Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (98): Suasana Horor Meneror

29 Oktober 2024   04:47 Diperbarui: 29 Oktober 2024   04:56 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Sebagian anak buah 'Wong Langit' menggotong Pendekar Cebol yang tak berdaya dengan perut robek. Sebagian lagi bergantian menggotong mayat Warsito.

Awalnya Ki Wiryo ingin jenazah anaknya itu dibawa pulang ke rumah dan dimakamkan di kampung, tapi semua anggota Wong Langit tidak setuju. Itu dianggap bisa menimbulkan kecurigaan masyarakat dan bakal membongkar kedok mereka. Mayat yang dibungkus kain seadanya itu dan akhirnya langsung dikubur begitu saja dalam perjalanan pulang ke sarang di puncak bukit, di pinggiran hutan yang masih dipenuhi semak belukar.

Dalam momen melepas Warsito ke tempat peristirahatannya yang terakhir, Ki Wiryo menyampaikan kisah singkat mengenai putra bungsu kesayangannya itu.

"Izinkan saya menyampaikan sepenggal rasa cinta atas kepergian Warsito," ungkap Ki Wiryo mengawali ceritanya.

Pendekar Golok Terbang tampak menguap lebar tanpa menutup mulut. 'Kayak pemakaman pejabat kerajaan saja!' batinnya ingin tertawa.

Kisah itu didengarkan sambil lalu oleh para pendekar Wong Langit. Hanya Dewandaru satu-satunya orang yang tampak menyimak apa disampaikan oleh pamannya itu dengan khidmat.

"Saya bersumpah!" pungkas Ki Wiryo, "Benteng Nusa harus menebus mahal atas kematianmu ini!"

Meskipun mereka sebetulnya sadar bahwa kematian Warsito tidak ada hubungannya dengan Padepokan Benteng Nusa, tapi mereka tetap sepakat untuk melampiaskan dendam kepada padepokan itu.

Setelah orang-orang pergi, Ki Wiryo mencari batu yang cukup besar. Ia dibantu Dewandaru untuk mengangkat batu yang akan dijadikan nisan penanda. Setelah itu ia menangis sambil memeluk nisan. Ia baru merasa benar-benar kehilangan.

***

Seperti biasanya, setiap hari Arum dan Lintang bangun pagi-pagi, mengawasi para murid yang sedang berlatih silat, menengok dan melihat orang-orang yang bekerja merawat tanaman di ladang, istirahat, melatih murid-murid lagi, malamnya mereka berlatih sendiri, kemudian meditasi dan tidur. Demikianlah kegiatan rutin mereka setiap hari.

Tapi di pagi buta itu mereka tampak tergesa-gesa meninggalkan padepokan. Sekitar satu jam sebelumnya, Cak Lahar, salah seorang pelatih, tampak tergesa-gesa mendatangi mereka di teras puri. "Assalamualaikum!"

"Wa alaikum salam!" jawab keduanya serentak.

"Ada apa, Cak?" tanya Arum, ia menangkap ada sesuatu yang sangat genting.

"Mohon maaf, Guru, ada seorang warga dari desa Guru Mahesa yang datang mengabarkan kalau padepokan mereka diserbu dan dihancurkan orang!"

"Apa? Kapan kejadiannya?"

"Tadi malam! Menurut kabar, Ki Mahesa dan Nyi Lastri meninggal dunia!"

Saat itu juga, Lintang dan Arum langsung meluncur ke lokasi. Ketika memasuki suasana baru, pemandangan baru, udara baru, semuanya itu akan menumbuhkan kuncup kebahagiaan yang tadinya layu oleh rutinitas, tapi sekarang tidak. Tidak ada senyum menghiasi bibir, tidak ada sinar mata berseri-seri, tidak ada canda tawa, semua telah direnggut oleh suasana penuh duka nestapa.

Ketika sampai di rumah duka, mereka melihat Ki Demang Japa sudah berada di lokasi. Terdengar suara tangisan beberapa orang di antara pelayat.

"Jenazah-jenazah sedang dimandikan!" kata Ki Demang Japa dengan wajah sedih.

"Cak, sudah adakah informasi sementara mengenai pelakunya?" tanya Arum dengan mata tampak berkaca-kaca. "Tidak banyak bajingan jahanam yang berani melakukan tindakan gila ini! Mahesa dan Lastri adalah pendekar yang cukup tangguh!"

