KKN universitas, bahasa kerennya sih KKN-able banget. Jauh dari jalan raya, toko waralaba saja tidak ada, apalagi mall untuk cari roti kekinian. Di sisi lain, ada juga yang setuju dengan tempat KKN sekarang karena wujud basecamp yang jadi tempat tinggal. Wahyu ditugaskan menjadi koordinator desa, dia sering bolak-balik ke rumah Pak Lurah untuk sekedar menghadiri undangan ngopi malam.
Wilayah ini bisa dikatakan lokasi yang benar-benar pantas digunakan untukBasecamp untuk pria dan wanita tidak dibedakan, Pak Lurah di sini memudahkan mahasiswa yang sedang KKN. Apalagi dari awal KKN sudah dijelaskan kalau di sini, di belakang rumah warga akan banyak ditemukan makam pribadi. Penduduk sini rata-rata mengubur anggota keluarga yang sudah meninggal di belakang rumah masing-masing. Bahkan ada yang di depan rumah, jika keluarga tersebut kehilangan anggota keluarga yang tergolong balita.
Kalau saja basecamp mereka pisahan, kasihan anak perempuan pasti ketakutan. Begitulah Wahyu negosiasi dengan Pak Lurah saat survei tempat KKN. Wahyu memang berpesan sama rekan-rekan mereka kalau kita cukup bersikap sopan saja. Mereka datang ke basecamp lebih awal karena undangan dari Pak Lurah sendiri. Pada saat upacara pelepasan mahasiswa di kampus, kelompok Wahyu tidak ikut, sebab sudah berangkat duluan dua hari sebelumnya.
“Yu, kamu ngerasa aneh nggak di tempat ini?” Enggar bertanya sama Wahyu demikian, sebab sejak awal datang dia merasa agak aneh.
“Enggak, biasa saja, memang kamu ngerasa aneh?” Tanya Wahyu.
“Iya, aku kayak merasa ada yang lihatin pas di dalam rumah ini” Jelas Enggar.
Wahyu tertawa mendengar ucapan Enggar, ya jelas saja banyak yang melihat, kan anggota kelompok jumlahnya 15 anak. Lagian ukuran rumah ini luas, lantai pakai kramik, justru kekinian. Beda dengan pos teman-teman yang lain bahkan akan yang lantai masih semen, dan ada juga yang tinggal di aula balai desa.
“Aku kemarin datang padahal sudah ucap salam Yu, tapi aku lagi pas datang bulan,” jelas Enggar.
Wahyu hendak menyeruput kopi langsung terhenti, dia mencerna ucapan Enggar. Meskipun dia mahasiswa milenial, tapi kalau mendengar hal yang menurutnya aneh, pasti dia mempertimbangkan buat menyimak. Wahyu percaya, konon perempuan yang lagi dapet, terus tinggal di wilayah baru, semacam penduduk dalam tanda kutip “asli” agak riskan karena merasa manusia tersebut sedang kotor.
Enggar cerita ke Wahyu bukan karena Wahyu koordinator desa saja, melainkan Enggar tahu kalau Wahyu sebenarnya percaya hal-hal mistis. Hanya saja Wahyu terlihat biasa dan memendam, mungkin bertujuan supaya rekan mahasiswa lain tak mengalami ketakutan. Wahyu memasang tampang serius menanggapi cerita Enggar.
“Nggar, apa saja yang kamu alami?” Wahyu kepo.
“Kamu ingat nggak, waktu malam hari pas awal datang ke sini?” Enggar mulai menjelaskan, “Yang kita habis ngopi-ngopi sama Pak Lurah, kamu pas tiduran di ruang tamu itu malam-malam, aku lagi nyapu,” jelas Enggar.
Wahyu saat itu kembali mengingat-ingat, pada saat itu dia tanya Enggar memang. Kenapa nyapu malam-malam gini? Kok nggak tunggu pagi. Seingat Wahyu Enggar jawab kalau ada semut.
“Sebenarnya, aku saat itu nyapu ulat Yu, bukan semut,” Enggar memasang wajah serius, “Aku gak mau anak-anak panik saja” jelas Enggar.
