Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (93): Sejuta Tipu Muslihat

22 Oktober 2024   04:40 Diperbarui: 22 Oktober 2024   04:41 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Subuh sudah lama lewat, malah matahari sudah mengintip di ufuk timur. Bebaslah dunia dari cengkraman kelamnya malam yang melenakan. Namun belum banyak orang yang beranjak keluar dari rumah mereka. Udara pagi itu memang terasa lebih dingin dari biasanya.

Warung ayam bakar di seberang jalan Langgar Al Akbar belum buka, kendati pun demikian, sudah ada beberapa orang yang datang untuk mengantri. Mereka duduk-duduk di depan halaman warung sambil berbincang-bincang.

Sekitar lima meter dari warung, tampak seorang lelaki tua, duduk bersandar pada sebuah pohon Trembesi. Pakaiannya tampak sedikit kumal. Rambut panjangnya yang putih tulang tidak terpelihara, ditutupi caping petani dari bambu. Tubuhnya jangkung dan kekar, akan tetapi jika mengamati wajah dan sorot matanya yang sayu, ia lebih seperti seorang pengembara yang tengah putus asa.

Di seberang jalan, seorang lelaki penunggang kuda turun dari kuda dan mengikatkan tali kendali kuda pada sebuah pohon di samping langgar. Tidak ada yang bisa memastikan kenapa lelaki itu menambatkan kudanya di tempat itu. Wajahnya cukup bersih, tapi ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Rambutnya yang panjang digelung ke atas. Pakaiannya yang sederhana tidak mampu menyembunyikan tubuhnya yang kekar berisi dan gagah sekali ketika berjalan. Ia kemudian menyeberang jalan, tampaknya akan menghampiri si kakek pengembara.

Beberapa saat kemudian lelaki berkumis lebat itu mencabut pedang dan tiba-tiba menyerang kakek pengembara secepat kilat. Kekek itu sangat kaget. Jelas sekali bahwa penyerangnya itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang lumayan tinggi. Melihat cara dia menyerang, tusukan pedangnya sangat gesit dan tidak boleh dianggap ringan.

Kakek yang ternyata kedua tangannya buntung sebatas siku itu tiba-tiba berjumpalitan menghindar dan kini memasang kuda-kuda, siap melayani lawannya. Ia tak kalah gesit. Pada saat melihat penyerang gelap itu kembali menusuk dengan deras, ia cepat-cepat menggerakkan baju lengannya menangkis dari bawah ke atas, dan kedua kakinya melayang bergantian ke depan mengirim tendangan balasan.

Lelaki brewokan itu berseru kaget karena merasa betapa kekuatan tusukan pedangnya melenceng menerima tangkisan lengan baju, dan dengan kecepatan luar biasa lengan tangan kirinya membentengi dada dari tendangan beruntun si kakek.

Suasana pagi yang tadinya damai itu kini menjadi gaduh. Perkelahian dua orang asing itu segera memancing kerumunan. Sekelompok anak-anak yang sedang mengaji di dalam langgar pun berhamburan keluar, menonton keributan itu.

Alya, si guru mengaji berusia 16 tahun, tampak dengan sabar menggiring murid-murid kecilnya agar kembali masuk ke dalam langgar. "Ayo anak-anak masuk.., gak bagus lihat orang berkelahi!"

"Gak apa-apa, Mbak," celetuk salah seorang anak tanpa mengalihkan pandangan dari pertempuran sengit yang menarik itu, "Jangan takut, saya akan menjaga dan melindungi Mbak Alya!"

"Den Ghandi masih kecil," timpal Alya, "Apa mampu melindungiku dari orang-orang jahat itu?"

"Jangan kuatir!" jawab anak berumur delapan tahun itu dengan begitu percaya diri. Nada suaranya yang polos terdengar lucu, tidak ada kesan hendak menyombongkan diri.

Alya, putri imam langgar yang telah menginjak dewasa itu hanya mampu menghela nafas pelan. Dia maklum bahwa anak yang baru berumur delapan tahun itu memang anak yang istimewa.

Saat itu, lelaki brewokan memutar pedangnya mengejar ke arah lawan, sedangkan kedua kakinya dengan gesit berlari hingga tanah dan kerikil yang diinjaknya berhamburan laksana dihempas badai topan, dan meninggalkan bekas sepatu yang cukup dalam di tanah. la betul-betul mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghabisi lawannya.

