Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (93): Sejuta Tipu Muslihat

22 Oktober 2024   04:40 Diperbarui: 22 Oktober 2024   04:41 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Tapi sebagai pasukan elit, sudah sepatutnya ia bekerja menggunakan akal ketimbang emosi. Ia mengalah, menyingkir untuk menyusun ulang strategi. Kejadian tadi sempat membuatnya nyaris membuka jati dirinya, tapi control akalnya masih berjalan.

Ia memacu kudanya ke arah barat dan di dekat jembatan membelokan kuda menuruni sebuah sungai yang sepi. Ia mencabut kumis dan jenggot tebalnya yang ternyata palsu, mencuci muka, melepas gelungan rambut dan ganti mengikatnya ke belakang. Ia melepas baju dan membaliknya, dan terakhir mengenakan kain yang diambilnya dari buntalan di atas pelana kuda untuk diikatkan di kepala seperti blangkon.

Arya Dewandaru kini adalah seorang pemuda tampan berpakaian batik dan mengenakan blangkon layaknya seorang pegawai kademangan.

Tiba-tiba tersungging senyuman di mulutnya. Rupanya ia mendapat ide bagus. 'Untung ada bocah sialan, jadi aku tidak sampai membunuh bajingan tua bangka itu!' batinnya. Joko Petir yang sudah tua itu tidak perlu dibunuh, hanya perlu dipotong kedua kakinya, biar dia sempat menjalani penderitaan di sepanjang hari tuanya. Itulah balasan yang setimpal.

'Bajingan itu layak untuk menderita!' pikir si agen rahasia itu senang, 'Kematian terlalu enak buat dia!' Sebelum kembali mengejar buronannya, ia membiarkan kudanya lebih dulu minum air sungai jernih itu sepuasnya.

***

Si Pendekar yang mendapat julukan Tapak Petir dan empat orang anak buahnya itu dulu cukup terkenal sadis dan sangat ditakuti, apalagi setelah kawanan perampok elit itu berani mengobrak-abrik salah satu istana raja.

"Mencuri itu berdosa!" kata Ki Joko Petir lirih, "Aku tahu itu, tapi aku hanya mencuri sebatang pohon singkong karena aku sangat kelaparan!"

Raden Ghandi sedang membantu membalut luka kakek itu dan tertegun mendengarnya. Ia merasa semakin iba. "Mbah mau ke rumahku, aku akan minta ibuku untuk memasakan makanan buat Mbah?"

"Anak yang baik! Tapi Mbah sekarang tidak lapar! Nak, maukah kamu ambilkan caping Mbah!"

Orang yang berbadan jangkung dan berwajah pucat itu menyapu sekeliling dengan pandangan matanya yang dingin dan sayu. Kerumunan orang-orang yang tadi menonton pertarungan sudah membubarkan diri. Alya sudah kembali mengajar anak-anak mengaji. Saat itu ia hanya berdua dengan Ghandi di serambi langgar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun