H a d i a h  T a h u n  B a r u
Tri Budhi Sastrio
Ketika kejahatan berpadu dengan keberanian,
Penegak hukum jelas harus bekerja ekstra keras!
Tetapi manakala mereka juga ikut melanggar hukum,
Buram sudah masa depan keadilan!
Suasana dalam ruangan itu berubah tegang. Tiga laki-laki bertampang seram duduk mengelilingi meja kotor. Kursi yang mereka duduki sama sekali tidak bersih, kalau tidak boleh dikatakan dekil. Cuma daya tahan kursi itu rupanya masih prima. Tidak terlihat doyong atau berderik, padahal tiga orang itu tergolong kelas berat.
Sebuah bungkusan, yang kontras sekali dengan meja yang kotor, mendekam tenang di tengah-tengah meja. Pembungkusnya yang berwarna hijau kelihatan indah sekali. Satu-satunya cacat hanya terlihat pada pita merah muda pengikat bungkusan itu. Putus berantakan, seperti bekas ditarik dengan paksa. Begitu juga dengan salah satu sudutnya, terlihat melesak ke dalam, seperti bekas dibanting dengan keras.
"Engkau membanting orang tua itu terlalu keras!" yang berkumis lebat membuka mulut. "Kita dorong pelan saja seharusnya cukup!"
Orang yang dicelanya berbaju coklat gelap, tidak berkumis tetapi bercambang lebat. Orang ini matanya bundar tajam, bersinar menakutkan. Tampaknya membunuh orang tidak lebih sulit dari membunuh ayam baginya. Entah berapa banyak nyawa telah melayang karena tangannya.
"Kalau terlalu halus, sebaiknya keluar saja dari dunia kita ini!" si cambang membalas dengan suara sinis. "Apa bedanya bagi orang tua itu jatuh dengan pelan atau terbanting keras. Toh sebentar lagi dia akan mati. Kau tahu berapa umur kakek itu? Tidak kurang dari tujuh puluh tahun!"
Yang mencela tadi menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak percaya kalau dirimu tidak mempunyai orang tua atau kakek! Bagaimana seandainya orang tuamu atau kakekmu yang mendapat perlakuan seperti itu?"
Si cambang mendelik lebar
 "Sejak kapan engkau berubah jadi lembut begini? Atau barangkali engkau ini memang hendak cari gara-gara denganku, ya?" Suaranya mulai berubah keras dan tajam.
Laki-laki ketiga, yang sejak tadi diam, mendehem pelan.
"Ehemm ... kalau anjing bertemu dengan kucing, memang sulit ada kata sepakat," katanya kemudian. "Aku tidak suka melihat kucing dan anjing berkelahi di dekatku. Kalau kalian memang tidak cuma berani bertengkar di mulut saja, selesaikan nanti di luar sana. Sekarang, ayo bicarakan saja bungkusan ini, hasil kerja kalian berdua!"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.
"Bungkusan ini dibawa ke tempat ini, untuk apa? Untuk diserahkan padaku atau agar aku menyaksikan kalian membuka bungkusan ini agar aku tidak curiga kalian berbuat curang? Yang mana?"
"Yang kedua kang Bronto!" kata si cambang lebat. Rupanya orang yang dipanggil dengan sebutan kang Bronto ini pemimpin mereka berdua, atau paling tidak orang yang lebih tinggi kedudukannya dalam kelompok.
"Jadi kalian bawa kemari agar aku melihat sendiri sebelum barang dalam bungkusan ini kalian bagi. Begitu?"
"Benar, kang!" kata keduanya hampir serempak.
 Bronto menggeleng-gelengkan kepala. Laki-laki ini tidak bercambang, berjenggot atau berkumis tetapi kesan seramnya, tidak kalah dari dua orang di depannya. Sinar mata elangnya, mampu membuat bulu kuduk siapa saja berdiri. Belum lagi bekas luka melintang di dahinya. Memang menambah buruk wajah itu, tetapi keseramannya juga meningkat berlipat.
"Sudah berapa lama kalian bergabung dengan kelompokku ini? Ternyata ketololan kalian masih tetap seperti dulu bahkan mungkin bertambah. Kalau yang berhasil dirampok permata atau emas boleh dan bahkan harus kalian bawa kemari sebelum dibuka tetapi bungkusan berpita seperti ini kalian bawa kemari? Setan! Bikin repot saja! Isinya pasti tidak akan lebih berharga dari tahi kucingku!"
"Sabar Kang," kata yang berkumis lebat. "Kami tidak akan membawa bungkusan ini kemari, kalau kami tidak menduga isinya hebat luar biasa. Pembawa bungkusan ini memakai mobil mewah tahun terbaru. Rumah yang ditujunya bukan rumah sembarangan. Rumah Kolonel Purwanto. Kang Bronto tentunya kenal dengan kolonel yang ini, bukan?"
