Oleh: Tri Handoyo
Saat penjahat dengan sejuta tipu muslihat itu hendak memanggul tubuh kecil Ghandi, tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara aneh.
"Hei Joko Petir, kau bedebah yang benar-benar tidak punya malu!" Suara berat yang muncul entah dari mana itu memecah keheningan. "Semakin tua bangka semakin busuk juga hatimu!"
Sebelum lenyap rasa kagetnya, tiba-tiba tampak seorang lelaki muda muncul dari balik pohon. Lelaki itu berjalan tenang menghampirinya. Pedang yang sarung dan gagangnya terdapat ukiran indah tergantung di pinggang.
Kakek buntung itu maklum bahwa yang berada di hadapannya itu pasti seseorang berilmu tinggi. Cepat dia membungkukan badan memberi hormat dan berkata, "Syukurlah ada tuan muda pasti memiliki pandangan luas tentang cara pengobatan. Cucu saya ini tiba-tiba pingsan kelelahan! Saya yakin anda sudi menolongnya?"
Jawaban lelaki yang ternyata Arya Dewandaru itu adalah serbuan pedang yang cukup ganas. Ia tidak sudi lagi untuk berbasa-basi dengan makhluk jahat menjijikan itu.
Hawa dingin menyambar-nyambar dan terdengar kakek buntung itu beberapa kali mendesis karena merasa betapa hawa pedang menyambar di dekat telinga, leher dan muka. Pedang yang berkilauan saking tajamnya itu seakan-akan mengancam untuk mengulitinya. Penjahat tua itu merasa ngeri juga. Bajunya sudah banyak robek di sana sini dan kedua lengan bajunya yang sebelumnya panjang pun sudah pendek tidak utuh lagi.
Kakek itu kini tampak semakin pucat, badan gemetar dan keringat dingin mengucur membasahi baju. Ia memandang lawannya dengan mata terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa lelaki itu benar-benar menghendaki nyawanya.
Di tengah-tengah pertarungan itu terdengar Joko Petir bertanya memelas, "Apa salahku?" Meskipun ia sangat sadar, bahwa sebagai seorang penjahat di masa lalunya, pasti ia telah banyak menebar bibit-bibit permusuhan. Jadi wajar jika memiliki banyak musuh.
"Kau telah merampok dan membunuh romoku!" jawab Dewan tanpa mengendurkan serangannya sedikitpun. "Kau ingat? Aku adalah putra Rakyan Kayuwangi yang kini hendak menunaikan balas dendam!"
Pikiran Joko Petir melayang-layang ke masa lampau. Ketika masih muda ia memang pernah merampok rumah salah seorang pejabat yang bernama Rakyan Kayuwangi. Ia dan anak buahnya bertempur melawan para pengawal sampai menjelang pagi. Ia sendiri kemudian berhadapan dengan Kayuwangi, dan akhirnya berhasil merobohkan lawannya itu setelah menyarangkan beberapa pukulan maut tapak petirnya. Pejabat yang gagah perkasa itu tewas dengan separuh tulang-tulangnya remuk.
Raden Ghandi siuman, dan segera bangun ketika mendengar suara orang berkelahi. Seandainya tendangan di tengkuk tadi mengenai orang lain, mungkin bisa mengakibatkan meninggal dunia, atau pingsan dalam jangka waktu yang sangat lama. Untungnya bocah kecil itu sudah sering melakukan semedi dan melatih pernafasan, sehingga hawa murni yang mengalir dalam tubuhnya membuatnya sangat kuat. Kesadarannya pulih, dan kini ia tahu bahwa kakek buntung itu ternyata memang orang yang sangat jahat.
Saat itu gulungan sinar pedang menyambar, Joko Petir menjerit akibat telinga kirinya terbabat pedang. Untungnya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya telinganya saja yang terbabat, tidak sampai mengenai pundaknya.
Dewan terus menerjang dan kelebat pedangnya kini berhasil merobek baju dan kulit pinggang, malah dalam detik berikutnya dengan kecepatan kilat pedang itu sudah melukai separuh lutut kanan. Nyaris putus. Cukup mendatangkan rasa perih bukan main sehingga Joko Petir pun meraung kesakitan dan tubuhnya bergulingan di tanah.
Dewan diam mematung sambil menginjak kaki kakek penjahat itu, memberi kesempatan kepadanya untuk setidaknya minta ampun atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya.
"Bunuh saja aku!" rintih Joko Petir. Dia memang tampak sebagai seorang yang tidak mudah untuk meminta ampun.
Dewan berpaling kepada Ghandi dan berseru, "Pulanglah, Nak!"
Ghandi mengangguk dan sebelum pergi ia memberi hormat dan berkata, "Maaf, tadi pagi saya sudah berburuk sangka terhadap paman!"
Dewan hanya tersenyum getir. "Hei, dari mana kamu tahu aku adalah orang yang sama dengan yang tadi?" Penampilannya sudah jauh berubah, orang mungkin akan mengenenali dari kudanya, tapi ia tidak membawa kuda. Bisa jadi dari pedang yang berada digenggamannya, tapi itu sulit jika bukan seorang ahli senjata.
"Dari suara paman!"
"Anak pintar!" puji Dewan. "Pergilah!"
"Terima kasih paman sudah menolong saya!" ucap Ghandi sebelum berlari meninggalkan tempat itu. Ia telah mendapat banyak pelajaran berharga dari semua peristiwa hari itu.
Setelah agak jauh dia mendengar jeritan panjang yang menggema memenuhi angkasa, hingga burung-burung keluar dari sarang dan berterbangan menjauh dari pinggiran hutan. Itu suara jeritan si kakek berlengan buntung.
Kini mulai terbuka pikiran bocah kecil itu, mengapa banyak pendekar yang terkenal gagah perkasa dan dia kagumi sering kali melakukan pembunuhan. Rupanya di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sudah sepatutnya dibasmi, sebab perbuatan mereka hanya menimbulkan kekacauan dan menjadi sumber segala kejahatan. Membasmi mereka berarti memelihara kedamaian.
Sementara itu, Arya Dewandaru menyabetkan pedang ke arah lutut kiri Joko Petir hingga putus dalam sekali tebas. Gerakan kilat dan kuat itu sampai membuat ujung pedang yang mengenai batu memercikan bunga api. "Seandainya kamu masih memiliki tubuh yang utuh dan diberi umur sampai seribu tahun pun, kamu pasti masih akan terus menebarkan kejahatan di muka bumi ini!"
Kakek yang dulu mendapat julukan Pendekar Tapak Petir itu meraung dan menangis sejadi-jadinya. "Bunuh saja aku, bangsat!"
"Tidak! Justru aku berharap kamu panjang umur!" Dewan kemudian mengambil potongan kain celana kakek buntung itu dan menggunakannya untuk membalut luka di kedua lutut yang baru tertebas itu. "Biar kamu tidak sampai kehabisan darah!"
"Manusia setan!" maki Joko Petir, "Kamu setan alas!"
"Ha..ha..ha..!" gelak tawa Dewan membahana, seolah pepohonan yang berada di sekitanya ikut bergetar. "Kamu keliru! Aku bisa lebih ganas ketimbang setan alas! Karena aku adalah iblis!"
"Pantas!"
"Hei, kali ini aku ingin mendengar nasehatmu dan pasti akan aku turuti! Menurutmu apakah aku harus mengingkari ikrarku kepada ruh romoku, bahwa aku akan menyiksamu sampai mati, atau aku harus langsung membunuhmu?"
Jerit antara tangis Pendekar Tapak Petir berbaur dengan suara tawa. Dia mungkin sudah gila, dan memang pantas disebut gila.
Dewan kemudian berdiri dan menatap dengan seksama tubuh tanpa tangan dan kaki yang tergeletak di tanah itu. "Apa dengan kondisi seperti ini kamu nanti masih akan melakukan kejahatan, hah?"
"Bunuh saja aku!" Kakek buntung itu menduga-duga apa yang akan dilakukan lawannya itu ketika lelaki itu kemudian jongkok di sisi kepalanya. "Bunuh saja aku!" rintihnya diiringi air matanya yang mengalir seperti anak sungai.
