"Terima kasih paman sudah menolong saya!" ucap Ghandi sebelum berlari meninggalkan tempat itu. Ia telah mendapat banyak pelajaran berharga dari semua peristiwa hari itu.
Setelah agak jauh dia mendengar jeritan panjang yang menggema memenuhi angkasa, hingga burung-burung keluar dari sarang dan berterbangan menjauh dari pinggiran hutan. Itu suara jeritan si kakek berlengan buntung.
Kini mulai terbuka pikiran bocah kecil itu, mengapa banyak pendekar yang terkenal gagah perkasa dan dia kagumi sering kali melakukan pembunuhan. Rupanya di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sudah sepatutnya dibasmi, sebab perbuatan mereka hanya menimbulkan kekacauan dan menjadi sumber segala kejahatan. Membasmi mereka berarti memelihara kedamaian.
Sementara itu, Arya Dewandaru menyabetkan pedang ke arah lutut kiri Joko Petir hingga putus dalam sekali tebas. Gerakan kilat dan kuat itu sampai membuat ujung pedang yang mengenai batu memercikan bunga api. "Seandainya kamu masih memiliki tubuh yang utuh dan diberi umur sampai seribu tahun pun, kamu pasti masih akan terus menebarkan kejahatan di muka bumi ini!"
Kakek yang dulu mendapat julukan Pendekar Tapak Petir itu meraung dan menangis sejadi-jadinya. "Bunuh saja aku, bangsat!"
"Tidak! Justru aku berharap kamu panjang umur!" Dewan kemudian mengambil potongan kain celana kakek buntung itu dan menggunakannya untuk membalut luka di kedua lutut yang baru tertebas itu. "Biar kamu tidak sampai kehabisan darah!"
"Manusia setan!" maki Joko Petir, "Kamu setan alas!"
"Ha..ha..ha..!" gelak tawa Dewan membahana, seolah pepohonan yang berada di sekitanya ikut bergetar. "Kamu keliru! Aku bisa lebih ganas ketimbang setan alas! Karena aku adalah iblis!"
"Pantas!"
"Hei, kali ini aku ingin mendengar nasehatmu dan pasti akan aku turuti! Menurutmu apakah aku harus mengingkari ikrarku kepada ruh romoku, bahwa aku akan menyiksamu sampai mati, atau aku harus langsung membunuhmu?"
Jerit antara tangis Pendekar Tapak Petir berbaur dengan suara tawa. Dia mungkin sudah gila, dan memang pantas disebut gila.