Tuan Santika mengangguk-angguk. Hermawan rupanya bisa meyakinkan hartawan kaya itu.
"Apa saja yang tuan kerjakan selama empat puluh lima menit itu?"
"Memeriksa dokumen yang akan dipakai menghadapi Wiguno!"
"Hmm!" desah Hermawan tertarik. "Mengapa tuan memeriksa kembali dokumen itu? Tuan ingin lebih menyakinkan diri sehubungan dengan isi dokumen itu?"
Tuan Santika menggeleng.
"Tidak tepat begitu. Saya ingin memastikan bahwa dokumen itu masih lengkap, juga saya ingin menyegarkan ingatan agar besok bisa menekan tuan Wiguno tanpa harus cepat-cepat mengeluarkan dokumen itu."
Hermawan melangkah ke arah kursi tamu dan berputar tepat di depannya. Laki-laki yang masih muda dan tampan ini, yang sudah berkali-kali sukses menangani kasus pencurian menatap tuan Santika tajam-tajam.
"Sejak tadi, kalau tidak salah tuan sudah menggunakan kata 'menekan' sebanyak lebih dari enam kali. Tuan mengatakan dokumen rahasia itu penting untuk menghadapi tuan Wiguno dari Jakarta. Tuan tidak keberatan untuk memberi keterangan yang jelas tentang hal ini?"
"Maaf, saya keberatan!" kata tuan Santika sambil tersenyum aneh.
"Baiklah. Sekarang saya kembali pada keadaan waktu tuan memeriksa dokumen rahasia itu. Apakah tidak ada orang lain dalam ruangan ini? Atau setidak-tidaknya salah seorang pegawai tuan yang belum pulang dan melihat tuan memeriksa dokumen itu?"
"Memang tidak semua pegawai pulang tepat pukul lima. Ada yang pulang lebih dari jam itu, karena mereka harus mengemasi apa-apa yang perlu dikemasi.tetapi yang melihat saya memeriksa dokumen rahasia itu, saya kira tidak ada. Mereka tidak berani masuk ke dalam ruangan ini tanpa  dipanggil."