Oleh: Tri Handoyo
Keadaan Padepokan Benteng Nusa terkesan penuh daya magis dan sakral. Penjagaan dilakukan oleh para murid berseragam hijau dengan sikap mereka yang santun tapi sangat gagah. Sepanjang jalan menuju ke padepokan tampak dihias dengan berbagai tanaman bunga dan panji-panji hijau. Setiap sepuluh meter dijaga oleh lima orang di pinggir jalan, merupakan tiang-tiang hidup. Hal itu bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu, tetapi juga sebagai aksi 'unjuk gigi'.
Hari itu adalah penobatan para pengurus Ikatan Pendekar Jawa dan sekaligus merayakan hari jadi berdirinya Padepokan Benteng Nusa. Murid-murid padepokan yang telah merantau ke berbagai kota pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat.
Sebagai sebuah perguruan besar yang sudah terkenal, kali itu mereka menggelar persiapan besar-besaran. Para murid sudah sibuk berbelanja beberapa hari sebelumnya, Â menyediakan segala hidangan untuk menjamu para tamu. Ada beberapa pertunjukan seperti wayang kulit dan karawitan yang membuka peluang warung-warung dadakan buka di sepanjang jalan.
Banyak jago-jago dari dunia persilatan yang hadir, bahkan beberapa gelintir orang yang dianggap memiliki kesaktian tingkat dewa, seperti Mbah Broto Brantas, pun bersedia hadir memenuhi undangan. Yang tidak kalah mengejutkan, Mbah Kucing pun tampak hadir untuk memberikan ucapan selamat dan dukungan moril.
***
Malam itu semua kembali seperti sediakala, tenang dan damai. Arum masih saja tak bosan-bosannya membicarakan acara itu, yang menurutnya cukup sukses dan membanggakan. Seperti biasanya, Lintang menjadi pendengar setia.
"Gembul, kamu tahu, hampir semua pendekar memuji-mujimu!"
"Benarkah? Kalau menurutku pujian mereka sebetulnya untukmu Arum!"
"Hm..." Terbesit kebangaan di wajah ayu itu. "Oh iya, apa namanya ilmu yang kamu gunakan saat melawan Tapak Petir? Apakah itu ilmu sihir?"
"Aku tidak tahu namanya!"
"Alasanmu selalu tidak tahu. Tapi itu ilmu yang benar-benar hebat!" puji Arum sepenuh hati, "Maukah kamu mengajariku?"
"Tentu saja!"
"Sebetulnya siapa guru yang mengajarimu ilmu itu?"
"Mungkin, seperti yang sudah pernah aku ceritakan, sejak kecil aku hidup di hutan bersama dua orang yang sangat jahat. Merekalah yang mengajariku ilmu pernafasan!"
"Gembul, kamu sudah bisa cerita banyak hal, yang aku penasaran kenapa kamu masih belum ingat namamu? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"
Lintang tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia menghela nafas dalam-dalam dan kemudian melepaskannya bersama keputusan bahwa malam itu dia akan berkata jujur. Apa pun yang akan terjadi.
"Maafkan aku. Namaku adalah Lintang Kejora!"
"Nama yang bagus!"
Lintang kaget melihat tanggapan Arum yang ternyata tidak marah akan sandiwaranya selama ini. "Terima kasih!"
"Lintang, untuk mengakhiri kebohongan kita selama ini, mulai besok katakan sejujurnya kepada orang-orang bahwa kamu bukan Kebo Kicak! Kamu adalah Lintang Kejora!"
Lintang mengangguk tanda dia sepakat dengan itu. "Apa aku masih boleh tinggal di sini?"
"Ya, kamu kan janji mau mengajari aku ilmu pernafasan ajaibmu!"
"Baiklah!" Wajah yang tadi terlihat sedikit muram kini kembali ceria. "Terima kasih, Guru Arum!"
"Oh iya, aku masih ada keinginan yang dari dulu belum sempat terlaksana!"
"Apa itu?" tanya Lintang sambil matanya menatap sosok jelita di depannya dengan seksama. Semua yang ada pada sosok itu begitu enak dipandang. Gaya bicaranya, gerak tangannya, sikap duduknya, bahkan ketika jari-jarinya menggaruk lengan atau kakinya, semua seperti kepingan yang berharga dari rangkaian besar gambar, yang amat sangat sayang untuk diabaikan begitu saja.
"Soal kitab yang dijadikan rebutan para pendekar. Kitab itu dibawa oleh suamiku sewaktu mempelajarinya di puncak Bukit Lintah, dan sebelum sempat mengambilnya, suamiku menghilang. Nah, aku ingin mencarinya! Lintang maukah kamu membantuku mencarinya!"
"Kenapa tidak menyuruh orang yang menginginkan kitab itu untuk mencarinya sendiri!"
"Apa? Ngawur saja kamu itu. Mereka kan tahunya Kebo Kicak yang bawa, dan mereka pikir itu adalah kamu!" jawab Arum sambil menaikan sebelah kaki dan merubah posisi duduknya. "Lagipula, kitab itu akan berbahaya kalau sampai jatuh ke tangan orang jahat. Itu yang disampaikan suamiku!"
Ketika wanita jelita itu menaikan kaki, sempat pahanya yang putih terbuka. Lintang menelan ludah beberapa kali dan tubuhnya agak menggigil. Agaknya Arum kemudian dapat menangkap itu dan tangannya dengan cepat membetulkan kain roknya. "Ada apakah Lintang? Mengapa tubuhmu gemetaran?"
"Ahh.., tidak apa-apa, hanya.., rasanya agak dingin malam ini!"
"Dingin? Tapi kok dahimu berkeringat?"
Dengan jantung berdebar penuh birahi, Lintang mencoba menenangkan diri. Ia tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik.
"Bagaimana, Lintang?"
"Bagaimana apanya?"
"Kamu belum jawab pertanyaanku!"
"Aku juga gak tahu kenapa berkeringat!"
"Bukan yang itu, tapi apa kamu mau membantuku mencari kitab pusaka?"
"Oh..itu, aku.., aku pasti dengan senang hati akan membantumu Guru Arum!"
"Hei, berapa kali aku bilang jangan panggil aku guru!" Arum memakai baju longgar untuk tidur yang agak tipis dan tercetak lekuk tubuhnya yang sangat menggairahkan. Lintang berusaha mengalihkan pandangan matanya ke meja ukiran sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang melenakan, keharuman yang sukar dicari bandingannya.
"Bagaimana kalau besok kita pergi ke Bukit Lintah?" tanya Arum sambil mengeliat dan sebelah tangannya menutup mulutnya yang menguap. Sekilas terlihat barisan gigi yang berjajar rapi seperti mutiara putih. Cantik sekali. "Aku sudah ngantuk. Mau tidur dulu!" katanya dan bangkit dari duduknya.
"Iya silakan. Selamat tidur, Arum!"
"Ha..!"
"Ada apa?"
"Kamu panggil aku Arum! Nah begitu!" serunya sambil mengangkat ibu jari.
Cahaya dari lampu minyak di ruang tamu itu membuat tubuh yang membayang di balik baju longgar tipis itu seolah-olah tampak jelas di mata Lintang. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu birahi, menghadapi Arum yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan yang demikian hebat. Namun tentu saja Lintang tidak berani bertindak kurang ajar. Sambil menguatkan hatinya dan memejamkan mata, menyembunyikan isi dadanya yang bergelombang dasyat.
"Hei.., bagaiamana?" tanya Arum masih berdiri menunggu jawaban.
"Apanya yang bagaimana?"
"Kalau besok kita mencari kitab itu? Kok sepertinya kamu gak konsentrasi, apa kamu sudah ngantuk?"
"Oh.., mencari kitab. Baik, iya siap Tuan Putri!" jawab Lintang sambil kedua tangannya mengusap rambutnya dan matanya terpejam.
Sebutan tuan putri itu mengingatkan Arum kepada Tulus. Sekarang gilirannya menatap wajah Lintang yang tampan, seperti orang termenung. Kebetulan Lintang membuka matanya, dua pasang mata itu lalu bertemu pandang. Jelas ada sinyal cinta yang tertangkap oleh mata Lintang.
Mata wanita muda itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan setelah beberapa lama baru dia sadar, sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Arum kemudian berusaha membuang muka dan berjalan cepat menuju kamarnya. "Selamat malam, Gembul!" ucapnya lirih, "Eh, Lintang!"
"Selamat malam, Arum!" balas Lintang lirih pula, "Semoga mimpi indah!"
"Kamu juga!"
***
Ki Demang Wiryo merancang sebuah cerita dusta berdasarkan kedatangan pasukan Mongol untuk memfitnah ketua Ikatan Pendekar Jawa. Kedengkiannya terhadap Arum Naga membuat ia membabi-buta dalam memerintahkan orang-orangnya untuk menyebarkan racun-racun fitnah di tengah masyarakat, yang intinya menyebutkan bahwa Arum sesungguhnya adalah anak keturunan tentara Kubi Lai Kan yang dulu gagal melarikan diri dan bersembunyi di hutan.
