"Gak apa-apa, Mbak," celetuk salah seorang anak tanpa mengalihkan pandangan dari pertempuran sengit yang menarik itu, "Jangan takut, saya akan menjaga dan melindungi Mbak Alya!"
"Den Ghandi masih kecil," timpal Alya, "Apa mampu melindungiku dari orang-orang jahat itu?"
"Jangan kuatir!" jawab anak berumur delapan tahun itu dengan begitu percaya diri. Nada suaranya yang polos terdengar lucu, tidak ada kesan hendak menyombongkan diri.
Alya, putri imam langgar yang telah menginjak dewasa itu hanya mampu menghela nafas pelan. Dia maklum bahwa anak yang baru berumur delapan tahun itu memang anak yang istimewa.
Saat itu, lelaki brewokan memutar pedangnya mengejar ke arah lawan, sedangkan kedua kakinya dengan gesit berlari hingga tanah dan kerikil yang diinjaknya berhamburan laksana dihempas badai topan, dan meninggalkan bekas sepatu yang cukup dalam di tanah. la betul-betul mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghabisi lawannya.
Si kakek bercaping petani menggerakkan lengan bajunya menangkis secara cepat dan melancarkan tendangan balasan bertenaga dalam. Namun pada saat itu dia juga mengakui bahwa lelaki muda lawannya itu luar biasa.
"Kau memang bajingan hebat!" seru lelaki brewokan memuji, sambil pedang di tangannya menerjang bertubi-tubi dari depan, atas dan samping. Lelaki itu telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua ilmu yang dimilikinya.
Kakek pengembara itu tercengang menghadapi serangan hebat itu. Pedang di tangan lawannya itu menyambar-nyambar laksana kilat yang mengamuk. Kakek itu benar-benar menemui lawan yang sangat tangguh. Dia terus terdesak oleh serangan yang dilakukan dengan kecepatan yang sangat dasyat dan beberapa kali ujung pedang lawan telah berhasil merobek pakaian dan menggores kulitnya. Itu artinya gerakannya sedikit kalah cepat.
Dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah, kakek bermata sayu itu dengan nekad melindungi dadanya dari tusukan pedang dengan mengorbankan kedua lengan buntungnya yang disilangkan di depan dada. Ternyata pedang itu berbelok arah dan kini menembus paha kanan tanpa ampun. Jerit kesakitan tampak tertahan dari mulutnya yang keriput. Darah muncrat membasahi tanah.
Tiba-tiba ada serangan kilat yang membuat lelaki brewokan itu mundur dan pedang yang masih menancap di paha lawan terlepas dari genggamannya. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa orang yang mendorongnya mundur itu ternyata hanya seorang anak kecil. Matanya melotot seolah tidak percaya.
"Paman, mohon kasihanilah kakek tua ini!" seru Ghandi dengan sikap lugu, berdiri melindungi kakek yang tampak sangat kesakitan. "Dia kakek yang tidak punya tangan!"