Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Hadiah Tahun Baru

20 Februari 2021   18:27 Diperbarui: 20 Februari 2021   18:30 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

H a d i a h  T a h u n  B a r u
Tri Budhi Sastrio

Ketika kejahatan berpadu dengan keberanian,
Penegak hukum jelas harus bekerja ekstra keras!
Tetapi manakala mereka juga ikut melanggar hukum,
Buram sudah masa depan keadilan!

Suasana dalam ruangan itu berubah tegang. Tiga laki-laki bertampang seram duduk mengelilingi meja kotor. Kursi yang mereka duduki sama sekali tidak bersih, kalau tidak boleh dikatakan dekil. Cuma daya tahan kursi itu rupanya masih prima. Tidak terlihat doyong atau berderik, padahal tiga orang itu tergolong kelas berat.

Sebuah bungkusan, yang kontras sekali dengan meja yang kotor, mendekam tenang di tengah-tengah meja. Pembungkusnya yang berwarna hijau kelihatan indah sekali. Satu-satunya cacat hanya terlihat pada pita merah muda pengikat bungkusan itu. Putus berantakan, seperti bekas ditarik dengan paksa. Begitu juga dengan salah satu sudutnya, terlihat melesak ke dalam, seperti bekas dibanting dengan keras.

"Engkau membanting orang tua itu terlalu keras!" yang berkumis lebat membuka mulut. "Kita dorong pelan saja seharusnya cukup!"

Orang yang dicelanya berbaju coklat gelap, tidak berkumis tetapi bercambang lebat. Orang ini matanya bundar tajam, bersinar menakutkan. Tampaknya membunuh orang tidak lebih sulit dari membunuh ayam baginya. Entah berapa banyak nyawa telah melayang karena tangannya.

"Kalau terlalu halus, sebaiknya keluar saja dari dunia kita ini!" si cambang membalas dengan suara sinis. "Apa bedanya bagi orang tua itu jatuh dengan pelan atau terbanting keras. Toh sebentar lagi dia akan mati. Kau tahu berapa umur kakek itu? Tidak kurang dari tujuh puluh tahun!"

Yang mencela tadi menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak percaya kalau dirimu tidak mempunyai orang tua atau kakek! Bagaimana seandainya orang tuamu atau kakekmu yang mendapat perlakuan seperti itu?"

Si cambang mendelik lebar

 "Sejak kapan engkau berubah jadi lembut begini? Atau barangkali engkau ini memang hendak cari gara-gara denganku, ya?" Suaranya mulai berubah keras dan tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun