Laki-laki ketiga, yang sejak tadi diam, mendehem pelan.
"Ehemm ... kalau anjing bertemu dengan kucing, memang sulit ada kata sepakat," katanya kemudian. "Aku tidak suka melihat kucing dan anjing berkelahi di dekatku. Kalau kalian memang tidak cuma berani bertengkar di mulut saja, selesaikan nanti di luar sana. Sekarang, ayo bicarakan saja bungkusan ini, hasil kerja kalian berdua!"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.
"Bungkusan ini dibawa ke tempat ini, untuk apa? Untuk diserahkan padaku atau agar aku menyaksikan kalian membuka bungkusan ini agar aku tidak curiga kalian berbuat curang? Yang mana?"
"Yang kedua kang Bronto!" kata si cambang lebat. Rupanya orang yang dipanggil dengan sebutan kang Bronto ini pemimpin mereka berdua, atau paling tidak orang yang lebih tinggi kedudukannya dalam kelompok.
"Jadi kalian bawa kemari agar aku melihat sendiri sebelum barang dalam bungkusan ini kalian bagi. Begitu?"
"Benar, kang!" kata keduanya hampir serempak.
 Bronto menggeleng-gelengkan kepala. Laki-laki ini tidak bercambang, berjenggot atau berkumis tetapi kesan seramnya, tidak kalah dari dua orang di depannya. Sinar mata elangnya, mampu membuat bulu kuduk siapa saja berdiri. Belum lagi bekas luka melintang di dahinya. Memang menambah buruk wajah itu, tetapi keseramannya juga meningkat berlipat.
"Sudah berapa lama kalian bergabung dengan kelompokku ini? Ternyata ketololan kalian masih tetap seperti dulu bahkan mungkin bertambah. Kalau yang berhasil dirampok permata atau emas boleh dan bahkan harus kalian bawa kemari sebelum dibuka tetapi bungkusan berpita seperti ini kalian bawa kemari? Setan! Bikin repot saja! Isinya pasti tidak akan lebih berharga dari tahi kucingku!"
"Sabar Kang," kata yang berkumis lebat. "Kami tidak akan membawa bungkusan ini kemari, kalau kami tidak menduga isinya hebat luar biasa. Pembawa bungkusan ini memakai mobil mewah tahun terbaru. Rumah yang ditujunya bukan rumah sembarangan. Rumah Kolonel Purwanto. Kang Bronto tentunya kenal dengan kolonel yang ini, bukan?"
Kenal? Bah, dia bukan cuma kenal tetapi dia telah merasakan tangan polisi yang satu ini. Bahkan sekarang pun dia terpaksa tidak berani muncul terang-terangan juga karena Kolonel Purwanto. Jaringan intelijen di bawah pimpinan Kolonel Purwanto terus memburunya. Sikap memandang entengnya mulai hilang. Betapa pun tidak berartinya isi bungkusan ini, tetapi karena ada hubungan dengan nama Kolonel Purwanto, di matanya bungkusan ini berubah menjadi sesuatu yang penting.