cincin Pirus Kendit Buntel Mayit ini kepada Tulus Si Pendekar Kebo Kicak. Sekarang aku ingin memberikan ini kepadamu Lintang!"
"Bagaimana cincin yang telah lama hilang ini bisa kembali kepada Mbah Kucing?" tanya Cak Japa keheranan.
"Beberapa hari yang lalu ada jin yang datang mengantar cincin ini. Ketika aku tanyakan di mana dia menemukannya, dia mengatakan bahwa dia hanya diutus Sang Ratu Jin, dia tidak tanu-menahu soal cincin itu. Padahal ini sangat penting. Apabila tahu di mana tempat menemukan cincin ini, berarti di situlah tempat Kebo Kicak wafat!" kata Mbah Kucing, "Sayang sekali!"
'Kendit Buntel Mayit' itu adalah nama salah satu ajian yang sangat tersohor ditanah Jawa. Ilmu yang berfungsi sebagai pencapaian dan penyempurnaan tingkat akhir, juga sebagai pembungkus diri serta pembungkus ilmu. Itu yang membuat orang yang menguasai ajian tersebut ilmunya sulit terdeteksi, dan justru tampak seolah-olah kosong melompong. Ini pula yang seringkali membuat orang kerdil tersungkur akibat tinggi hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H