"Mas, Ingat yang sering kau sampaikan kepada aku dan Faris dulu? Bukankah Allah telah mengatur jauh-jauh hari sebelum ruh kita ditiupkan diusia empat bulan kandungan atas takdir kita? Hidup, mati, celaka dan keberuntungan itu adalah hal mutlak yang sulit untuk disangsikan lagi. Jika Allah harus mengambil belahan jiwa yang hampir bersanding bersamaku atau yang telah bersanding denganku sepertimu saat ini, maka aku ikhlas. Asal jangan pernah Allah ambil cintaku untuk-Nya dan cinta-Nya untukku. Karena itu bencana yang sejati. Karena itu jauh lebih menyakitkan dari kehilangan cintamu padaku atau cintaku padamu. Sekarang bukan saatnya mengandai-andai lagi. Sekarang saat menjalani apa yang telah tertakdir untuk kita. Hasbunallah cukuplah Allah untuk hidup dan cinta kita." katanya itu menggebrak imanku.
Sungguh aku hampir melupakan sebuah hadist yang jelas-jelas dulu sering aku koar-koarkan diantara para aktivis. Malu rasanya karena ilmuku yang hanya sedikit itu begitu saja terkikis oleh himpitan zaman yang mulai mendesakkan dunia di pelupuk mata. Padahal hanya dalam waktu beberapa hari bahkan jam.
"Astagfirullah! Hasbunallah... cukuplah Allah untuk hidup dan cinta kita. Beruntunglah aku karena ditakdirkan menjadi imam bagimu dan menjadi belahan dari jiwamu kini. Semoga keistiqomahan selalu bersama kita semua!"kataku dalam kebahagiaan.
“Amiin!”katanya sambil tersenyum lembut kepadaku.
Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir. Cukuplah Allah sebagai pelindung dan sebaik-baiknya penolong. Yang menentukan perlindungan hidup ini dan menyebar pertolongan dengan penuh cinta. Tiadalah daya untuk kita, tiadalah upaya selain atas kehendak-Nya. Hasbullah.. hidup dan cintaku.
**TAMAT**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H