"Tapi, Ustadz, itu.., itu area makam kuno yang menurut orang-orang sangat angker!"
"Maaf, itu khurofat namanya, Ki! Jangan percaya tahayul!" sahut Ustadz Jangkar penuh percaya diri.
"Baik ayo kita masuk!" akhirnya timbul juga keberanian Ki Wiryo setelah mendengar kata-kata Ustadz Jangkar, tapi jelas ia tidak mau di depan.
Mereka mulai memasuki area makam. Semerbak bau harum yang menyengat terseret angin. Siapa yang peduli dengan bau harum? Di dalam rombongan itu ada Ustadz Jangkar dan Ki Wiryo, mana mungkin ada hantu berani menampakkan diri?
Aneh, ada jalan setapak beralas batu yang tersusun rapi. Tempat itu tampak terang, seolah-olah diterangi oleh lampu minyak di kiri kanan jalan. Ada taman dengan berbagai bunga yang tengah bermekaran. Rombongan yang dipimpin Ustadz Jangkar itu terus berjalan pelan sambil mengawasi sekelilingnya.
"Saya belum pernah tahu ada taman di tempat ini!" kata Ki Wiryo memecah keheningan.
"Kalau begitu ini tempat angker yang paling indah, Ki!" sindir Ustadz Jangkar sambil tersenyum.
"Ya Gusti!" ucap Ki Wiryo. Pandangannya menatap tajam ke depan dan diikuti yang lain. Sementara tubuhnya gemetaran.
Semua menghentikan langkah kakinya. Tanpa sadar ada yang saling berpegangan tangan. Jalan setapak dan taman tadi kini berubah menjadi area kuburan kuno.
Di depan, dalam keadaan remang-remang, ada sosok pocong meronta-ronta keluar dari kubur yang tanahnya masih basah. Ia kemudian meloncat keluar dan berdiri di antara dua nisan. Kain pocong bagian kepala terbuka.
Kedua mata Ki Wiryo terbelalak tak percaya, seolah-olah mau meloncat keluar dari kelopaknya. "Mahesa? Ini tidak mungkin! Tidak mungkin!" Ia kemudian berlindung di belakang Ustadz Jangkar.