“Apes banget sih Yu, malem-malem dorong sepeda kayak gini,” keluh Enggar.
“Yaelah dorong bentar doang,” sahut Wahyu.
Malam-malam gini tentu Enggar merasa bulukudunya berdiri. Setengah bulan hidup di desa ini, mana pernah dia kluyuran malam hari gini. Wahyu menyetir sepedanya, sedangkan Enggar bantu mendorongnya. Sebenarnya bukan apes, tapi kurang teliti saja, karena dia tidak cek bensin lebih dulu sebelum berangkat ke balai desa.
Dari kejauhan, Wahyu melihat ada Pak Arif, yang selama ini dia lihat sering main juga ke rumah Pak Lurah.
“Mas Wahyu, malam-malam mau ke mana?” sapa Pak Arif.
“Habis dari balai desa, Pak,” jawab Wahyu.
“Kenapa sepeda motornya Mas? Kok didorong?” tanya Pak Arif.
“Ini Pak, kehabisan bensin,” Wahyu menjelaskan,
Pak Arif mempersilakan Wahyu dan Enggar untuk mampir ke rumahnya. Pikirnya bakal pakai sepeda Pak Arif saja, besok baru dikembalikan. Di dalam ruang tamu ada kakek-kakek yang merupakan tamu Pak Arif. Pak Arif menangkap wajah takut Enggar yang melihat kakek-kakek.
“Mbaknya jangan takut, ini Mbah Karso,” Pak Arif mengenalkan, “Kalau Mas Wahyu tentu sudah pernah ketemu ya sama Mbah Karso?” tanya Pak Arif. Mungkin lebih ke pernyataan.
Wahyu hanya mengangguk, karena memang sudah pernah ketemu Mbah Karso di rumah Pak Lurah. Sementara Enggar menundukkan kepalanya sambil menyapa Mbah Karso agak kikuk. Enggar memang tipikal perempuan yang introvert, namun dia lebih perasa pada keadaan sekitar. Wahyu dan Enggar duduk di kursi ruang tamu untuk menunggu Pak Arif yang masuk ke dalam rumah.