Kenal? Bah, dia bukan cuma kenal tetapi dia telah merasakan tangan polisi yang satu ini. Bahkan sekarang pun dia terpaksa tidak berani muncul terang-terangan juga karena Kolonel Purwanto. Jaringan intelijen di bawah pimpinan Kolonel Purwanto terus memburunya. Sikap memandang entengnya mulai hilang. Betapa pun tidak berartinya isi bungkusan ini, tetapi karena ada hubungan dengan nama Kolonel Purwanto, di matanya bungkusan ini berubah menjadi sesuatu yang penting.
"Kau yakin?" tanya Bronto sambil sedikit memajukan mukanya.
"Aku yakin, kang!" sekarang si cambang lebat mewakili menjawab. "Kalau tidak tiba-tiba teringat pada persoalan kakang dengan Kolonel Purwanto, mungkin kami berdua tidak tertarik merampas bungkusan ini. Bungkusan kado semacam ini isinya pasti bukan emas permata."
Temannya yang satu mengangguk-angguk.
"Ini dilakukan, karena mungkin saja bungkusan ini berguna bagi kakang!" si Kumis lebat memberi tambahan keterangan.
Bronto menghela nafas sambil bersandar ke kursi. Berguna? Berguna untuk dirinya? Paling-paling, kalau hadiah ini memang benar untuk Kolonel Purwanto, maka Kolonel Purwanto akan sedikit terganggu, itupun kalau si pemberi hadiah menceritakannya. Bagaimana kalau tidak? Sama sekali tidak ada kerugian bagi Kolonel Purwanto. Kemudian, kalau ditinjau dari pihak dirinya. Manfaat apa yang bisa di ambil dari bungkusan ini? Tidak ada!
"Memang menarik," kata Bronto kemudian pada kedua anak buahnya, "tetapi gunanya tidak banyak! Ayo, buka saja bungkusan ini!"
Si Cambang lebat mendahului berdiri. Dengan cekatan tangannya menyobek pembungkus luar bungkusan itu. Sayang sekali kertas yang begitu mahal jadi tidak ada artinya di tangan si Cambang lebat. Begitu pembungkus luar tersobek habis, amplop merah muda jatuh ke meja. Si Cambang lebat mengambilnya menyerahkan pada Bronto. Bronto menerima sampul itu dan membaca tulisan di atasnya keras-keras.
"Untuk Kolonel Purwanto pribadi. Hanya boleh dibuka oleh beliau sendiri. Hadiah Tahun Baru dari seorang sahabat."
"Bah," seru Bronto keras. "Hadiah macam begini aplagi maksudnya kalau bukan untuk mengambil hatinya. Paling tidak si pemberi hadiah ini perlu jasa baik si Purwanto."
"Siapa pengirimnya, Kang?" tanya si Kumis lebat. Bronto membalik sampul surat itu.
"Tidak tertulis di sini!"
"Mungkin dalam suratnya, Kang!" si Kumis lebat menebak.
"Mungkin saja. Akan kita lihat, ada atau tidak nama pengirimnya."
Amplop disobek. Sebuah kartu berwarna kuning gading dengan tulisan coklat muda, ditarik keluar.
"Nama pengirimnya tidak ada di sini," kata Bronto. "Tetapi si Purwanto pasti tahu siapa pemberi hadiah. Huh, sulit mencari polisi yang benar-benar bersih dan bebas dari pemberian hadiah! Ayo kau buka bungkusannya. Aku ingin tahu hadiah macam apa itu?"
 Tangan si Cambang lebat menari-nari menyobek kertas pembungkus kedua. Sebuah sampul kembali terlihat begitu lapisan pembungkus kedua habis tersobek tetapi seperti sampul yang pertama tadi, tidak ada nama pengirim, sedang nama Kolonel Purwanto kembali di sebut-sebut.
"Buka lagi!" perintah Bronto.
Si Cambang lebat, kembali memainkan tangannya. Di samping perampok ulung, laki-laki yang satu ini ternyata ahli menyobek kertas. Lapisan kertas yang ketiga dengan mudah terbuka. Tidak ada sampul sekarang. Cuma kertas pembungkusnya berbeda dengan yang di luar tadi. Kertas pembungkus yang sekarang berwarna putih bersih, dengan gambar lencana kepolisian di tengah-tengah. Lencana hitam itu menyolok sekali.
"Huh, pandai juga orang ini mengambil hati si Purwanto," gerutu Bronto tidak senang. "Lencana kepolisian disertakan sebagai hadiah Tahun Baru."
"Buka lagi pembungkusnya. Eh ... tunggu dulu!"
Si Cambang lebat yang sudah mengulurkan tangan, urung bergerak.
"Coba kau keluarkan golokmu!" perintah Bronto. "Aku tidak sabar kalau harus menunggu kertas pembungkus ini tersobek selembar demi selembar. Sobek semua pembungkusnya!"