"Pendekar pribumi macam apakah yang mau dipimpin oleh orang keturuan asing berdarah penjajah Mongol itu?" Begitulah racun fitnah yang dihembuskan di tengah masyarakat. "Naga itu jelas simbol kekuatan Tiongkok, yang merupakan musuh besar nenek moyang kita, kenapa kita mau saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya!"
Secara kebetulan, dalam waktu hampir bersamaan nama Benteng Naga sudah bergeser menjadi Benteng Nusa, sehingga rencana jahat dibalik fitnah itu menjadi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Apalagi Sultan Demak, Raden Fatah, juga merupakan keturunan asing, belum lagi anggota Walisanga. Jadi rencana untuk menghasut orang-orang pribumi itu lambat laun menghilang dengan sendirinya.
Nama Putri Arum dari Perguruan Benteng Nusa yang bersenjatakan Pedang Nusantara justru semakin membumbung tinggi setelah munculnya fitnah itu. Masyarakat luas menjadi saksi bahwa perguruan itu telah melahirkan banyak para pembela kebenaran, sementara sumber fitnah itu berasal dari orang-orang Ki Demang yang selama ini justru suka menindas dan memeras rakyat kecil. Apalagi Ki Demang sendiri adalah seorang pemimpin yang terkenal gampang menghina, merendahkan dan melecehkan orang.
Akan tetapi, dengan kekuatan uangnya, Ki Demang berhasil memengaruhi beberapa pendekar untuk bergabung. Ia akhirnya benar-benar membentuk organisasi tandingan yang bernama Persaudaraan Pendekar Pribumi. Dari namanya saja jelas terlihat betapa ia ingin menyerang dan menyingkirkan Arum Naga yang ia tuduh sebagai keturunan Mongol.
Deklarasi organisasi yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Tumenggung Legowo itu diadakan secara meriah, bertepatan dengan musim panen. Jombang adalah pusat "Grosir" barang pecah belah terbesar, sehingga banyak orang-orang luar kota rutin berdagang ke Jombang membeli berbagai macam pernak-pernik.
Dalam acara itu tampak hadir tokoh-tokoh penting, diantaranya, perwakilan dari kerajaan, Tumenggung Legowo, Pendekar Golok Maut dan Bajul Brantas dari Perguruan Golok Terbang, Ki Birawa dari Perguruan Rajawali Sakti. Yang paling mengejutkan banyak orang adalah munculnya Si Iblis Betina dan Pendekar Kalong Wesi, dua pendekar yang selama ini jarang mau muncul di keramaian. Dari situ terlihat jelas kepiawaian Ki Demang dalam membujuk orang.
Dalam pidato sambutannya sebagai tuan rumah, Ki Demang sengaja menyinggung sejarah terciptanya tarian Reog Ponorogo.
Dahulu kala, setiap tahun di ibukota Majapahit diadakan acara rutin di mana para pejabat daerah wajib menghadap ke Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) sebagai tanda kesetiaan. Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker (Ponorogo), saat itu membawa rombongan penari yang khusus dipersembahkan kepada Sang Prabu. Tarian yang masih baru dan belum pernah ditampilkan di mana pun itu dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu berupa tiruan kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan diiringi oleh beberapa prajurit yang bertingkah polah seperti orang banci. Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan melompat-lompat seperti orang gila.
Dengan perasaan kagum, saat itu Sang Prabu menanyakan makna dari pertunjukan tarian tersebut. Ki Ageng Kutu yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan menjelaskan bahwa Dhadhak Merak adalah simbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah simbol dari Sang Prabu. Bulu-bulu merak yang indah adalah simbol permaisuri yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah prajurit Majapahit. Pujangganom adalah simbol dari pejabat teras, dan Jathilan adalah simbol dari pejabat daerah.
Secara keseluruhan artinya adalah, Kerajaan Majapahit saat itu diperintah oleh seekor harimau yang tunduk dan tidak berdaya dibawah kaki sang burung merak. Para Prajurit Majapahit berubah menjadi melempem dan banci. Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah bertindak seperti orang gila. Ki Ageng Kutu secara tegas mengkritik pemerintah melalui tarian itu.
