Kelompok perampok elit itu berjumlah lima orang, tapi satu per satu anggotanya sudah tewas. Tinggal sang ketua, yang selalu berhasil lolos. Selama dalam pelarian dia memang selalu pindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya, menyamar dan berganti-ganti nama. Waktu melakukan serangkaian perampokan dan pembunuhan, umurnya baru tiga puluh dua tahun. Sekarang Pendekar Tapak Petir sudah berumur enam puluh tahun lebih.
Dia berasal dari sebuah desa kecil di dekat Kota Rembang. Waktu kecil dia menyaksikan bapaknya dihajar massa karena tertangkap mencuri. Bapaknya hanya mencuri beras untuk menghidupi keluarganya yang kelaparan, tapi dihakimi massa hingga sakit parah dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Peristiwa yang menyakitkan itu membuat Si Joko kecil bersumpah dalam hati bahwa kelak dia ingin menjadi seorang penjahat sakti agar mampu menandingi orang-orang yang akan menangkapnya. Cita-citanya untuk menjadi penjahat benar-benar terkabul. Tapi sebagai perampok, ia hanya merampok kaum bangsawan dan pejabat-pejabat kaya.
Suatu hari dia dan kawanannya kena batunya di kota Jombang, setelah sekitar tujuh jam berkuda dari Trowulan. Saat itu dia berniat merampas kitab dan pedang pusaka milik Padepokan Benteng Nusa. Dia dan kawanannya berhasil dikalahkan oleh Lintang Kejora, dan akhirnya menerima hukuman potong lengan sebatas siku.
Sejak peristiwa itu, kelompok perampok Tapak Petir tidak lagi terdengar aksinya. Mungkin mereka membubarkan diri karena menyadari bahwa kemampuan mereka untuk bertarung tidak sehebat dulu.
Sehari sebelumnya, Joko Petir terlihat berjalan di Ringin Contong. Pagi itu dia terlihat lagi lewat di tempat yang sama. Arya Dewandaru diam-diam membuntutinya dari jauh. Joko Petir istirahat di bawah pohon. Dewan pun ikut istirahat. Jarak mereka kian dekat.
Ketika Dewan menyapanya dan mencoba mengajak berkenalan, Joko Petir tampak berusaha menyingkir. "Maaf, apa kakek bernama Petir?"
"Bukan. Saya bukan Joko Petir!" jawab kakek itu cepat.
"Kalau begitu nama kakek siapa?"
"Saya Surono!"
"Maaf, apa yang terjadi dengan lengan anda?" kejar Dewandaru, "Maaf, kalau saya boleh tahu?"