“Yang bener?” tanya wahyu.
“Iya beneran, serius, pas aku ambil tas yang kutaruh lantai, dari dinding kok ada ulat kecil-kecil begitu, kalau memang dari awal ada, kenapa pdgi, siang, sore gak ada?” jelas Enggar.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang Nggar?” tanya Wahyu.
“Aku gak enak saja Yu, bingung juga mau bilang siapa, dulu kan belum akrab sama kamu, sekarang aku ngerasa sudah kayak diusir sama penduduk aslinya tau,” Enggar kembali menjelaskan kalau memang dia merasa terusik dengan pandangan yang tak kasat mata. Enggar sangat peka kalau masalah dunia mistis, ya meskipun dia tidak ingin kalau melihat wujud aslinya.
“Terus aku juga agak kepo sih, pas aku nyapu dulu, kamu kenapa tidur di ruang tamu, bukan malah di kamar,” tanya Enggar.
Wahyu kemudian bercerita, sore hari sewaktu anak-anak antre mandi, kran air di kamar mandi tidak fungsi. Kebetulan di kamar yang Wahyu tempati itu ada letak pompa airnya. Wahyu cek ke kamar barang kali ada yang konslet. Saat itu Wahyu melihat ada semacam kain warna biru, lebih mirip selendang biru yang menutupi pompa air. Usai memperbaiki sebab air tidak mengalir, selendang biru berdebu itu kemudian diambil dan dilipatnya.
Sebelum mereka semua berangkat ngopi, Wahyu minta semua cek kamar masing-masing. Harap membawa semua barang berharga, karena kita semua baru kenal, biar tidak ada salah paham kalau ada barang hilang, begitu jelas Wahyu.
Sewaktu kembali dari ngopi, Ilham, Rama, dan Udin, sudah langsung istirahat di kamar. Wahyu pikir masih sore, jadi dia main mobile legend bareng Brian di ruang tamu. Pas di rasa sudah malam, dia balik ke kamar dan dikagetkan dengan sebuah hal. Selendang biru kembali menutupi pompa air, jelas-jelas waktu cek kamar di sore hari, Wahyu sendiri yang melipat selendang biru itu. Wahyu pikir, mungkin dipasang lagi selendang biru itu sama temannya karena terlihat tidak estetik, mengingat pompa air sudah berkarat. Wahyu menghampiri pompa air, hendak melipat selendang biru itu lagi. Sebelum tangannya menyentuh selendang biru, ujung selendang biru sebelah kiri tetiba jatuh. Wahyu kaget, tapi rasa penasaran lebih tinggi, dia malah meneliti selendang biru itu. Debu masih ada, sarang laba-laba masih ada, padahal pas sore hari sudah dia kibas-kibaskan selendang biru itu.
Wahyu kembali ke ruang tamu, mencegah Brian menuju ke kamar. Wahyu bilang kalau sebaiknya kita tidur di ruang tamu saja, karena Ilham, Rama, dan Udin sudah memakai kasur jatahnya. Brian percaya saja, padahal Wahyu takut jika tidur sendirian di ruang tamu sehingga ingin ditemani. Enggar ingat saat itu memang selain Wahyu, Brian juga ada di ruang tamu malam-malam. Enggar sebenarnya kepikiran kalau malam itu dia tidur di ruang tamu saja. Mengingat dirinya perempuan, jadinya dia balik saja ke kamar sambil merapalkan doa-doa yang dia ingat untuk mengusir makhluk halus.
“Pindah saja Yu, serius aku gelisah banget lama-lama di sini, atau kita curhat saja begitu ke Pak Lurah," ucap Enggar.
“Aku sebenarnya tiap malam datang ke Pak Lurah itu ya cerita soal ini Nggar,” jelas Wahyu.
“Terus kata Pak Lurah bagaimana?” tanya Enggar.
“Gak ada tempat lain yang layak, mungkin hanya kebetulan saja,” jelas Wahyu.
“Tapi serius, aku sudah ngerasa gak nyaman Yu,” Enggar merengek.
“Yaudah, nanti aku omongin lagi ya,” jelas wahyu.
