Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (72), Masa Merajalelanya Fitnah

23 September 2024   07:11 Diperbarui: 23 September 2024   07:15 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

***

Ki Demang Wiryo merancang sebuah cerita dusta berdasarkan kedatangan pasukan Mongol untuk memfitnah ketua Ikatan Pendekar Jawa. Kedengkiannya terhadap Arum Naga membuat ia membabi-buta dalam memerintahkan orang-orangnya untuk menyebarkan racun-racun fitnah di tengah masyarakat, yang intinya menyebutkan bahwa Arum sesungguhnya adalah anak keturunan tentara Kubi Lai Kan yang dulu gagal melarikan diri dan bersembunyi di hutan.

"Pendekar pribumi macam apakah yang mau dipimpin oleh orang keturuan asing berdarah penjajah Mongol itu?" Begitulah racun fitnah yang dihembuskan di tengah masyarakat. "Naga itu jelas simbol kekuatan Tiongkok, yang merupakan musuh besar nenek moyang kita, kenapa kita mau saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya!"

Secara kebetulan, dalam waktu hampir bersamaan nama Benteng Naga sudah bergeser menjadi Benteng Nusa, sehingga rencana jahat dibalik fitnah itu menjadi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Apalagi Sultan Demak, Raden Fatah, juga merupakan keturunan asing, belum lagi anggota Walisanga. Jadi rencana untuk menghasut orang-orang pribumi itu lambat laun menghilang dengan sendirinya.

Nama Putri Arum dari Perguruan Benteng Nusa yang bersenjatakan Pedang Nusantara justru semakin membumbung tinggi setelah munculnya fitnah itu. Masyarakat luas menjadi saksi bahwa perguruan itu telah melahirkan banyak para pembela kebenaran, sementara sumber fitnah itu berasal dari orang-orang Ki Demang yang selama ini justru suka menindas dan memeras rakyat kecil. Apalagi Ki Demang sendiri adalah seorang pemimpin yang terkenal gampang menghina, merendahkan dan melecehkan orang.

Akan tetapi, dengan kekuatan uangnya, Ki Demang berhasil memengaruhi beberapa pendekar untuk bergabung. Ia akhirnya benar-benar membentuk organisasi tandingan yang bernama Persaudaraan Pendekar Pribumi. Dari namanya saja jelas terlihat betapa ia ingin menyerang dan menyingkirkan Arum Naga yang ia tuduh sebagai keturunan Mongol.

Deklarasi organisasi yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Tumenggung Legowo itu diadakan secara meriah, bertepatan dengan musim panen. Jombang adalah pusat "Grosir" barang pecah belah terbesar, sehingga banyak orang-orang luar kota rutin berdagang ke Jombang membeli berbagai macam pernak-pernik.

Dalam acara itu tampak hadir tokoh-tokoh penting, diantaranya, perwakilan dari kerajaan, Tumenggung Legowo, Pendekar Golok Maut dan Bajul Brantas dari Perguruan Golok Terbang, Ki Birawa dari Perguruan Rajawali Sakti. Yang paling mengejutkan banyak orang adalah munculnya Si Iblis Betina dan Pendekar Kalong Wesi, dua pendekar yang selama ini jarang mau muncul di keramaian. Dari situ terlihat jelas kepiawaian Ki Demang dalam membujuk orang.

Dalam pidato sambutannya sebagai tuan rumah, Ki Demang sengaja menyinggung sejarah terciptanya tarian Reog Ponorogo.

Dahulu kala, setiap tahun di ibukota Majapahit diadakan acara rutin di mana para pejabat daerah wajib menghadap ke Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) sebagai tanda kesetiaan. Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker (Ponorogo), saat itu membawa rombongan penari yang khusus dipersembahkan kepada Sang Prabu. Tarian yang masih baru dan belum pernah ditampilkan di mana pun itu dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu berupa tiruan kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan diiringi oleh beberapa prajurit yang bertingkah polah seperti orang banci. Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan melompat-lompat seperti orang gila.

Dengan perasaan kagum, saat itu Sang Prabu menanyakan makna dari pertunjukan tarian tersebut. Ki Ageng Kutu yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan menjelaskan bahwa Dhadhak Merak adalah simbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah simbol dari Sang Prabu. Bulu-bulu merak yang indah adalah simbol permaisuri yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah prajurit Majapahit. Pujangganom adalah simbol dari pejabat teras, dan Jathilan adalah simbol dari pejabat daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun