Ki Wiryo merasa resah, sehingga terburu-buru meyelesaikan wudhunya dan cepat kembali ke dalam masjid. Tiba-tiba ia melihat bayangan orang berlari keluar dari masjid. "Hei siapa itu? Maling..! Ada maling..!"
Beberapa orang segera ikut berlari di belakang Ki Wiryo. "Mana malingnya, Ki?" tanya mereka.
Seru Ki Wiryo sambil terus mengejar, "Dia nyuri kantung emas kita!"
"Bajingan, dia jangan sampai diberi ampun!" terdengar suara orang dari belakang.
Sekitar delapan orang saling sahut-menyahut, menumpahkan berbagai sumpah serapah kepada si pencuri.
Pencuri lari berbelok ke jalan menuju makam kuno. Ki Wiryo yang berada di urutan paling depan mulai memperlambat larinya. "Kita butuh obor!" serunya ketika orang-orang sudah berhasil menyusulnya.
Cepat sekali lari mereka dan tidak seorang pun di antara mereka yang nafasnya tidak terengah-engah, kecuali Ustadz Jangkar dan kedua murid setianya.
'Hm.., rupanya mereka ini orang-orang jago silat juga!' pikir Ki Wiryo sambil mengamati wajah Ustadz Jangkar dengan kagum.
"Dia hanya sendirian, Ki!" kata salah seorang ketika menangkap ada keraguan yang tersirat di wajah Ki Wiryo. "Kita jangan takut!"
"Tapi dia masuk ke tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan!" kata Ki Wiryo, "Dia bisa bersembunyi di mana saja!" Dia sengaja tidak menyebut tempat itu adalah makam kuno yang terkenal angker.
"Kita ada delapan orang!" sahut Ustadz Jangkar, "Masak kalah sama seorang maling!"