“Aku ikut dong Yu, siapa tau Pak Lurah bakal ngasih solusi buat pindah,” jelas Enggar lagi.
Malam hari, di balai desa tidak seperti biasanya, saat ini warga ramai melakukan protes. Jadi anak KKN pun turut datang ke balai desa. Rupanya para perangkat desa membawa beberapa warga untuk protes. Hal itu dipicu karena sawah yang jadi hak perangkat desa untuk diolah telah diratakan dan dijadikan jalan oleh pihak perumahan. Jadi akan berdiri kompleks perumahan di desa tersebut. Sawah warga ada yang sudah dilandas. Akan tetapi sawah perangkat desa tidak pernah ada pembahasan demikian. Tiba-tiba dijadikan jalan begitu saja, tentu perangkat desa pada murka. Pak Lurah saat itu tidak berani datang, diwakili oleh kakaknya sebagai juru bicara. Perangkat desa mendesak problem ini untuk segera diselesaikan.
Juru bicara Pak Lurah yang bernama Pak Hasan, mengatakan kalau dia akan mendesak pak Lurah untuk segera mengganti rugi. Tapi saat ini Pak Lurah benar-benar tidak bisa hadir, jadi dimohon untuk bersabar. Pak Hasan menjamin, kalau besok permasalahan akan selesai. Jika tidak selesai, perangkat desa berhak membawa urusan ini ke pengadilan, karena memang Pak Lurah bersalah. Perangkat desa dan warga kemudian bubar ke rumah masing-masing, tak terkecuali mahasiswa KKN lainnya. Sementara Wahyu dan Enggar hendak menemui Pak Lurah malam ini tapi gagal rupanya.
Motor yang dikendarai Wahyu tiba-tiba mogok, saat itu dia memang pulang paling akhir sama Enggar. Pukul 10 malam di sini sudah sangat sepi, beda sekali sama di area kampus, makin malam makin rame.
“Apes banget sih Yu, malem-malem dorong sepeda kayak gini,” keluh Enggar.
“Yaelah dorong bentar doang,” sahut Wahyu.
Malam-malam gini tentu Enggar merasa bulukudunya berdiri. Setengah bulan hidup di desa ini, mana pernah dia kluyuran malam hari gini. Wahyu menyetir sepedanya, sedangkan Enggar bantu mendorongnya. Sebenarnya bukan apes, tapi kurang teliti saja, karena dia tidak cek bensin lebih dulu sebelum berangkat ke balai desa.
Dari kejauhan, Wahyu melihat ada Pak Arif, yang selama ini dia lihat sering main juga ke rumah Pak Lurah.
“Mas Wahyu, malam-malam mau ke mana?” sapa Pak Arif.
“Habis dari balai desa, Pak,” jawab Wahyu.
“Kenapa sepeda motornya Mas? Kok didorong?” tanya Pak Arif.
“Ini Pak, kehabisan bensin,” Wahyu menjelaskan,
Pak Arif mempersilakan Wahyu dan Enggar untuk mampir ke rumahnya. Pikirnya bakal pakai sepeda Pak Arif saja, besok baru dikembalikan. Di dalam ruang tamu ada kakek-kakek yang merupakan tamu Pak Arif. Pak Arif menangkap wajah takut Enggar yang melihat kakek-kakek.
“Mbaknya jangan takut, ini Mbah Karso,” Pak Arif mengenalkan, “Kalau Mas Wahyu tentu sudah pernah ketemu ya sama Mbah Karso?” tanya Pak Arif. Mungkin lebih ke pernyataan.
Wahyu hanya mengangguk, karena memang sudah pernah ketemu Mbah Karso di rumah Pak Lurah. Sementara Enggar menundukkan kepalanya sambil menyapa Mbah Karso agak kikuk. Enggar memang tipikal perempuan yang introvert, namun dia lebih perasa pada keadaan sekitar. Wahyu dan Enggar duduk di kursi ruang tamu untuk menunggu Pak Arif yang masuk ke dalam rumah.
“Walah, Mas Wahyu gak bilang kalau bawa teman yang sama,” ucap Mbah Karso.
Pak Arif datang sambil membawa air mineral untuk Wahyu dan Enggar.