Tidak disangka, tangan kiri Dewan memegang kepala Joko Petir dengan erat, sementara tiga jemari tangan kanannya berusaha mencongkel bola mata kanan kakek malang itu, dan menariknya keluar hingga darah mancur dari lubang mata.
Nyeri luar biasa menjalar ke syaraf-syaraf di sekujur tubuh, dan kepalanya sesaat terasa seperti pecah. Jerit kesakitan melengking tinggi, dan suara itulah yang membuat burung-burung berhamburan terbang meninggalkan sarangnya.
Tidak berhenti sampai di situ, Dewan yang sudah seperti kesetanan itu lantas memaksa Joko Petir membuka mulut dan menjejalkan bola mata itu ke dalam. "Makan!" perintahnya dengan suara galak. "Ayo makan! Kalau tidak mau, akan aku congkel lagi sebelah matamu!"
Dengan sangat terpaksa kakek malang itu mengunyah bola matanya sendiri sambil tak henti-hentinya menangis. "Ampuuun..!" ratap Joko Petir akhirnya.
Luluh juga hati Dewan mendengar itu. Bara api dendam sedikit berkurang. Ia kemudian bergegas pergi dari tempat itu sebelum iblis dalam pikirannya menghasutnya untuk berbuat lebih kejam lagi. Ia masih mendengar kakek buntung itu terus meratap memohon ampun.
***
Arya Dewandaru menyempatkan diri untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya, Ki Demang Wiryo. Di pintu gerbang ia dicegat oleh beberapa orang penjaga yang curiga dengan penampilannya yang bercambang lebat.
"Ada perlu apa Ki sanak mau menemui Ki Wiryo?" tanya salah seorang di antara penjaga yang berjumlah dua orang.
"Saya adalah keponakan Ki Demang!" jawab Dewan, "Saya memang sudah sangat lama tidak ke sini, nah kebetulan saya lewat Jombang dan ingat punya paman di sini!"
"Siapa nama Ki sanak?"
"Saya Arya Dewandaru, dari Kediri!"
Salah seorang penjaga kemudian bergegas masuk ke dalam rumah untuk memberitahu Ki Wiryo. Tidak lama kemudian ia keluar bersama orang tua yang berjalan agak tergopoh-gopoh dan berdiri di depan pintu rumah.
"Biarkan dia masuk!" seru Ki Wiryo.
"Salam, Ki Demang!" Dewan memberi hormat ketika sudah berada di hadapan orang tua itu.
"Ah.., benarkah kamu Dewandaru? Putra Ki Rakyan Kayuwangi?" tanya Ki Wiryo penuh selidik. "Ha..ha.., ayo.., masuk!" ajaknya sambil menggamit lengan lelaki muda itu.
"Bagaimana kabar Ki Demang?"
"Hei jangan panggil aku demang, aku sudah tidak menjabat sebagai demang! Ya semenjak Prabu Dyah Ranawijaya dikalahkan Demak, semua berubah! Perguruanku dibubarkan dan dilarang berdiri. Usaha rumah makan dan penginapanku ditutup dan disita!"
"Kenapa bisa begitu?"
Ki Wiryo lalu mengajak Dewan duduk di ruang tamu yang cukup besar. "Ceritanya panjang. Ah.., bagaimana dengan kabarmu?"
"Syukurlah saya baik-baik saja, Paman!"
"Aku sangat prihatin mendengar banyak korban jiwa di pihak Daha, dan aku ingat kamu. Syukurlah kamu masih selamat, meskipun keadaanmu pasti sangat sulit sekarang ini! Jika ada yang bisa aku bantu, apapun itu, katakan pada pamanmu ini, Nak?"
"Paman benar-benar seorang yang berhati luhur. Paman sendiri sedang menderita akibat menjadi korban kekalahan Daha, akan tetapi masih bisa menaruh belas kasihan kepada seseorang sepertiku!"
Dulu Ki Demang Wiryo menitipkan anak-anaknya belajar kepada Rakyan Kayuwangi, agar kelak ketika dewasa bisa diterima bekerja di lingkungan istana, meskipun tentu saja dengan membayar upeti yang tidak sedikit jumlahnya. Ki Kayuwangi yang cukup dekat dengan orang kepercayaan Patih Wahan memang biasa menggunakan sebagian upeti itu untuk menyuap pejabat istana sebagai imbalan.
Tanpa pengaruh Ki Kayuwangi, uang sekarung pun belum tentu cukup untuk membuat seseorang bisa diterima bekerja di lingkuangan istana. Oleh karena itu, Ki Demang merasa sangat berhutang budi kepada ayah Arya Dewandaru.
"Memang aku sudah bukan lagi sebagai demang," kata Ki Wiryo setelah melamun beberapa saat, "Tapi apalah artinya hidup ini jika kita tidak mampu berbuat kebajikan yang bermanfaat bagi sesama? Dan manfaat yang paling utama bagiku adalah berbakti kepada nusa dan bangsa!"
Arya Dewan sebelumnya tidak pernah mengenal pamannya itu dengan baik, tapi mendengar kata-kata pamannya itu ia merasa cukup bangga dan kagum.
"Aku tidak bisa berlepas diri dari memikirkan rakyat!" sambung Ki Wiryo, "Apa jadinya kalau orang-orang yang diberi amanah untuk memimpin, ternyata hanya sibuk sendiri berebut kekayaan dan kejayaan. Lupa bahwa mereka menjadi pemimpin itu untuk mengatur, untuk mesejahterakan dan memakmurkan rakyat!"
"Siapa sekarang yang menjadi demang di sini, Paman?"
"Japa. Dia memang pintar soal agama dan menjadi imam di langgar, tapi dia tidak memiliki sedikitpun ilmu pemerintahan. Dia hanya seorang penjilat yang hebat, dan didukung oleh Padepokan Benteng Nusa, sarang para penjilat Demak!"
"Padepokan Benteng Nusa?"
"Betul. Pemiliknya sengaja menyembunyikan diri bahwa sebetulnya dia adalah keturunan penjajah Mongol!"
"Saya dengar yang memimpin Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat itu? Tapi saya juga dengar rakyat sangat mencintai dan memuji-muji mereka, Paman?"
"Kamu pasti sudah banyak mendengar!" Ki Wiryo menarik nafas panjang, "Aku tidak heran!" katanya dengan suara masih tenang, "Nak, dunia ini memang semakin lama semakin kotor oleh perbuatan manusia-manusia munafik. Tidak ada kejahatan yang paling keji, selain fitnah. Dalam urusan ini pun aku rasa ada pihak yang sengaja melakukan fitnah terhadap aku, dan aku tahu siapa mereka! Ki Demang Japa dan Lintang. Mereka memutarbalikan fakta!"
Ki Wiryo Kertosastro berhasil membuat Arya Dewandaru terpesona dan akhirnya mempercayai semua kata-katanya, padahal dia dan orang-orangnyalah yang sesungguhnya selama ini suka menyebarkan fitnah untuk menjatuhkan nama Benteng Nusa.
Ki Wiryolah yang ahli memutarbalikan fakta. Perguruannya, Macan Abang, bukan dilarang oleh pemerintah, melainkan sebagian besar murid-muridnya tewas pada saat mereka menyerbu Padepokan Benteng Nusa. Kemudian bisnis penginapannya, Pesanggrahan Seribu Kembang, yang sesungguhnya adalah tempat pelacuran dan perjudian terselubung, bukan disita oleh pemerintah, melainkan diserbu dan dibakar oleh masyarakat setelah pasukan Demak berhasil menaklukan kerajaan Dyah Ranawijaya.
Seorang pembantu perempuan tua mengantarkan berbagai hidangan makanan dan minuman. Ia mendengar penuturan sang juragan kepada tamunya dan ia berkata dalam hati, 'Ketika menjabat demang, kamu dulu justru penindas dan pemeras rakyat. Sekarang berlagak seolah-olah sebagai seorang negarawan. Mengkritik dan menuduh pemimpin tidak berpihak kepada rakyat. Huu..., kamu sangat benci kepada Padepokan Benteng Nusa lantaran hanya padepokan itulah satu-satunya yang berani secara terang-terangan menentang semua kelakuan jahatmu!'