"Di masa sekarang ini!" papar Ki Demang, "Harimau itu adalah gambaran para pendekar yang bersedia tunduk di bawah kungkungan seorang wanita keturunan asing! Syukurlah masih banyak yang akhirnya sadar akan kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar, dan mau bergabung dengan kita!"
Tepuk tangan dan teriakan dukungan terdengar gegap gempita dari ratusan murid-murid dengan aneka warna seragam dari perguruan mereka masing-masing.
***
Di Padepokan Benteng Naga, Cak Japa sedang menyampaikan pendapatnya di depan para anggota Ikatan Pendekar Jawa yang masih setia, "Katakanlah jika cerita itu benar, bahwa Guru Putri Arum adalah anak keturunan bangsa Mongol, itu sama sekali bukan atas kehendaknya, melainkan mutlak kehendak Tuhan! Maka apabila ada yang menggugat karena faktor keturunannya, itu sama artinya dengan menggugat kehendak Tuhan! Yang lebih penting lagi sebetulnya bukan darah keturunan siapa, melainkan bagaimana perilaku dan budi pekertinya! Allah itu melihat akhlak, bukan darah keturunan!"
Arum sebetulnya sudah lelah menjelaskan bahwa sejauh yang ia tahu, orang tuanya bukan keturunan Cina. Ia memang memiliki kulit kuning bersih, tapi rambutnya ikal dan matanya tidak sipit. "Apakah karena melihat dari kulit saja saya kemudian dituduh keturunan Mongol, yang kemudian harus dimusuhi?" protesnya.
Ki Unggul Weling berdiri dan meluapkan amarahnya kepada mereka yang menyatakan keluar dari organisasi. "Pendekar-pendekar bajingan kelas kampung, Mereka memang se-anjing-anjingnya makhluk. Tapi anjing masih lebih terhormat dibanding pengkhianat busuk macam mereka itu!"
Di antara mereka yang masih berkumpul di kubu Arum adalah, Ki Entong dari Perguruan Kapak Perak, Ki Marijan dari Perguruan Lebah Hitam, Ki Tejo dari Perguruan Kera Putih, serta Perguruan Kebatinan Sejati dan Perkumpulan Sedulur Kejawen. Mereka ini memang lebih mengutamakan silaturahmi, dan tidak berambisi terhadap kedudukan.
"Saya akan senang sekali jika ada kesempatan untuk bertempur melawan mereka!" seru Ki Unggul meluapkan emosinya.
"Maaf, Ki Unggul!" sahut Ki Entong, "Saya justru berharap jangan sampai terjadi bentrokan dengan mereka!"
Ki Marijan dan Ki Tejo mengangguk-angguk setuju dengan Ki Entong. Mereka itu memang ketua perguruan silat yang terhitung masih baru dan muridnya sedikit, tidak lebih dari seratus orang.
"Masalahnya," bantah Ki Unggul, "Mereka tidak hanya keluar, tapi juga melecehkan kita dengan mengatakan bahwa kita ini orang-orang banci yang tidak berdaya di bawah kaki perempuan!"
Cak Japa paham, baik Ki Entong maupun kawan-kawannya cukup lemah. Tidak berada pada tingkatan seperti Ki Unggul Weling. Ketua Laskar Rimba itu adalah pendekar pilih tanding yang berani mati demi kehormatan dan harga diri.
Sementara di kubu Arum ada anggota baru yaitu Mbah Broto Brantas. Dia bersedia bergabung karena ingin memberi pelajaran kepada Tumenggung Legowo. "Tumenggung itu orang serakah yang tak kenal kawan seperjuangan!" demikianlah tutur Mbah Broto mengawali ceritanya. "Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki jabatan sebagai tumenggung, ia lupa bahwa tanpa bantuan orang-orang seperti kami tidak mungkin pihaknya mampu mengalahkan pasukan Majapahit. Namun dia tidak menghargai jasa orang lain, malah berusaha melenyapkan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai saingannya dalam merebut kedudukan. Siapa orangnya yang tidak akan marah?" Itu artinya ia memihak bukan karena pikiran, melainkan lebih didasari emosi.
Kerajaan Daha berhenti mensubsidi banyak kelompok yang dulunya ikut bertempur mendukung pihak mereka, pengeluaran bantuan dana tidak diperlukan karena perang melawan Majapahit sudah selesai. Kini dana itu hanya berkutat di pusat kekuasaan saja. Sedangkan yang di bawah harus pandai-pandai mencari peluang sendiri-sendiri. Seperti Tumenggung Legowo dan Ki Demang Wiryo. Itulah masa merajalelanya fitnah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H