“Saya juga baru tahu Mbah,” jelas Wahyu.
Enggar tentu saja bingung dengan ucapan Mbah Karso dan Wahyu, Pak Arif pun hanya turut menyimak.
“Tenang Mbak Enggar, mereka nggak akan ganggu Mbak, hanya saja mereka memang perlu pengakuan akan keberadaannya,” jelas Mbah Karso.
Enggar kembali kikuk, agak paham dengan apa yang dijelaskan Mbah Karso, akan tetapi dia tidak berani berspekulasi sendiri. Enggar menatap Wahyu seakan bertanya “Jelasin ke aku!”, sementara Wahyu membalas dengan tatapan menjawab “Aku gak tahu apa-apa woey!”.
“Mereka itu takut terlihat sama pemilik weton Jumat Kliwon kayak Mas Wahyu, dan sendikodawuh sama pemilik weton Rabu Pahing kayak Mbak Enggar,” Mbah Karso menjelaskan.
Enggar benar-benar takut karena Mbah Karso mengetahui semuanya tanpa Enggar menjelaskan.
“Dulu Mas Wahyu cerita pas di rumah Pak Lurah, saya hanya diam saja, sebenarnya Lurah sini itu menyimpan hal mistis,” Mbah Karso kembali menjelaskan. Sementara Enggar semakin bingung mendengar penjelasan Mbah Karso sehingga dia memilih jadi pendengar saja supaya paham.
“Sebenarnya saya sama Pak Arif datang ke rumah Pak Lurah bertujuan untuk mengingatkan, kalau sudah waktunya ruwatan ke punden, tapi tidak dihiraukan karena sibuk urusi landasan sawah untuk perumahan,” jelas Mbah Karso.
“Jadi, dulu Pak Lurah menang pemilu karena hal mistis. Melalui Mbah Karso, Pak Lurah minta tolong dukun asal lereng Gunung Kawi untuk bisa menang. Dukun itu memasang sinden ghaib dan tiga tuyul ghaib. Suara sinden yang merdu saat menyebut nama Pak Lurah, mampu mengalihkan warga supaya mencari gambarnya di kertas pemilihan. Tiga tuyul masing-masing ditempatkan di tiga bilik pencoblosan, bertugas menggiring tangan warga supaya mencoblos gambar Pak Lurah,” Mbah Karso kembali menjelaskan.
“Mas Wahyu dan Mbak Enggar kami harap jaga rahasia ini ya,” pinta Pak Arif.
Enggar dan Wahyu mengangguk, mana berani juga mereka membocorkan hal mistis ini, belum lagi dia hanya mahasiswa yang KKN, bukan penduduk asli sini.
“Usai pemilu, mereka nggak mau langsung balik ke Gunung Kawi, mereka ingin tinggal di desa ini,” jelas Mbah Karsa lagi. “Sebenarnya mereka tinggal di punden, namun ruwatan di punden telat, jadi bisa dikatakan mereka kelayapan. Kebetulan rumah yang kalian tempati KKN membuat mereka tertarik untuk singgah. Sambil menunggu malam satu suro, mereka akan kembali menetap ke Gunung Kawi,” jelas lagi Mbah Karso.
Enggar agak tergelitik sebenarnya, masa makhluk halus bisa request di mana dia tinggal, dan berapa lama dia tinggal. Tapi Enggar percaya juga kalau keberadaan mereka itu nyata adanya.
“Saat Mas Wahyu cerita tentang selendang biru, pasti disaat yang sama, Mbak Enggar melihat ulat kan?” tanya Mbah Karso.
Jleb, pas banget Enggar alami saat berbincang dengan Wahyu kapan hari.
“Mereka kalau makan suka berlepotan memang, rumah itu sebenarnya sudah kosong selama delapan tahun, pemilik aslinya sudah pindah ke Kalimantan, memang masih terlihat bagus karena dirawat sama tukang kebunnya. Cuma ya siapa yang mau tinggal sendirian di sana” jelas Mbah Karso.