"Aku curiga pelakunya kelompok Ki Kalong Wesi!" jawab Ki Demang Japa, "Tapi ini baru dugaan!"

"Tapi memang hanya mereka yang punya kemampuan dan alasan untuk melakukan pembunuhan ini!" Lintang mendukung dugaan itu.

"Tapi sudah lama Ki Kalong dan kelompoknya tidak pernah muncul dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya!" timpal Arum, "Tapi aku setuju dengan dugaan itu!"

Penyelidikan sudah langsung dilakukan Ki Demang Japa sejak ia mendengar berita itu. Ia menyebar orang-orangnya untuk meminta dan mengumpulkan keterangan dari banyak tokoh persilatan di Jombang, kalau-kalau saja ada di antara mereka yang mendengar tentang Ki Kalong Wesi dan kelompoknya. Ada beberapa orang di antara mereka yang mengetahui tentang Ki Kalong Wesi yang memimpin kelompok 'Wong Langit', yang menurut desas-desus tinggal di sebuah puncak bukit di tengah hutan.

Menyaksikan kematian Mahesa, Lastri dan puluhan muridnya, yang sekarang jenazah mereka sedang dikebumikan oleh penduduk desa, merupakan hal yang sangat mengguncangkan hati.

Di sebuah area pemakaman, tampak kuburan yang puluhan jumlahnya dan masih baru. Meremang bulu tengkuk Lintang dan Arum melihat kuburan-kuburan itu. Bukan karena merasa ngeri, karena mereka adalah pendekar papan atas yang tidak kenal rasa takut akan sesuatu. Yang membuat ngeri adalah saat membayangkan detik-detik kematian sepasang suami istri yang terkenal saling mencintai itu.

Peristiwa itu menggemparkan Jombang, karena sudah pasti akan berbuntut panjang. Siapa mereka yang begitu berani mengganggu Benteng Nusa? Dunia persilatan menanti-nanti datangnya kejadian dahsyat akibat serangkaian pembantaian itu, karena pasti akan timbul pembalasan yang jauh lebih dasyat.

Usai pemakaman, seorang perempuan tua menuntun bocah kecil yang sedang menangis, membawa kepada Lintang dan Arum. Dia adalah Manggala, yang selamat karena sebelum orang tuanya keluar menghadapi musuh, ibunya membisikan agar ia sembunyi di dalam kandang ayam di belakang rumah.

Lintang dan Arum merasa bertambah sedih ketika melihat Manggala. Ia tidak tega mendengar tangis bocah kecil yang begitu menyayat hati.

"Gala! Anakku tidak boleh cengeng! Laki-laki pantang menangis!" kata Lintang lembut sambil jongkok menatap wajah mungil di depannya.

Manggala berhenti menangis, meskipun air matanya masih mengalir keluar membasahi pipi. Mata itu kini berusaha sekuat tenaga menahan tangis, lalu berusaha terbuka lebar memandang Guru Lintang. Hanya pundaknya saja yang masih berguncang.

Sejak kecil ia menyaksikan kedua orang tuanya begitu menghormati Guru Lintang. Sosok yang nyaris seperti manusia setengah dewa. Hatinya cukup terhibur ketika tadi Lintang memanggilnya anak.

Arum ikut jongkok dan memeluk Manggala, "Gala, maukah kamu pulang bersama kami ke padepokan?"

Bocah kecil itu mengangguk cepat. Ia menghapus air matanya sampai benar-benar kering.

Orang-orang kampung tertegun menyaksikan adegan itu. Berita buruk yang selama ini beredar mengenai kedua pendekar besar itu ternyata tidak benar. Fakta yang terpampang di depan mata membuktikan sebaliknya, bahwa kedua pendekar itu adalah orang-orang berhati mulia.

***

 

Petang itu rinai gerimis membasahi Kota Jombang. Roro Ajeng baru pulang dari pertemuan para kepala desa di pendopo kademangan. Ia memang ditunjuk oleh Ki Demang Japa untuk menjadi kepala desa menggantikan suaminya yang tewas. Satu-satunya perempuan yang menduduki posisi sebagai kepala desa.

