"War!" panggil Ki Wiryo kepada putranya yang sedang menghajar sebuah pohon Akasia dengan cakar mautnya. "Ada tamu agung!"
Warsito terpaksa membuyarkan konsentrasi dan menghentikan latihannya. Cakarnya yang menancap pada kulit pohon dicabut dan meninggalkan goresan yang cukup dalam, menandakan betapa kuatnya tenaga dalamnya.
"Mas War!" sapa Dewan mendahului, "Masih ingat aku?"
"Dewa?" balas Warsito diiringi senyum ceria. Kedua pemuda itu saling berpelukan. "Lama sekali kita tidak ketemu!"
"Ya.., sejak kamu pulang ke Jombang!"
Mereka bertiga kemudian memilih duduk di taman belakang rumah yang cukup sejuk itu. Si Mbok pembantu diminta memindahkan makanan dan minuman dari ruang tamu ke belakang.
Mereka segera terlibat asyik dalam percakapan mengenai situasi politik yang terjadi belakangan. Ki Wiryo dan Warsito dengan gamblang mengutarakan keinginan mereka untuk suatu saat menghancurkan Padepokan Benteng Nusa.
"Mereka menggelapkan harta kekayaan seorang bangsawan Majapahit untuk membangun dan membesarkan padepokan!" kata Ki Wiryo, "Itulah kenapa aku dulu menyerbu padepokan itu karena mereka menolak untuk menyerahkan harta haram itu ke negara! Tapi sayangnya aku gagal! Mereka memang sangat kuat!"
"Mereka juga menyimpan kitab pusaka Serat Sekti Mandraguna dan Pedang Pusaka Nusantara secara tidak sah!" sambung Warsito dengan nada geram. "Dua pusaka itulah yang membuat mereka kuat. Warisan leluhur itu harus dikembalikan kepada kerajaan!"
Arya Dewandaru, orang yang sebetulnya baik itu, sudah mulai terhasut dan akhirnya menyatakan siap memberikan bantuan. "Aku sangat benci Demak dan semua pendukungnya. Aku akan kumpulkan orang-orangku dan siap berjuang untuk membela orang-orang teraniaya!" janjinya di depan Ki Wiryo dan Warsito.Â
Ki Wiryo menyambut dengan penuh suka cita. "Aku akan mengorganisir barisan sakit hati!"