Enggar tak percaya dengan ini semua, Wahyu juga baru mengetahui sejarah basecamp itu. Kalau memang angker, lantas kenapa harus dijadikan basecamp KKN? Pantesan mereka tertarik tinggal, lah rumah dibiarkan kosong selama delapan tahun. Enggar ingat saat kecil ngaji di surau, ustadz bilang kalau rumah yang penghuninya tidak beribadah, rumah tersebut akan mudah dihampiri makhluk halus. Apalagi rumah yang dibiarkan kosong selama delapan tahun. Jelas makhluk halusnya setiap hari bertambah jumlahnya.
“Mereka nggak jahat, hanya terkadang usil saja,” jelas Mbah Karso, “oh iya, Pak Lurah juga banyak menyimpang sekarang, korupsi, memanfaatkan kekayaan desa, makanya bisa lupa keharusan dia untuk ruwatan di punden,” Mbah Karso menjelaskan lagi.
“Mbah Karso ke sini tadi ya memang mau negur Pak Lurah lagi, ternyata malah diprotes warga dan perangkat desa, ya sudah saya ajak Mbah Karso ke sini saja, eh kok ketemu kalian,” jelas Pak Arif.
Enggar terpaku, sementara Wahyu sudah agak paham pembahasan Mbah Karso dan Pak Arif. Waktu sudah semakin malam, Pak Arif menawarkan bantuan untuk diantar pakai mobil saja. Tapi Wahyu menolak, pinjam sepedanya saja, besok pagi dikembalikan. Usai pamit sama Mbah Karso dan Pak Arif, Wahyu dan Enggar segera pergi meninggalkan kediaman Pak Arif.
Sesampai di basecamp, Enggar heran, kok teman-teman pada keluar basecamp, Enggar menghampiri Dina yang saat itu sibuk bawa koper.
“Din, ada apa?” tanya Enggar.
“Kamu ke mana saja sih? Baru datang, pompa air jebol di dalam, perlu ngungsi dulu kayaknya,” jelas Dina.
“Lah barang aku?” Enggar panik, hendak ke dalam basecamp menyelamatkan barangnya.
“Sudah gak ada barang kita di dalam, ini sudah diambil anak-anak kok,” jelas Dina.
“Serius, gak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Enggar memastikan.
“Iya benar, baju, laptop, alat mandi, pokok semua sudah dikeluarin. Itu di teman-teman, kamu pastikan lagi,” dagu Dina menunjuk keberadaan rekan kelompoknya yang pada memilah barang.
Enggar menghampiri rekan kelompoknya, dia juga memilah barangnya. Untung saja dia bukan perempuan ribet, jadi gak terlalu banyak bawa barang. Dilihatnya Wahyu juga mengamankan barang bawaannya.
“Eh kenapa bisa bocor sih pompa airnya,” tanya Wahyu.
“Tadi gak nyala kran airnya, aku coba benerin pompa airnya eh malah jebol,” Udin menjelaskan.
Wahyu hendak menelepon Pak Lurah mau minta solusi tempat tinggal. Tapi segera dia urungkan, mengingat Pak Lurah sedang kena kasus.
“Nggar, ini selendang kamu atau bukan sih, aku bingung hlo,” Dina berkata pada Enggar sambil mengangkat selendang biru. Dikira selendang biru itu milik Enggar, sebab Enggar yang paling akhir ambil barang.
Udin menoleh ke arah Dina, “Itu tadi di atas pompa air, aku kira tadi gak ada yang punya, jadi aku tinggalin di kamar,” jelas Udin, “untung kamu bawa Din, nggak taunya punya Enggar,” sahut Udin lagi.
“Bukan aku kali yang bawa, kalau punya Enggar ya pasti di kamar kami,” kata Dina, “kalau di kamar kalian ya pasti punya kalian,” Dina menjelaskan.
Udin bingung, Dina lebih bingung lagi, sedangkan Enggar shock seraya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Wahyu tak ambil pusing, dia segera mengajak Udin supaya ikut ke rumah Pak Arif. Wahyu dan Udin segera menuju motornya untuk kembali ke rumah Pak Arif, kali ini memang harus minta bantuan Pak Arif untuk mencarikan mahasiswa tempat menginap yang baru. Tidak apa-apa meskipun bukan tempat yang KKN-able.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H