Si kakek bercaping petani menggerakkan lengan bajunya menangkis secara cepat dan melancarkan tendangan balasan bertenaga dalam. Namun pada saat itu dia juga mengakui bahwa lelaki muda lawannya itu luar biasa.

"Kau memang bajingan hebat!" seru lelaki brewokan memuji, sambil pedang di tangannya menerjang bertubi-tubi dari depan, atas dan samping. Lelaki itu telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua ilmu yang dimilikinya.

Kakek pengembara itu tercengang menghadapi serangan hebat itu. Pedang di tangan lawannya itu menyambar-nyambar laksana kilat yang mengamuk. Kakek itu benar-benar menemui lawan yang sangat tangguh. Dia terus terdesak oleh serangan yang dilakukan dengan kecepatan yang sangat dasyat dan beberapa kali ujung pedang lawan telah berhasil merobek pakaian dan menggores kulitnya. Itu artinya gerakannya sedikit kalah cepat.

Dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah, kakek bermata sayu itu dengan nekad melindungi dadanya dari tusukan pedang dengan mengorbankan kedua lengan buntungnya yang disilangkan di depan dada. Ternyata pedang itu berbelok arah dan kini menembus paha kanan tanpa ampun. Jerit kesakitan tampak tertahan dari mulutnya yang keriput. Darah muncrat membasahi tanah.

Tiba-tiba ada serangan kilat yang membuat lelaki brewokan itu mundur dan pedang yang masih menancap di paha lawan terlepas dari genggamannya. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa orang yang mendorongnya mundur itu ternyata hanya seorang anak kecil. Matanya melotot seolah tidak percaya.

"Paman, mohon kasihanilah kakek tua ini!" seru Ghandi dengan sikap lugu, berdiri melindungi kakek yang tampak sangat kesakitan. "Dia kakek yang tidak punya tangan!"

"Hei bocah lancang!" bentak lelaki brewokan dengan suaranya yang berat dan menakutkan, "Dia adalah seorang penjahat besar tahu! Minggir atau kau akan kutampar!"

"Raden Ghandi!" panggil Alya dari halaman langgar, "Kalau Raden berkelahi nanti dihukum lagi sama ayahmu!"

"Tapi aku harus membela orang yang lemah dan butuh pertolongan, Mbak!" jawab Ghandi, "Bukankah Mbak juga pernah bilang begitu?"

"Anak siapa yang sangat kurang ajar ini?" tanya lelaki brewokan sambil mengarahkan pandangannya kepada Alya dengan sorot mata tajam.

"Mohon maaf Tuan Pendekar!" kata Alya, "Ibu Raden Ghandi dikenal orang dengan julukan Pendekar Naga Jelita, sedangkan ayahnya dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Akhirat!"

Lelaki brewokan itu seketika merasakan lututnya gemetar. Kedua orang yang namanya disebut tadi adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Bagaimana pun juga dia merasa khawatir kalau sampai menimbulkan bibit permusuhan dengan kedua pendekar yang sangat sakti itu.

Lelaki brewokan yang memiliki nama Arya Dewandaru itu sebetulnya adalah Komandan Pasukan Alap-alap Kerajaan Majapahit di bawah Prabu Dyah Ranawijaya. Pasukan rahasia yang terdiri dari para bayangkara muda yang punya tugas mengintai keberadaan musuh besar kerajaan. Mereka punya tugas-tugas khusus, bagian intelijen, bagian penyergapan serta penangkapan.

Yang menarik, di dalam menjalankan tugas, mereka memang selalu menyamar. Kadang menyaru sebagai pedagang sayur, petani, kusir, pedagang keliling mainan anak-anak dan bahkan menjadi gelandangan atau orang gila, dan lain sebagainya. Mereka adalah manusia bayangan yang keberadaannya tidak diketahui oleh tantara sekalipun. Agar sebuah misi berhasil, penyamaran harus sesempurna mungkin. Kerajaan mengeluarkan biaya sangat besar untuk setiap misi yang mereka lakukan dalam menumpas musuh-musuh kerajaan.

