"Masalahnya," bantah Ki Unggul, "Mereka tidak hanya keluar, tapi juga melecehkan kita dengan mengatakan bahwa kita ini orang-orang banci yang tidak berdaya di bawah kaki perempuan!"
Cak Japa paham, baik Ki Entong maupun kawan-kawannya cukup lemah. Tidak berada pada tingkatan seperti Ki Unggul Weling. Ketua Laskar Rimba itu adalah pendekar pilih tanding yang berani mati demi kehormatan dan harga diri.
Sementara di kubu Arum ada anggota baru yaitu Mbah Broto Brantas. Dia bersedia bergabung karena ingin memberi pelajaran kepada Tumenggung Legowo. "Tumenggung itu orang serakah yang tak kenal kawan seperjuangan!" demikianlah tutur Mbah Broto mengawali ceritanya. "Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki jabatan sebagai tumenggung, ia lupa bahwa tanpa bantuan orang-orang seperti kami tidak mungkin pihaknya mampu mengalahkan pasukan Majapahit. Namun dia tidak menghargai jasa orang lain, malah berusaha melenyapkan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai saingannya dalam merebut kedudukan. Siapa orangnya yang tidak akan marah?" Itu artinya ia memihak bukan karena pikiran, melainkan lebih didasari emosi.
Kerajaan Daha berhenti mensubsidi banyak kelompok yang dulunya ikut bertempur mendukung pihak mereka, pengeluaran bantuan dana tidak diperlukan karena perang melawan Majapahit sudah selesai. Kini dana itu hanya berkutat di pusat kekuasaan saja. Sedangkan yang di bawah harus pandai-pandai mencari peluang sendiri-sendiri. Seperti Tumenggung Legowo dan Ki Demang Wiryo. Itulah masa merajalelanya fitnah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H