Oleh: Tri Handoyo
Subuh sudah lama lewat, malah matahari sudah mengintip di ufuk timur. Bebaslah dunia dari cengkraman kelamnya malam yang melenakan. Namun belum banyak orang yang beranjak keluar dari rumah mereka. Udara pagi itu memang terasa lebih dingin dari biasanya.
Warung ayam bakar di seberang jalan Langgar Al Akbar belum buka, kendati pun demikian, sudah ada beberapa orang yang datang untuk mengantri. Mereka duduk-duduk di depan halaman warung sambil berbincang-bincang.
Sekitar lima meter dari warung, tampak seorang lelaki tua, duduk bersandar pada sebuah pohon Trembesi. Pakaiannya tampak sedikit kumal. Rambut panjangnya yang putih tulang tidak terpelihara, ditutupi caping petani dari bambu. Tubuhnya jangkung dan kekar, akan tetapi jika mengamati wajah dan sorot matanya yang sayu, ia lebih seperti seorang pengembara yang tengah putus asa.
Di seberang jalan, seorang lelaki penunggang kuda turun dari kuda dan mengikatkan tali kendali kuda pada sebuah pohon di samping langgar. Tidak ada yang bisa memastikan kenapa lelaki itu menambatkan kudanya di tempat itu. Wajahnya cukup bersih, tapi ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Rambutnya yang panjang digelung ke atas. Pakaiannya yang sederhana tidak mampu menyembunyikan tubuhnya yang kekar berisi dan gagah sekali ketika berjalan. Ia kemudian menyeberang jalan, tampaknya akan menghampiri si kakek pengembara.
Beberapa saat kemudian lelaki berkumis lebat itu mencabut pedang dan tiba-tiba menyerang kakek pengembara secepat kilat. Kekek itu sangat kaget. Jelas sekali bahwa penyerangnya itu memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang lumayan tinggi. Melihat cara dia menyerang, tusukan pedangnya sangat gesit dan tidak boleh dianggap ringan.
Kakek yang ternyata kedua tangannya buntung sebatas siku itu tiba-tiba berjumpalitan menghindar dan kini memasang kuda-kuda, siap melayani lawannya. Ia tak kalah gesit. Pada saat melihat penyerang gelap itu kembali menusuk dengan deras, ia cepat-cepat menggerakkan baju lengannya menangkis dari bawah ke atas, dan kedua kakinya melayang bergantian ke depan mengirim tendangan balasan.
Lelaki brewokan itu berseru kaget karena merasa betapa kekuatan tusukan pedangnya melenceng menerima tangkisan lengan baju, dan dengan kecepatan luar biasa lengan tangan kirinya membentengi dada dari tendangan beruntun si kakek.
Suasana pagi yang tadinya damai itu kini menjadi gaduh. Perkelahian dua orang asing itu segera memancing kerumunan. Sekelompok anak-anak yang sedang mengaji di dalam langgar pun berhamburan keluar, menonton keributan itu.
Alya, si guru mengaji berusia 16 tahun, tampak dengan sabar menggiring murid-murid kecilnya agar kembali masuk ke dalam langgar. "Ayo anak-anak masuk.., gak bagus lihat orang berkelahi!"