Doom Spending Sebagai Penyebab Masalah KL
Istilah doom spending sudah tidak asing lagi terdengar di telinga, sebab menjadi sebuah fenomena yang sementara dihadapi oleh generasi milenial dan generasi Z. Sebuah topik yang cukup hangat diperbincangkan sejauh ini, khususnya di kompasiana.
Secara sederhana, doom spending ini merupakan salah satu istilah yang menggambarkan tentang bagaimana  sikap seseorang mengelola pengeluaran keuangan pribadinya.
Dilansir dari detikedu, Doom Spending adalah istilah untuk pengeluaran di atas rata-rata atau di luar tarif normal seseorang, meskipun ada kekhawatiran dalam ekonomi. Sederhananya, sebuah fenomena pengeluaran uang yang sia-sia.
Doom Spending berkaitan erat dengan perilaku/sikap seseorang dalam melakukan pengeluaran keuangan secara impulsif. Memiliki tujuan pembelian dan pemenuhan keinginan-keinginan lainnya secara konsumtif, yang dilakukan secara berlebihan dan tidak terkontrol.
Dalam perkembangannya, Doom Spending tidak hanya menjadi masalah generasi Z, tapi juga generasi Milenial. Kedua generasi ini hidup di zaman dimana perkembangan teknologi yang semakin masif dan mempengaruhi sikap emosional dalam mengelola finansial.
Melihat kedua contoh kasus yang dikisahkan di awal, Om Dani dan Kaka Yurma, keduanya sama-sama merupakan generasi milenial yang memiliki dua sikap berbeda terkait pengelolaan keuangan.
Om Dani bersama sang Istri yang terjerat doom spending  mengalami masalah keuangan karena kurang bijak mengelola uang pinjaman. Pinjaman yang seharusnya bertujuan untuk kebutuhan produktif yakni modal pengembangan usaha kios, malah sebagian besar digunakan untuk pengeluaran impulsif konsumtif.
Akibatnya, produktifitas usaha kian merosot, dan akhirnya masalah keuangan mengancam dan mengganggu stabilitas ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Bukan hanya itu, kewajiban membayar angsuran pinjaman menjadi lalai (kredit lalai).
Doom Spending yang dialami generasi milenial, khususnya seperti om Dani dan sang istri umumnya disebabkan dari sisi  psikologis. Dalam artian menyebabkan seseorang tidak tahan dengan pengaruh gaya hidup FOMO dan YOLO dari luar demi memenuhi keinginan untuk diakui/dipuji oleh orang lain.
Hal ini juga senada seperti yang dikatakan oleh Riza Wahyuni, psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Dikutip dari detikjatim, Riza menjelaskan bahwa faktor-faktor utama yang memicu Doom Spending antara lain, kemudahan akses belanja online, promosi masif di media sosial dan kebutuhan validasi sosial yang tinggi.