Kaulah calon pengantinku ya ukhti
Semoga Allah kan selalu merahmati
Pernikahan yang abadi atas nama Allah semata
Nasyid itu terus saja terngiang di telingaku. Entah siapa yang menyanyikannya, namun cukup mengusikku pada kejadian indah di masa lampau. Aku jadi tersenyum sendiri mengingat bagaimana kami dulu dipertemukan, bersahabat dan memancing kekaguman tersendiri di hatiku. Maha Rohman dan Maha Rohim Allah yang telah mengikat kami dengan seonggok daging bernama hati dan sebuah rasa yang sampai saat ini masih terhijab dengan tenangnya.
Zahra Roudhotuljannah, itulah nama wanita yang sering membuatku hampir tak berdaya karena termakan rasa kagumku yang berlebihan. Sebenarnya aku dan dirinya telah lama bersahabat, bahkan mungkin sangat lama. Aku terlahir kembar. Namaku Fatir Syakir Muhammad dan saudara kembarku bernama Faris Al-Farisy. Aku, Faris dan Zahra berteman sejak kecil. Orang tua kami adalah sahabat dekat sejak mereka kecil pula. Sungguh ini adalah keberuntungan yang sangat aku syukuri karena jalan Allah telah mempertemukanku dengan sosok wanita yang cerdas, periang, cantik dan juga sholehah.
Aku dan Faris terlahir dua tahun lebih tua dari Zahra, namun entah karena dia seorang wanita atau karena dia adalah wanita yang cepat belajar dengan keadaan sekelilingnya, Zahra terlihat jauh lebih dewasa daripada kami berdua. Aku dan Faris sangat menyukai mata Zahra yang bening dan senantiasa bersinar seperti bintang kejora. Hingga bisikan kami mengenai Zahra tidak pernah lepas dari matanya yang elok itu.
Menginjak Zahra SMP persahabatan kami yang terbina cukup lama dan sangat sulit terpisahkan itu terpaksa harus terpisah. Zahra melanjutkan SMP-nya di sebuah pesantren modern di daerah Jawa Barat. Sedangkan kami harus pergi meninggalkan Indonesia karena tugas ayah kami sebagai seorang diplomat dipindahkan ke Jerman entah untuk sampai kapan.
“Fatir, Faris, kita memang akan terpisahkan tidak hanya oleh negara, juga benua dan samudra tentunya. Tapi yakinlah jika suatu saat kita berjodoh kembali untuk merajut persahabatan kita, insya Allah kita akan dipertemukan secara benar dan tapat oleh Allah. Hanya 3 pesanku setelah kalian berada di Jerman sana, jangan lupa sholat, tilawah dan cintailah ilmu.”katanya dulu diusianya yang sangat muda. Anak usia 11 tahun sepertinya, sudah mengatakan hal demikian itu merupakan bukti kecerdasan yang sangat luar biasa.
Jika mengingat hal itu, selalu menjadi motivasiku untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan serius dalam menuntut ilmu. Bertahun-tahun aku dan keluargaku tinggal di Berlin-Jerman. Hingga pada saat menginjak dewasa, aku dan Faris mulai terlihat perbedaannya. Faris tumbuh sebagai seorang laki-laki gagah yang supple, popular dan juga seorang organisator yang hebat. Berbeda denganku, aku mungkin tidak sepopuler Faris. Aku lebih memilih untuk terus memperdalam ilmu pengetahunaku dan Ilmu agamaku. Keseharianku lebih sering berada dalam ruang lingkup anak-anak DKM di KBRI dan mahasiswa-mahasiswa muslim lainnya. Faris tipikel orang yang sangat terbuka, bahkan untuk masalah hatinnya pun dia sangat terbuka. Termasuk masalah hatinya dalam hal percintaan.
Hari ini adalah hari terakhir kami sekeluarga di Jerman sebelum akhirnya kami pulang ke tanah kelahiran kami Tasikmalaya, sebuah kota sejuta santri di tanah Jawa Barat. Aku, Bunda dan ayah memang cukup terlambat pulang ke tanah air daripada Faris. Sejak dua hari lalu, adikku itu telah sampai di sana. Baru beberapa hari saja, anak itu sudah banyak sekali menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi disana. Namun satu kabar sebenarnya yang ingin aku dengar langsung dari Faris, bagaimana kabar gadis periang itu sekarang?
***