Tubuhnya yang basah kuyup kehujanan membuat ia ingin sampai di rumah dan cepat-cepat pergi ke kamar kecil. Akan tetapi, ketika sampai tepat di depan rumah, dari baliik pohon tiba-tiba muncul empat orang menghadang di tengah jalan. Mereka semua berbadan tegap, wajah tertutup dengan kain sarung dan bersenjata parang.

"Mau apa kalian?" tanya Ajeng berusaha bersikap tenang tapi tetap waspada. Hujan memang membuat jalanan saat itu sangat sepi.

"Serahkan semua uang dan perhiasanmu!" bentak salah seorang dari empat kawanan perampok itu.

"Tunggu dulu, akan aku ambilkan di dalam rumah!"

"Tidak! Serahkan saja yang kau bawa sekarang!"

"Hei perampok tengik! Sekarang aku tidak bawa apa-apa!" jawab Ajeng jengkel. "Kalian pasti bukan orang sini ya? Jadi tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"

Sebagai seorang pendekar, Ajeng sudah banyak bertarung melawan orang-orang aneh. Karena itu munculnya empat orang itu tidak sedikit pun membuat ia gentar.

"Biar saya yang menghadapi, Bu Lurah!" Terdengar seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul dan berdiri melindungi Ajeng. Usianya paling sedikit tiga puluh tahun, suaranya tegas dan gerakan tubuhnya begitu ringan, menggambarkan ilmu meringankan tubuh yang lumayan tinggi. Ia berpakaian serba hijau dengan kain sarung berwarna putih yang dikalungkan di leher menggantung ke bawah. Mukanya bersih dan rambutnya tersisir rapi.

Keempat perampok itu serentak maju dan dengan ganas menyabetkan parang, akan tetapi hanya dalam sekali gebrakan, mereka terpental dan bergulingan di tanah. Entah apa yang terjadi. Mereka tampak sangat ketakutan dan segera memilih kabur dari tempat itu. Maka terjadilah lomba lari tunggang-langgang di antara mereka, tanpa menengok ke belakang.

Setelah semua perampok itu menghilang di ujung jalan, pemuda itu membalikan tubuh menghadap Ajeng sambil memberi hormat. Dua pasang mata saling bertemu di udara, seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan sayang rasanya untuk dilepaskan lagi.

"Kamu Ghozali dari Benteng Nusa bukan?"

"Iya betul, Bu Lurah!"

"Jangan panggil aku bu lurah, panggil mbak saja! Ayo silakan masuk ke rumah dulu!"

"Terima kasih, Bu Lurah, eh.., Mbak! Tapi maaf saya agak tergesa-gesa mau ke padepokan!"

Ajeng masih setengah memaksa Gandung untuk mampir ke rumah, sementara mereka masih saling bertatap mata. Pandang mata Gandung penuh kekaguman atas kecantikan janda muda itu. Sementara pandang mata Ajeng penuh kekaguman atas kehebatan ilmu silat pemuda tampan itu.

"Ghozali, pertolonganmu tadi besar sekali artinya bagiku. Kamu hebat, tanpa senjata mampu mengalahkan empat orang bersenjata dengan begitu mudah! Ilmumu itu seperti ilmunya Pendekar Pedang Akhirat, apa kamu belajar darinya?"

"Ah tadi itu hanya kebetulan saja!"

"Kamu terlalu merendah. Aku sangat berterima kasih!" kata Ajeng, "Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku dapat membalas hutang nyawa ini!"

"Ah jangan terlalu dibesar-besarkan, Bu Lurah!"

"Bu lurah lagi!"

"Ah iya..! Baik Mbak Ajeng! Maaf, permisi!"

***

Kejadian seminggu yang lalu itu membuat Gandung akhirnya berhasil mencuri hati Roro Ajeng, janda yang terkenal sangat cantik, dan tentu saja juga kaya raya.

Gandung tersenyum gembira, mengagumi diri sendiri. 'Kadang-kadang dengan ilmu silat saja tidak cukup untuk meraih sebuah kemenangan. Bahkan, yang sering kali terjadi, kecerdikan akallah yang dapat mengalahkan kepandaian ilmu silat!'

Gandung tersenyum ketika mengingat harus membayar hanya dengan mentraktir makan dan minum empat orang yang dulu pura-pura menjadi perampok. Mereka semua adalah rekannya sesama mantan pasukan rahasia di bawah pimpinan Arya Dewandaru.

"Kenapa tersenyum?" tanya Ajeng penasaran.

"Nggak apa-apa!"

Tiba-tiba Ajeng melangkah maju dan duduk di samping Gandung. Ia memegang telapak tangan lelaki yang merasa betapa tangan itu agak dingin dan kemudian menggenggam tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga jari-jemari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing.

"Ghozali, benarkah kamu mencintaiku?"

Suara Gandung alias Ghozali meluncur tanpa dia sadari lagi, "Demi Tuhan, Ajeng, aku sangat mencintaimu! Aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu!"

Ajeng menyandarkan kepala di dada pemuda itu. Gandung mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil memejamkan mata.

"Inilah yang disebut cinta pada pandang pertama!"

Lalu terdengar suara Ajeng yang mengandung kerisauan. "Ghozali, kamu sudah tahu bahwa aku hanyalah seorang janda. Aku takut kalau kamu hanya mempermainkan cintaku!"

"Ajeng, bagiku kamu cantik seperti bidadari. Mana mungkin aku mempermainkan cintamu! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku!"

Ajeng mengangkat wajahnya, "Ah, mana mungkin aku percaya begitu saja? Aku percaya, kamu seorang ksatria gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri. Tapi maukah kamu bersumpah!"

"Baik, aku bersumpah, demi seluruh alam semesta aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku. Aku mencintaimu sampai mati! Cinta dunia akhirat!"

Ajeng bahagia mendengar itu. "Tapi.., kapan kamu mengajak orang tuamu datang untuk melamarku?"

"Sabar!"

"Jangan terlalu lama!"

"Jangan kuatir, aku sudah memikirkan itu, Sayang!"

"Terima kasih! Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang. Tidak baik kalau dilihat orang!"

"Tapi masih hujan!"

"Kalau hujannya sampai pagi, apa kamu akan tetap di sini?"

"Tapi kita di teras, di tempat terbuka, dan aku.., aku masih rindu!"

"Iya, dapat kulihat dari pandang matamu. Aku juga masih rindu. Tapi maaf, kamu harus tahu posisiku!"

Pada saat itu, Pendekar Golok Maut, Ki Bajul Brantas, Ki Wiryo dan Dewandaru sedang berdiri di pelataran rumah Roro Ajeng. Wanita itu oleh kelompok 'Wong Langit' dianggap sebagai pengkhianat yang juga harus dibinasakan gara-gara kembali bergabung dengan Ikatan Pendekar Jawa di bawah pimpinan Lintang Kejora. Ki Kalong Wesi mengawasi dari tempat agak jauh.

Dua hari sebelumnya, dalam rapat di kademangan yang membahas situasi Jombang, Ajeng sempat menyampaikan bahwa pelaku pembantaian padepokan Mahesa adalah kelompok Ki Kalong Wesi. Ia mengaku punya informasi dari orang yang punya hubungan dekat dengan mereka.

"Ajeng!" seru Ki Bajul Brantas, "Janda binal pengkhianat sepertimu harus mampus malam ini juga!"

Melihat beberapa orang berdiri di halaman rumah dalam keadaan basah dan kotor, Ajeng segera lari untuk mengambil pedang. Sedangkan Gandung berlari meninggalkan tempat itu dan langsung dikejar oleh Dewandaru.

Dewan menghentikan Gandung di sebuah kebun. "Apa yang kamu lakukan?"

"Ini dalam rangka menjalankan tugas!"

"Baik, cepat pergi!"

"Siap komandan!"

Gandung Si Raja Belut segera melarikan diri menembus kegelapan. Ia tidak tahu betapa hancur hati Ajeng ketika menyadari kekasihnya itu pergi meninggalkannya di saat ia harus menghadapi bahaya, dan tanpa pamit pula. Padahal baru saja lelaki itu bersumpah akan mencintainya sampai mati.

Ajeng bertahan mati-matian menghadapi keroyokan empat orang yang seperti kesetanan itu. Tidak memakan waktu lama, janda cantik itu akhirnya roboh dengan tubuh banyak luka. Setelah itu semua benda berharga di rumahnya diambil, agar terkesan motifnya murni perampokan.

Mendung hitam yang menggantung di langit Jombang menambah suasana horor yang meneror masyarakat di bawahnya. Mereka hanya bisa menggantungkan harapan kepada Ki Demang Japa dan Padepokan Benteng Nusa untuk secepatnya memulihkan kembali rasa aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun