Si Cambang lebat ternyata ragu-ragu sejenak.
"Isinya sayang kalau sampai rusak!" kata si Cambang lebat. "Kalau bukan jam dengan rantai terbuat dari untaian mutiara, tentu jam dengan rantai terbuat dari emas."
"Jangan sok pintar. Dari mana tahu kalau isi bungkusan ini jam segala? Kalau bukan uang tentu emas permata. Hadiah untuk seorang Kolonel seperti si Purwanto ini tentu barang mahal. Kalau tidak, huh ... jangan harap urusanmu beres dan cepat lancar. Cabut keluar golok atau belatimu!"
"Beres, kang!" kata si Cambang lebat, "tetapi aku berani bertaruh, isinya pasti semacam jam. Aku mendengar bunyi detiknya jelas sekali."
Si Cambang lebat mengeluarkan pisau belatinya. Tajam, putih dan berkilat. Memancarkan hawa maut. Belati kecil ini sudah banyak kali menerobos masuk ke tubuh manusia. Si Kumis lebat mendekatkan kepalanya, sebelum akhirnya dia ikut mengangguk.
"Aku juga mendengar detiknya, kang!" kata si Kumis lebat.
Bronto menggerutkan kening. Dia tidak mendengar bunyi detik jam, karena duduk di kursi sambil menyandar. Mungkin terlalu jauh untuk telinganya yang mulai beranjak tua ini. Tentu saja, kalau dirinya ditanya tentang kemampuan telinganya, Bronto tidak akan ragu-ragu mengatakan bahwa telinganya masih seperti ketika dia muda. Sehat dan tajam. Penasaran karena tidak mendengar detik jam, Bronto bangkit dari duduknya dan mendekatkan kepala. Sekarang dia mendengar detikan halus.
"Sebuah jam?" katanya pelan seperti tidak percaya. "Seorang Kolonel diberi hadiah cuma sebuah jam? Apa-apaan ini!"
"Jam juga ada yang mahal, kang!" si Kumis lebat berkata. "Kalau badannya terbuat dari emas, kan mahal!"
"Huh ..., " Bronto cuma mendengus.
"Boleh saya buka sekarang, kang?" tanya si Cambang sambil mempermainkan belatinya yang berkilat-kilat.