Di akhir proses survey, ibu Sinta menuturkan bahwa ia sangat terbantu sekali dengan peran koperasi dalam mendukung pengembangan usaha kiosnya.Â
Usahanya berkembang dan membuat penghasilan usaha semakin memadai demi memenuhi kebutuhannya bersama keempat orang anaknya yang telah ditinggal mati suaminya 7 tahun silam.
Sang ibu juga mengaku bahwa selain pengajuan pinjaman modal usaha untuk menambah pendapatan keuangan, melalui berkoperasi membuatnya pun disiplin menabung untuk berbagai keperluan, terkhususnya untuk menunjang kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Stigma Negatif Terhadap Koperasi
Cerita tentang ibu Sinta di atas ini hanya menjadi salah satu contoh dampak positif koperasi bagi masyarakat dari sekian banyak kasus yang saya temui di lapangan.
Terlepas dari dampak positif tersebut, koperasi yang merupakan soko guru perekonomian nasional ini juga tidak luput dari stigma negatif. Beberapa contoh stigma dari masyarakat terhadap koperasi-koperasi pada umumnya, yang sejauh ini saya temui di lapangan seperti:
Koperasi disama-samakan dengan Rentenir.
Ada sebagian masyarakat masih memiliki pemahaman bahwa koperasi bukanlah lembaga yang dimiliki oleh anggota-anggotanya, melainkan milik individu tertentu yang hanya didirikan dengan bertujuan untuk meraup banyak keuntungan bunga kredit yang tinggi dari masyarakat.
Perspektif tersebut timbul tentu bukan tanpa sebab. Hal ini disebabkan karena cukup banyak rentenir dan investasi bodong berkedok koperasi yang bermunculan di tengah masyarakat.
Oknum rentenir ini menjalankan usaha mengatasnamakan koperasi yang sistemnya jauh dari praktik atau prinsip koperasi dan tidak sejalan dengan UU Perkoperasian.
Mirisnya, hal ini membuat pandangan umum di masyarakat yang berkembang bahwa, seolah-olah individu yang menjalankan usaha rentenirnya pasti adalah koperasi.