Di samping menjalankan tugas kerajaan, Dewandaru sebetulnya punya dendam pribadi kepada kakek bertangan buntung itu. Oleh karena itu, meskipun Prabu Dyah Ranawijaya telah dikalahkan oleh Kerajaan Demak dan telah lenyap dari muka bumi, namun misi untuk melampiaskan dendamnya itu belum tuntas.

Lima belas tahun yang lalu, ayah Arya Dewandaru, Juru Pangalasan, pembesar yang membawahi sebuah daerah yang bergelar Rakyan, tewas dibunuh oleh kelompok perampok Tapak Petir. Saat itu Arya baru berumur lima belas tahun.

Kakek berlengan buntung itulah Joko Petir yang dijuluki Pendekar Tapak Petir. Ia memimpin serangkaian perampokan dan pembunuhan dalam kurun waktu selama tiga puluh tahun lebih. Ia pun menjadi buronan kerajaan kelas wahid. Setelah Kerajaan Majapahit bubar, ia mengira sudah merasa aman dalam pelariannya.

Kelompok perampok elit itu berjumlah lima orang, tapi satu per satu anggotanya sudah tewas. Tinggal sang ketua, yang selalu berhasil lolos. Selama dalam pelarian dia memang selalu pindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya, menyamar dan berganti-ganti nama. Waktu melakukan serangkaian perampokan dan pembunuhan, umurnya baru tiga puluh dua tahun. Sekarang Pendekar Tapak Petir sudah berumur enam puluh tahun lebih.

Dia berasal dari sebuah desa kecil di dekat Kota Rembang. Waktu kecil dia menyaksikan bapaknya dihajar massa karena tertangkap mencuri. Bapaknya hanya mencuri beras untuk menghidupi keluarganya yang kelaparan, tapi dihakimi massa hingga sakit parah dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.

Peristiwa yang menyakitkan itu membuat Si Joko kecil bersumpah dalam hati bahwa kelak dia ingin menjadi seorang penjahat sakti agar mampu menandingi orang-orang yang akan menangkapnya. Cita-citanya untuk menjadi penjahat benar-benar terkabul. Tapi sebagai perampok, ia hanya merampok kaum bangsawan dan pejabat-pejabat kaya.

Suatu hari dia dan kawanannya kena batunya di kota Jombang, setelah sekitar tujuh jam berkuda dari Trowulan. Saat itu dia berniat merampas kitab dan pedang pusaka milik Padepokan Benteng Nusa. Dia dan kawanannya berhasil dikalahkan oleh Lintang Kejora, dan akhirnya menerima hukuman potong lengan sebatas siku.

Sejak peristiwa itu, kelompok perampok Tapak Petir tidak lagi terdengar aksinya. Mungkin mereka membubarkan diri karena menyadari bahwa kemampuan mereka untuk bertarung tidak sehebat dulu.

Sehari sebelumnya, Joko Petir terlihat berjalan di Ringin Contong. Pagi itu dia terlihat lagi lewat di tempat yang sama. Arya Dewandaru diam-diam membuntutinya dari jauh. Joko Petir istirahat di bawah pohon. Dewan pun ikut istirahat. Jarak mereka kian dekat.

Ketika Dewan menyapanya dan mencoba mengajak berkenalan, Joko Petir tampak berusaha menyingkir. "Maaf, apa kakek bernama Petir?"

"Bukan. Saya bukan Joko Petir!" jawab kakek itu cepat.

"Kalau begitu nama kakek siapa?"

"Saya Surono!"

"Maaf, apa yang terjadi dengan lengan anda?" kejar Dewandaru, "Maaf, kalau saya boleh tahu?"

"Kenapa Ki sanak ingin tahu?"

"Sebetulnya saya sedang mencari sahabat romo saya yang bernama Petir! Ah, iya, Joko Petir! Saya mau menyampaikan titipan dari romo buat beliau! Anda memiliki ciri-ciri yang sama dengan sahabat romo saya!"

Kakek berlengan buntung itu sejenak tertegun dan mengamati wajah lelaki brewok di depannya itu dengan penuh kecurigaan. "Tapi saya bukan Joko Petir. Saya tidak kenal orang bernama Joko Petir!" ujarnya dan pergi begitu saja meninggalkan tempat.

"Sebentar Ki Suyono!"

"Ada apa lagi?"

Dewan diam beberapa saat seolah sedang berpikir keras. "Ki Suyono berasal dari mana?"

