Manggala berhenti menangis, meskipun air matanya masih mengalir keluar membasahi pipi. Mata itu kini berusaha sekuat tenaga menahan tangis, lalu berusaha terbuka lebar memandang Guru Lintang. Hanya pundaknya saja yang masih berguncang.
Sejak kecil ia menyaksikan kedua orang tuanya begitu menghormati Guru Lintang. Sosok yang nyaris seperti manusia setengah dewa. Hatinya cukup terhibur ketika tadi Lintang memanggilnya anak.
Arum ikut jongkok dan memeluk Manggala, "Gala, maukah kamu pulang bersama kami ke padepokan?"
Bocah kecil itu mengangguk cepat. Ia menghapus air matanya sampai benar-benar kering.
Orang-orang kampung tertegun menyaksikan adegan itu. Berita buruk yang selama ini beredar mengenai kedua pendekar besar itu ternyata tidak benar. Fakta yang terpampang di depan mata membuktikan sebaliknya, bahwa kedua pendekar itu adalah orang-orang berhati mulia.
***
Â
Petang itu rinai gerimis membasahi Kota Jombang. Roro Ajeng baru pulang dari pertemuan para kepala desa di pendopo kademangan. Ia memang ditunjuk oleh Ki Demang Japa untuk menjadi kepala desa menggantikan suaminya yang tewas. Satu-satunya perempuan yang menduduki posisi sebagai kepala desa.
Tubuhnya yang basah kuyup kehujanan membuat ia ingin sampai di rumah dan cepat-cepat pergi ke kamar kecil. Akan tetapi, ketika sampai tepat di depan rumah, dari baliik pohon tiba-tiba muncul empat orang menghadang di tengah jalan. Mereka semua berbadan tegap, wajah tertutup dengan kain sarung dan bersenjata parang.
"Mau apa kalian?" tanya Ajeng berusaha bersikap tenang tapi tetap waspada. Hujan memang membuat jalanan saat itu sangat sepi.
"Serahkan semua uang dan perhiasanmu!" bentak salah seorang dari empat kawanan perampok itu.