"Mbok, apa kamu sengaja mau menguping pembicaraan kami?" bentak Ki Wiryo ketika melihat pembantunya itu berlama-lama menata hidangan.
"Maaf, Juragan!" jawab perempuan tua itu dengan gugup dan cepat-cepat meninggalkan ruang tamu.
"Dan yang paling menyakitkan kami," Ki Wiryo melanjutkan ceritanya dengan gigi gemeletuk menahan amarah, "Ikatan tunangan antara pihak kami dengan Benteng Nusa dibatalkan begitu saja oleh pihak mereka! Mereka jelas mengkhianati sebuah perjanjian suci. Itu hinaan yang sangat menyakitkan dan mencoreng muka kami!"
"Saya sempat mendengar juga kejadian itu!" timpal Dewan, "Bagaimana dengan Mas Warsito sekarang?"
"Dia sempat mengalami guncangan jiwa. Apalagi setelah tempat usahanya, Pesanggrahan Seribu Kembang, dihancurkan oleh orang-orang biadab yang dengki!" keluh Ki Wiryo prihatin, "Ayo kita temui dia di halaman belakang. Setiap hari dia menghabiskan waktu hanya untuk berlatih silat!"
Warsito Kertosastro, seorang pemuda berumur dua puluh sembilan tahun, sedang berlatih jurus cakar Macannya. Ia berlatih keras dengan tujuan agar bisa melampiaskan dendam kesumatnya. Ia yang mendapat julukan Si Cakar Macan itu mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya hanya untuk memperdalam ilmu beladiri.
"War!" panggil Ki Wiryo kepada putranya yang sedang menghajar sebuah pohon Akasia dengan cakar mautnya. "Ada tamu agung!"
Warsito terpaksa membuyarkan konsentrasi dan menghentikan latihannya. Cakarnya yang menancap pada kulit pohon dicabut dan meninggalkan goresan yang cukup dalam, menandakan betapa kuatnya tenaga dalamnya.
"Mas War!" sapa Dewan mendahului, "Masih ingat aku?"
"Dewa?" balas Warsito diiringi senyum ceria. Kedua pemuda itu saling berpelukan. "Lama sekali kita tidak ketemu!"
"Ya.., sejak kamu pulang ke Jombang!"
Mereka bertiga kemudian memilih duduk di taman belakang rumah yang cukup sejuk itu. Si Mbok pembantu diminta memindahkan makanan dan minuman dari ruang tamu ke belakang.
Mereka segera terlibat asyik dalam percakapan mengenai situasi politik yang terjadi belakangan. Ki Wiryo dan Warsito dengan gamblang mengutarakan keinginan mereka untuk suatu saat menghancurkan Padepokan Benteng Nusa.
"Mereka menggelapkan harta kekayaan seorang bangsawan Majapahit untuk membangun dan membesarkan padepokan!" kata Ki Wiryo, "Itulah kenapa aku dulu menyerbu padepokan itu karena mereka menolak untuk menyerahkan harta haram itu ke negara! Tapi sayangnya aku gagal! Mereka memang sangat kuat!"
"Mereka juga menyimpan kitab pusaka Serat Sekti Mandraguna dan Pedang Pusaka Nusantara secara tidak sah!" sambung Warsito dengan nada geram. "Dua pusaka itulah yang membuat mereka kuat. Warisan leluhur itu harus dikembalikan kepada kerajaan!"
Arya Dewandaru, orang yang sebetulnya baik itu, sudah mulai terhasut dan akhirnya menyatakan siap memberikan bantuan. "Aku sangat benci Demak dan semua pendukungnya. Aku akan kumpulkan orang-orangku dan siap berjuang untuk membela orang-orang teraniaya!" janjinya di depan Ki Wiryo dan Warsito.Â
Ki Wiryo menyambut dengan penuh suka cita. "Aku akan mengorganisir barisan sakit hati!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H