Sang ibu juga mengaku bahwa selain pengajuan pinjaman modal usaha untuk menambah pendapatan keuangan, melalui berkoperasi membuatnya pun disiplin menabung untuk berbagai keperluan, terkhususnya untuk menunjang kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Stigma Negatif Terhadap Koperasi
Cerita tentang ibu Sinta di atas ini hanya menjadi salah satu contoh dampak positif koperasi bagi masyarakat dari sekian banyak kasus yang saya temui di lapangan.
Terlepas dari dampak positif tersebut, koperasi yang merupakan soko guru perekonomian nasional ini juga tidak luput dari stigma negatif. Beberapa contoh stigma dari masyarakat terhadap koperasi-koperasi pada umumnya, yang sejauh ini saya temui di lapangan seperti:
- Koperasi disama-samakan dengan Rentenir.
Ada sebagian masyarakat masih memiliki pemahaman bahwa koperasi bukanlah lembaga yang dimiliki oleh anggota-anggotanya, Â melainkan milik individu tertentu yang hanya didirikan dengan bertujuan untuk meraup banyak keuntungan bunga kredit yang tinggi dari masyarakat.
Perspektif tersebut timbul tentu bukan tanpa sebab. Hal ini disebabkan karena cukup banyak rentenir dan investasi bodong berkedok koperasi yang bermunculan di tengah masyarakat.
Oknum rentenir ini menjalankan usaha  mengatasnamakan koperasi yang sistimnya jauh dari praktik atau prinsip koperasi dan tidak sejalan dengan UU Perkoperasian.
Mirisnya, hal ini membuat pandangan umum di masyarakat yang berkembang bahwa, seolah-olah individu yang menjalankan usaha rentenirnya pasti adalah koperasi. Ironi ini tentu berdampak pada citra dan kredibilitas koperasi yang baik dan luhur sesuai makna sejatinya yang telah dirumuskan oleh para perintis gerakan koperasi pada mulanya.
- Koperasi itu jadul dan kuno
Pandangan ini mayoritas dari anak-anak muda yang kurang tertarik dan enggan untuk berpartisipasi sebagai anggota di koperasi. Ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat yang bergabung menjadi anggota notabene adalah orang "tua" yang kisaran usia mulai 35 tahun ke atas.Â
Koperasi dinilai ketinggalan zaman, sistim yang masih cenderung konvensional dan kurang kekinian sehingga kurang diminati kaum muda.
Sebagian alasan yang cukup logis  adalah karena koperasi dalam perkembangannya masih kurang beradaptasi dengan perkembangan teknologi, bila dibandingkan dengan perbankan. Anak muda, khususnya generasi milenial yang boleh dibilang sudah begitu melek dengan teknologi,  berkeinginan semua proses akses layanan keuangan koperasi dengan  lebih instan dan praktis, mulai dari proses mendaftar menjadi anggota hingga proses transaksi dan layanan keuangan lainnya dengan memanfaatkan teknologi digitalisasi.
- Karyawan/petugas koperasi cenderung arogan dengan masyarakat.
Stigma ini muncul dilatarbelakangi oleh pandangan sebagian orang yang menyamakan karyawan koperasi dengan debt colector yang cara penagihannya cenderung terkesan agresif dan arogan.