“Walah, Mas Wahyu gak bilang kalau bawa teman yang sama,” ucap Mbah Karso.
Pak Arif datang sambil membawa air mineral untuk Wahyu dan Enggar.
“Saya juga baru tahu Mbah,” jelas Wahyu.
Enggar tentu saja bingung dengan ucapan Mbah Karso dan Wahyu, Pak Arif pun hanya turut menyimak.
“Tenang Mbak Enggar, mereka nggak akan ganggu Mbak, hanya saja mereka memang perlu pengakuan akan keberadaannya,” jelas Mbah Karso.
Enggar kembali kikuk, agak paham dengan apa yang dijelaskan Mbah Karso, akan tetapi dia tidak berani berspekulasi sendiri. Enggar menatap Wahyu seakan bertanya “Jelasin ke aku!”, sementara Wahyu membalas dengan tatapan menjawab “Aku gak tahu apa-apa woey!”.
“Mereka itu takut terlihat sama pemilik weton Jumat Kliwon kayak Mas Wahyu, dan sendikodawuh sama pemilik weton Rabu Pahing kayak Mbak Enggar,” Mbah Karso menjelaskan.
Enggar benar-benar takut karena Mbah Karso mengetahui semuanya tanpa Enggar menjelaskan.
“Dulu Mas Wahyu cerita pas di rumah Pak Lurah, saya hanya diam saja, sebenarnya Lurah sini itu menyimpan hal mistis,” Mbah Karso kembali menjelaskan. Sementara Enggar semakin bingung mendengar penjelasan Mbah Karso sehingga dia memilih jadi pendengar saja supaya paham.
“Sebenarnya saya sama Pak Arif datang ke rumah Pak Lurah bertujuan untuk mengingatkan, kalau sudah waktunya ruwatan ke punden, tapi tidak dihiraukan karena sibuk urusi landasan sawah untuk perumahan,” jelas Mbah Karso.
“Jadi, dulu Pak Lurah menang pemilu karena hal mistis. Melalui Mbah Karso, Pak Lurah minta tolong dukun asal lereng Gunung Kawi untuk bisa menang. Dukun itu memasang sinden ghaib dan tiga tuyul ghaib. Suara sinden yang merdu saat menyebut nama Pak Lurah, mampu mengalihkan warga supaya mencari gambarnya di kertas pemilihan. Tiga tuyul masing-masing ditempatkan di tiga bilik pencoblosan, bertugas menggiring tangan warga supaya mencoblos gambar Pak Lurah,” Mbah Karso kembali menjelaskan.