Si Cambang lebat ternyata ragu-ragu sejenak.
"Isinya sayang kalau sampai rusak!" kata si Cambang lebat. "Kalau bukan jam dengan rantai terbuat dari untaian mutiara, tentu jam dengan rantai terbuat dari emas."
"Jangan sok pintar. Dari mana tahu kalau isi bungkusan ini jam segala? Kalau bukan uang tentu emas permata. Hadiah untuk seorang Kolonel seperti si Purwanto ini tentu barang mahal. Kalau tidak, huh ... jangan harap urusanmu beres dan cepat lancar. Cabut keluar golok atau belatimu!"
"Beres, kang!" kata si Cambang lebat, "tetapi aku berani bertaruh, isinya pasti semacam jam. Aku mendengar bunyi detiknya jelas sekali."
Si Cambang lebat mengeluarkan pisau belatinya. Tajam, putih dan berkilat. Memancarkan hawa maut. Belati kecil ini sudah banyak kali menerobos masuk ke tubuh manusia. Si Kumis lebat mendekatkan kepalanya, sebelum akhirnya dia ikut mengangguk.
"Aku juga mendengar detiknya, kang!" kata si Kumis lebat.
Bronto menggerutkan kening. Dia tidak mendengar bunyi detik jam, karena duduk di kursi sambil menyandar. Mungkin terlalu jauh untuk telinganya yang mulai beranjak tua ini. Tentu saja, kalau dirinya ditanya tentang kemampuan telinganya, Bronto tidak akan ragu-ragu mengatakan bahwa telinganya masih seperti ketika dia muda. Sehat dan tajam. Penasaran karena tidak mendengar detik jam, Bronto bangkit dari duduknya dan mendekatkan kepala. Sekarang dia mendengar detikan halus.
"Sebuah jam?" katanya pelan seperti tidak percaya. "Seorang Kolonel diberi hadiah cuma sebuah jam? Apa-apaan ini!"
"Jam juga ada yang mahal, kang!" si Kumis lebat berkata. "Kalau badannya terbuat dari emas, kan mahal!"
"Huh ..., " Bronto cuma mendengus.
"Boleh saya buka sekarang, kang?" tanya si Cambang sambil mempermainkan belatinya yang berkilat-kilat.
Bronto mengangguk.
"Aku ingin tahu, jam macam apa untuk si Purwanto ini!"
Lima detik kemudian, sebuah letusan cukup keras membahana di kawasan itu. Tidak ada yang memperhatikan, kecuali beberapa penduduk yang sempat tertarik, tetapi kemudian meneruskan kembali kerja mereka.
Sementara itu di rumah Kolonel Purwanto, sang Kadis Serse, sebuah radio pemancar dan penangkap yang kuat sedang ditangani salah seorang ajudannya.
"Sudah ada kabar dari sana?" tanya Kolonel Purwanto.
"Belum Kolonel, mungkin sebentar lagi ... ah, ini dia Kolonel ...!"
Kolonel Purwanto menerima alat penerima dari tangan ajudannya
"Laporan ... laporan untuk Kolonel Purwanto ...!"
"Silakan!" Kolonel Purwanto membalas. "Laporan siap diterima!"
"Hadiah Tahun Baru telah diterima dengan baik. Kami baru saja mendengar suaranya!"
"Bagus! Kalian ke sana untuk memeriksa dari dekat! Pasukan pengepung perintahkan untuk bergerak. Bersihkan bekas-bekas ledakan. Laporan resmi tangani seperti instruksiku. Aku tidak ingin persoalan ini menjadi panjang. Cecunguk itu cuma kerikil kecil, meskipun ulahnya sering membuat kita pusing."
"Perintah jelas diterima dan siap untuk dilaksanakan!"
"Bagus, laksanakan segera!"
Kolonel Purwanto menyerahkan kembali pesawat penerima itu pada ajudannya. Seulas senyum muncul di bibir Kolonel Purwanto. Tindakannya sedikit menyalahi prosedur, tetapi dia bosan bergerak sesuai prosedur.
Bronto terlalu sulit ditangkap kalau harus digunakan prosedur resmi biasa untuk menangkapnya. Cara sedikit kotor terpaksa digunakan. Dua orang anak buah gembong perampok itu kebetulan sekali dikenali oleh anak buahnya. Sebenarnya mudah sekali baginya menangkap dua orang ini, tetapi ide lain menyebabkan Kolonel Purwanto tidak menangkapnya.
"Selamat tinggal, Bronto, semoga hadiah tahun baru dariku kau terima dengan hati lapang!" gumam Kolonel Purwanto sendirian, sementara pikirannya perlahan-lahan mencoba melepaskan bayangan Bronto dari benaknya. Masih banyak tugas lain yang harus diselesaikan! (R-SDA-20022021 - 087853451949)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H