"Saya dari sini!"

"Dari Jombang?"

"Iya benar!"

"Maaf, anda tadi pertama bilang bernama Surono, tapi waktu saya panggil Suyono kok anda tidak keberatan?" tanya Dewan tanpa basa-basi lagi.

"Saya Suyono!"

Arya Dewandaru semakin yakin bahwa orang di depannya itu memang penjahat yang selama ini dicarinya, yaitu Pendekar Tapak Petir.

***

Kini Arya Dewandaru menatap Den Ghandi dengan sorot mata penuh kegeraman. "Dengar baik-baik ya, Nak! Orang tua itu adalah penjahat besar!"

"Dia salah orang!" Joko Petir menyahut cepat, "Saya Surono, bukan Joko Petir.

"Nah, paman salah orang!" seru Ghandi tegas. "Paman yang jahat dan sudah melakukan kesalahan besar!"

"Hei bocah cilik, dengar..."

"Jangan panggil aku bocah cilik. Apa paman sudah tua bangka?"

Dewan menarik nafas panjang. "Baiklah, saya menghormati orang tuamu. Saya mau pergi, tapi saya mau mengambil pedang saya!"

Joko Petir lega mendengar itu. Ia tidak menyangkah nyawanya telah diselamatkan oleh seorang bocah kecil, anak dari orang yang telah membuat kedua tangannya buntung.

"Bocah keparat!" gerutu Arya Dewandaru lirih. Tentu saja wajahnya tadi berubah merah saking marahnya. Terlepas pedang di tangannya dengan sekali dorong oleh seorang anak kecil merupakan penghinaan yang tiada tara bagi komandan pasukan rahasia yang terlatih itu. Benar-benar tidak masuk di akal.

Itulah yang membuat ia kemudian ragu-ragu untuk menyerang, karena apabila sampai bertarung, kalau menang tidak akan berarti apa-apa, namun jika kalah harga dirinya akan hancur lebur terseret masuk ke dalam lumpur.

Tapi sebagai pasukan elit, sudah sepatutnya ia bekerja menggunakan akal ketimbang emosi. Ia mengalah, menyingkir untuk menyusun ulang strategi. Kejadian tadi sempat membuatnya nyaris membuka jati dirinya, tapi control akalnya masih berjalan.

Ia memacu kudanya ke arah barat dan di dekat jembatan membelokan kuda menuruni sebuah sungai yang sepi. Ia mencabut kumis dan jenggot tebalnya yang ternyata palsu, mencuci muka, melepas gelungan rambut dan ganti mengikatnya ke belakang. Ia melepas baju dan membaliknya, dan terakhir mengenakan kain yang diambilnya dari buntalan di atas pelana kuda untuk diikatkan di kepala seperti blangkon.

Arya Dewandaru kini adalah seorang pemuda tampan berpakaian batik dan mengenakan blangkon layaknya seorang pegawai kademangan.

Tiba-tiba tersungging senyuman di mulutnya. Rupanya ia mendapat ide bagus. 'Untung ada bocah sialan, jadi aku tidak sampai membunuh bajingan tua bangka itu!' batinnya. Joko Petir yang sudah tua itu tidak perlu dibunuh, hanya perlu dipotong kedua kakinya, biar dia sempat menjalani penderitaan di sepanjang hari tuanya. Itulah balasan yang setimpal.

'Bajingan itu layak untuk menderita!' pikir si agen rahasia itu senang, 'Kematian terlalu enak buat dia!' Sebelum kembali mengejar buronannya, ia membiarkan kudanya lebih dulu minum air sungai jernih itu sepuasnya.

***

Si Pendekar yang mendapat julukan Tapak Petir dan empat orang anak buahnya itu dulu cukup terkenal sadis dan sangat ditakuti, apalagi setelah kawanan perampok elit itu berani mengobrak-abrik salah satu istana raja.

"Mencuri itu berdosa!" kata Ki Joko Petir lirih, "Aku tahu itu, tapi aku hanya mencuri sebatang pohon singkong karena aku sangat kelaparan!"

Raden Ghandi sedang membantu membalut luka kakek itu dan tertegun mendengarnya. Ia merasa semakin iba. "Mbah mau ke rumahku, aku akan minta ibuku untuk memasakan makanan buat Mbah?"

"Anak yang baik! Tapi Mbah sekarang tidak lapar! Nak, maukah kamu ambilkan caping Mbah!"

Orang yang berbadan jangkung dan berwajah pucat itu menyapu sekeliling dengan pandangan matanya yang dingin dan sayu. Kerumunan orang-orang yang tadi menonton pertarungan sudah membubarkan diri. Alya sudah kembali mengajar anak-anak mengaji. Saat itu ia hanya berdua dengan Ghandi di serambi langgar.

Ghandi mengambil caping yang tadi jatuh saat saat kakek tua itu diserang, lalu memasangkannya di kepala kakek itu.

"Maukah kamu menolongku lagi?"

"Menolong apa, Mbah?"

"Mengantar pulang! Badan Mbah masih lemas dan sakit semua!" Ia sedang berpikir bagaimana cara menculik anak yang bapaknya dulu telah mengakibatkan ia kehilangan kedua lengannya. Ia akan meminta kitab dan pedang pusaka sebagai tebusannya. Ambisinya membuat ia lupa apa gunanya pedang bagi orang yang tidak punya tangan.

"Saya mau pulang dulu untuk minta Cak Man ngantar Mbah dengan dokar!"

"Siapa Cak Man itu?"

"Dia kusir dokar padepokan!"

"Oh jangan. Mbah tidak mau merepotkan orang!" Kakek berlengan buntung itu kemudian berdiri dan berlagak kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya. "Biar Mbah jalan kaki saja! Rumah Mbah tidak jauh kok dari sini!"

"Baiklah mari saya antar, Mbah!" Anak kecil berhati mulia itu dengan sabar menaruh lengan kiri buntung Joko Petir di bahunya dan membiarkan setengah bobot badan kakek itu bersandar pada tubuh kecilnya.

'Bagaimana bocah sekecil ini sudah memiliki tenaga dalam yang demikian kuatnya?' Joko Petir dalam hati bertanya keheranan. Ia sedikit ragu apakah ia nanti bisa melumpuhkan anak kecil luar biasa itu.

Ia sudah bisa mengukur sampai di mana kehebatan ilmu silat lelaki brewok yang menyerangnya tadi, pasti sudah jarang dapat ditandingi oleh kebanyakan ahli silat. Akan tetapi, bocah kecil itu dengan sekali gerakan dapat membuat lelaki itu terpental mundur. Sungguh hal itu membuat Joko Petir, sebagai orang yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, benar-benar takjub.

"Lewat jalan pintas saja, Raden!" Joko Petir mengajak menuju pematang sawah, "Biar lebih dekat!"

Setelah melewati persawahan yang cukup jauh, dan kini berada di pinggiran hutan, Raden Ghandi mulai bertanya, "Rumah Mbah masih jauhkah?"

"Sebentar lagi, Den. Agak masuk hutan, maklum Mbah orang miskin!" Dari tadi ia sengaja menghujani bocah kecil itu dengan banyak pertanyaan, agar tidak sempat memperhatikan jarak perjalanan yang mereka tempuh.

"Ini sudah sangat jauh. Maaf, saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mbah! Saya harus pulang!"

"Ah.., baik.., baik..!" Kakek buntung itu mencoba mencari akal. "Tapi Mbah mau memberi Raden hadiah senjata pisau di rumah. Pisau kuno yang sangat bagus. Mbah sudah banyak berhutang budi sama Raden, jadi Mbah mau memberikan harta istimewa satu-satunya yang Mbah miliki itu buat Raden!"

"Tidak usah, Mbah. Terima kasih!"

"Raden lihat pohon yang paling besar itu!" Joko Petir menunjuk ke arah hutan, "Di situlah gubuk Mbah! Tidak jauh bukan?"

Ketika Ghandi mencari-cari pohon yang dimaksud kakek buntung, tiba-tiba tendangan keras dari belakang bersarang di tengkuknya. Tanpa ampun, tubuh kecil itu roboh seketika dalam keadaan pingsan. Mukanya jatuh di atas bebatuan.

Joko Petir adalah orang yang mempunyai watak aneh dan dapat berbuat kejam melebihi iblis. Penjahat dengan sejuta tipu muslihat. Ia tersenyum puas ketika melihat usahanya melumpuhkan bocah kecil itu berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun