Ki Wiryo terbangun. Rupanya ia tertidur di atas gundukan tanah. Ia sangat keheranan karena berada di area kuburan. Saat itu sudah pagi. Ia melihat Ustadz Jangkar dan beberapa orang muridnya juga masih tertidur, berserakan di atas tanah. Ia dan Dewan lalu membangunkan mereka semua.
"Kami semalaman mencari anda semua!" kata Guk Pur yang bekerja sebagai marbot di masjid.
"Kami mengejar pencuri. Ia mengambil kantung emas sumbangan dari Ki Wiryo!" ujar Ustadz Jangkar juga dengan wajah kebingungan.
"Kantong berisi emas itu masih ada di serambi masjid, Ki Ustadz! Tidak ada yang mengambilnya!" sahut Dewan.
"Benarkah?" Ki Wiryo tercengang keheranan.
Ustadz Jangkar kaget mendengar itu. Dia dan kedua murid setianya adalah mantan anggota pasukan rahasia di bawah pimpinan Dewandaru. Ia memandang Dewan penuh arti seolah-olah sebagai ucapan permintaan maaf atas kebodohannya.
Peristiwa itu menjadi bahan gunjingan masyarakat. mereka heran, bagaimana mungkin seorang ustadz yang sangat anti tahayul bisa dikelabuhi sama jin.
***
"Mahesa telah terbang terlampau tinggi!" kata Gandung saat bercanda dengan murid-muridnya, "Itulah akibatnya, dia akhirnya tersandung puncak dan tersungkur roboh!"
Beberapa orang mengerutkan keningnya mendengar itu. Murid-murid Benteng Nusa memang sempat benci dengan Guru Mahesa yang mereka anggap telah durhaka dan murtad. Tapi itu bukan candaan yang lucu.
Lintang berdiri di halaman rumput sambil mengamati murid-muridnya. Kemudian tiba-tiba ia memanggil Ghozali alias Gandung. "Cak Ghozali, cepat ke sini!" perintahnya tegas.