Pikiran Joko Petir melayang-layang ke masa lampau. Ketika masih muda ia memang pernah merampok rumah salah seorang pejabat yang bernama Rakyan Kayuwangi. Ia dan anak buahnya bertempur melawan para pengawal sampai menjelang pagi. Ia sendiri kemudian berhadapan dengan Kayuwangi, dan akhirnya berhasil merobohkan lawannya itu setelah menyarangkan beberapa pukulan maut tapak petirnya. Pejabat yang gagah perkasa itu tewas dengan separuh tulang-tulangnya remuk.
Raden Ghandi siuman, dan segera bangun ketika mendengar suara orang berkelahi. Seandainya tendangan di tengkuk tadi mengenai orang lain, mungkin bisa mengakibatkan meninggal dunia, atau pingsan dalam jangka waktu yang sangat lama. Untungnya bocah kecil itu sudah sering melakukan semedi dan melatih pernafasan, sehingga hawa murni yang mengalir dalam tubuhnya membuatnya sangat kuat. Kesadarannya pulih, dan kini ia tahu bahwa kakek buntung itu ternyata memang orang yang sangat jahat.
Saat itu gulungan sinar pedang menyambar, Joko Petir menjerit akibat telinga kirinya terbabat pedang. Untungnya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya telinganya saja yang terbabat, tidak sampai mengenai pundaknya.
Dewan terus menerjang dan kelebat pedangnya kini berhasil merobek baju dan kulit pinggang, malah dalam detik berikutnya dengan kecepatan kilat pedang itu sudah melukai separuh lutut kanan. Nyaris putus. Cukup mendatangkan rasa perih bukan main sehingga Joko Petir pun meraung kesakitan dan tubuhnya bergulingan di tanah.
Dewan diam mematung sambil menginjak kaki kakek penjahat itu, memberi kesempatan kepadanya untuk setidaknya minta ampun atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya.
"Bunuh saja aku!" rintih Joko Petir. Dia memang tampak sebagai seorang yang tidak mudah untuk meminta ampun.
Dewan berpaling kepada Ghandi dan berseru, "Pulanglah, Nak!"
Ghandi mengangguk dan sebelum pergi ia memberi hormat dan berkata, "Maaf, tadi pagi saya sudah berburuk sangka terhadap paman!"
Dewan hanya tersenyum getir. "Hei, dari mana kamu tahu aku adalah orang yang sama dengan yang tadi?" Penampilannya sudah jauh berubah, orang mungkin akan mengenenali dari kudanya, tapi ia tidak membawa kuda. Bisa jadi dari pedang yang berada digenggamannya, tapi itu sulit jika bukan seorang ahli senjata.
"Dari suara paman!"
"Anak pintar!" puji Dewan. "Pergilah!"