"Tunggu dulu, akan aku ambilkan di dalam rumah!"
"Tidak! Serahkan saja yang kau bawa sekarang!"
"Hei perampok tengik! Sekarang aku tidak bawa apa-apa!" jawab Ajeng jengkel. "Kalian pasti bukan orang sini ya? Jadi tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
Sebagai seorang pendekar, Ajeng sudah banyak bertarung melawan orang-orang aneh. Karena itu munculnya empat orang itu tidak sedikit pun membuat ia gentar.
"Biar saya yang menghadapi, Bu Lurah!" Terdengar seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dan berdiri melindungi Ajeng. Usianya paling sedikit tiga puluh tahun, suaranya tegas dan gerakan tubuhnya begitu ringan, menggambarkan ilmu meringankan tubuh yang lumayan tinggi. Ia berpakaian serba hijau dengan kain sarung berwarna putih yang dikalungkan di leher menggantung ke bawah. Mukanya bersih dan rambutnya tersisir rapi.
Keempat perampok itu serentak maju dan dengan ganas menyabetkan parang, akan tetapi hanya dalam sekali gebrakan, mereka terpental dan bergulingan di tanah. Entah apa yang terjadi. Mereka tampak sangat ketakutan dan segera memilih kabur dari tempat itu. Maka terjadilah lomba lari tunggang-langgang di antara mereka, tanpa menengok ke belakang.
Setelah semua perampok itu menghilang di ujung jalan, pemuda itu membalikan tubuh menghadap Ajeng sambil memberi hormat. Dua pasang mata saling bertemu di udara, seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan sayang rasanya untuk dilepaskan lagi.
"Kamu Ghozali dari Benteng Nusa bukan?"
"Iya betul, Bu Lurah!"
"Jangan panggil aku bu lurah, panggil mbak saja! Ayo silakan masuk ke rumah dulu!"
"Terima kasih, Bu Lurah, eh.., Mbak! Tapi maaf saya agak tergesa-gesa mau ke padepokan!"