Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar sang Pendekar (72), Masa Merajalelanya Fitnah

23 September 2024   07:11 Diperbarui: 23 September 2024   07:15 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Secara keseluruhan artinya adalah, Kerajaan Majapahit saat itu diperintah oleh seekor harimau yang tunduk dan tidak berdaya dibawah kaki sang burung merak. Para Prajurit Majapahit berubah menjadi melempem dan banci. Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah bertindak seperti orang gila. Ki Ageng Kutu secara tegas mengkritik pemerintah melalui tarian itu.

"Di masa sekarang ini!" papar Ki Demang, "Harimau itu adalah gambaran para pendekar yang bersedia tunduk di bawah kungkungan seorang wanita keturunan asing! Syukurlah masih banyak yang akhirnya sadar akan kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar, dan mau bergabung dengan kita!"

Tepuk tangan dan teriakan dukungan terdengar gegap gempita dari ratusan murid-murid dengan aneka warna seragam dari perguruan mereka masing-masing.

***

Di Padepokan Benteng Naga, Cak Japa sedang menyampaikan pendapatnya di depan para anggota Ikatan Pendekar Jawa yang masih setia, "Katakanlah jika cerita itu benar, bahwa Guru Putri Arum adalah anak keturunan bangsa Mongol, itu sama sekali bukan atas kehendaknya, melainkan mutlak kehendak Tuhan! Maka apabila ada yang menggugat karena faktor keturunannya, itu sama artinya dengan menggugat kehendak Tuhan! Yang lebih penting lagi sebetulnya bukan darah keturunan siapa, melainkan bagaimana perilaku dan budi pekertinya! Allah itu melihat akhlak, bukan darah keturunan!"

Arum sebetulnya sudah lelah menjelaskan bahwa sejauh yang ia tahu, orang tuanya bukan keturunan Cina. Ia memang memiliki kulit kuning bersih, tapi rambutnya ikal dan matanya tidak sipit. "Apakah karena melihat dari kulit saja saya kemudian dituduh keturunan Mongol, yang kemudian harus dimusuhi?" protesnya.

Ki Unggul Weling berdiri dan meluapkan amarahnya kepada mereka yang menyatakan keluar dari organisasi. "Pendekar-pendekar bajingan kelas kampung, Mereka memang se-anjing-anjingnya makhluk. Tapi anjing masih lebih terhormat dibanding pengkhianat busuk macam mereka itu!"

Di antara mereka yang masih berkumpul di kubu Arum adalah, Ki Entong dari Perguruan Kapak Perak, Ki Marijan dari Perguruan Lebah Hitam, Ki Tejo dari Perguruan Kera Putih, serta Perguruan Kebatinan Sejati dan Perkumpulan Sedulur Kejawen. Mereka ini memang lebih mengutamakan silaturahmi, dan tidak berambisi terhadap kedudukan.

"Saya akan senang sekali jika ada kesempatan untuk bertempur melawan mereka!" seru Ki Unggul meluapkan emosinya.

"Maaf, Ki Unggul!" sahut Ki Entong, "Saya justru berharap jangan sampai terjadi bentrokan dengan mereka!"

Ki Marijan dan Ki Tejo mengangguk-angguk setuju dengan Ki Entong. Mereka itu memang ketua perguruan silat yang terhitung masih baru dan muridnya sedikit, tidak lebih dari seratus orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun