Mohon tunggu...
Tiara Angelia
Tiara Angelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

berenang dan travelling adalah hobi saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Poligami pada Perspektif Hukum Islam dan Indonesia

13 Desember 2023   17:17 Diperbarui: 13 Desember 2023   17:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting yang menjadi kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga saat ini. Perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah perikatan yang suci yang tidak terlepas dari agama yang dianut suami dan istri. Hidup bersama dalam perkawinan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja tetapi untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun, dan harmonis. Dalam Pasal 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pernikahan dalam Islam ada yang bersifat monogami ada pula yang poligami. Poligami merupakan sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Poligami memang dibolehkan dalam Islam akan tetapi dengan ketentuanketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi. Tidak hanya Islam, negara pun mengiyakan adanya praktik poligami akan tetapi tetap disertai degan syaratsyarat yang tidak jauh beda dengan aturan agama. Poligami yang dicontohkan dalam Islam perlu dipahami tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis semata.

Perkawinan sejatinya merupakan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (kebutuhan reproduksi) yang difasilitasi secara sah dan legal menurut aturan agama. Sedangkan berkaitan dengan aspek regenerasi, perkawinan dapat diidentikkan sebagai upaya manusia (laki-laki dan perempuan) untuk melanjutkan keturunan yang tidak hanya menjamin keturunan dalam aspek fisik semata seperti proses kelahiran, kehidupan anak, belajar anak, dan sebagainya melainkan juga menjamin aspek eksistensial dalam keturunan seperti melakukan pembinaan pada akhlak dan aqidah anak. Dengan demikian, perkawinan merupakan rangkaian ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan dengan keikhlasan masing-masing untuk membangun bahtera keluarga bersama dengan tujuan untuk melanjutkan keturunan. Meski kata pernikahan sering digunakan dalam bahasa sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, namun kata perkawinan digunakan secara yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Islam merupakan agama yang memberikan pedoman dan petunjuk yang jelas untuk mengatur kehidupan manusia. Syariah Islam yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat baik yang berkenaan dengan ibadat, mu’amalat, munakahat dan sebagainya diatur dalam hukum Islam. Dalam kehidupan berumah tangga Hukum Islam mengatur termasuk praktek poligami. Seseorang yang mempunyai lebih dari satu pasangan hidup dalam waktu yang sama dimaknai sebagai poligami. Namun masih terdapat banyak persoalan mengenai kedudukan hukum poligami dalam pandangan masyarakat khususnya dalam sudut pandang hokum Islam.

Dalam perspektif hukum Islam, hukum asal poligami adalah mubah atau boleh, bukan wajib dan bukan pula dianjurkan. Namun, bila hukum poligami ditinjau dari keadaan dan kondisi seseorang yang ingin berpo-ligami, hukumnya dapat berubah menjadi sunah, makruh, dan haram.

Artikel ini membahas mengenai Poligami dalam perspektif Hukum Islam dan Indonesia menggunakan metode penelitian Studi Kepustakaan (Library Reaserch) dimana metode tersebut menggunakan sumber-sumber dari Buku, Jurnal, artikel, catatan, dokumentasi dan sebagainya yang berkaitan dengan judul dari artikel ini. Selain itu juga artikel ini dibuat bertujuan untuk mengetahui bagaiman perspektif hukum Islam dan Indonesia mengenai Poligami.

 

B. Pembahasan

1. Definisi Poligami

Kata poligami, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari kata polus atau poli yang bermakna banyak, dan gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. Jika kedua kata ini digabungkan akan mengandung arti perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari gabungan kata tersebut, benar jika mengatakan bahwa poligami adalah perkawinan banyak dan tidak terbatas jumlah banyaknya (seseorang yang akan dinikahi).

Menurut Algra, Poligami secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yaitu Poli yang artinya banyak dan ami berarti perkawinan. Sehingga poligami berarti perkawinan ddengan dua orang perempuan atau lebih. Sedangkan menurut Kuzari, mula-mulanya poligami dikenal sebagai perkawinan lebih dari satu. Poligami dapat dipahami dengan definisi yaitu poligami yang artinya seorang laki-laki menikah dengan banyak wanita.

Secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Menurut pandangan Fazlur Rahman poligami merupakan produk hukum islam yang legal tujuannya untuk mencapai idealitas tatanan dalam sebuah komunitas tertentu. Karenanya poligami tidak dapat dihilangkan begitu saja. M. Quraish Shihab, seorang tokoh tafsir kontemporer menyatakan poligami adalah sebuah wadah bagi yang menginginkannya ketika seseorang menghadapi kondisi atau kasus tertentu yang menjadi alasan logis untuk melakukan poligami yang dibenarkan, meski dengan syarat yang tidak ringan dan tidak setuju jika poligami sebuah anjuran apalagi kewajiban, akan tetapi poligami sebuah solusi bagi sebuah kondisi darurat yang hanya bisa dibuka jika kondisi itu mengharuskan demikian.

Poligami sendiri merupakan suatu kebiasaan yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa arab bahkan pada masa pra islam. Poligami merupakan ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu orang istri) dalam waktu yang bersamaan.

 

2. Syarat-syarat Poligami Dalam hukum Islam Dan Indonesia

Ketentuan tentang poligami dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2). Undang-Undang ini sebagai bentuk respon positif untuk mengatur seorang suami yang ingin menikah dengan lebih dari satu orang (istri). Poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam. Demikian juga dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam yang mengatur ketentuan poligami bagi umat Islam.

Syarat poligami secara umum adalah adil. Adil menurut bahasa Arab disebut dengan kata ‘adilun ) عدل ( , yang berarti sama dengan seimbang. Dalam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menguraikan kata tersebut dengan menyebutkan. Beberapa Ulama’ tafsir menjelaskan kata adil tersebut, diantaranya al-Maraghi memaknai adil dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif. Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa lafadz tersebut bermakna memberi pembagian yang sama. Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah yang menjadikan pelakunya tidak memihak atau berpihak pada yang benar.

Para Imam madyahab yaitu imam hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali membolehkan poligami dengan Syarat keadilan. Yaitu, seseorang yang akan melakukan poligami atau mempunyai istri lebih dari satu, dibatasi empat istri. Para Imam memberikan saran, jika seseorang suami tidak mampu untuk berlaku adil, maka, beristri satu saja. Ulama ahli sunnahpun juga sepakat jika suami memiliki istri lebih dari empat adalah haram hukumnya. Perkawinan yang ke-lima, seterusnyaadalah batal dan tidak sah, kecuali jika suami menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan sudah habis masa iddah nya.

Muhammad Abû Zahrah dalam bukunya ”al Mujtama’ al-Insânî fi Dlilli al-Islâm” menyebutkan 5 kriteria keadilan, yaitu:

a. Keadilan hukum. Sistem hukum yang berlaku harus univikasi (seragam) untuk seluruh warga negara tanpa adanyadiskriminasi.

b. Keadilan sosial. Memberi kesempatanyang sama untuk bekerja menurutkemampuan dan keahlian yang dimiliki.Jika ia masih lemah maka perlu dibantu.

c. Keadilan pemerintahan. Semua wargamempunyai kedudukan sama dalampemerintahan tanpa memperdulikansuku, bangsa, bahasa dan budaya.

d. Dalam leksiologi Alquran term keadilan dapat diucapkan dengan al-‘adâlah dan al-wasth. Term tersebutmerupakan rangkaian makna bahwauntuk menciptakan al-‘adâlah harus ditopang oleh al-wasath yakni tengah-tengah/perpaduan antara semua bentuk keadilan.

e. Keadilan bagi Plato menekankan aspekmoralitas sedangkan bagi Aristoteles menekankan pada aspek kepentingan hukum.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketiga syarat ini diuraikan menjadi syarat utama dan syarat tambahan. Syarat utamanya dikemu-kakan pada Pasal 55 ayat (2): “Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya”. Dua syarat lainnya dikemukakan pada Pasal 58 dan Pasal 59. Pasal 58 KHI menyatakan:

a. Selain syarat utama yang disebut pada Pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1) adanya persetujuan dari isteri;

2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

b. Dengan tidak mengurangi keten-tuan Pasal 41 huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

c. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

 

Musthafa al-Siba’i mengemukakan bahwa ada 2 syarat pokok yang harus dipenuhi dalam berpoligami, yaitu:

a. Mampu memperlakukan semua iseri dengan adil. Ini merupakan syarat yang dengan jelas disebutkan dalam al-Qur’an ketika membolehkan poligami, dan

b. Mampu memberi nafkah pada isteri kedua, ketiga keempat dan juga kepada anak-anak dari isteri-isteri tersebut.

 

3. Prosedur Poligami

Kebijakan pemerintah mengenai prosedur poligami tertuang dalam Pasal 40, 41, 42, 43, dan 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 56 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 40 menyatakan, “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan”. Setelah ia mengajukan permo-honan tertulis ke Pengadilan (Agama), maka Pasal 41 mengatur prosedur lanjutannya, sebagai berikut: Pengadilan kemudian memeriksa:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,

b. Ada tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pegadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan persyaratan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

 

Setelah Pengadilan Agama memeriksa alasan dan syarat-syarat permohonan izin tersebut, maka Pengadilan Agama menempuh prosedur berikutnya, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 42:

a. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.

b. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

 

Kemudian Pasal 43 mengatur tentang putusan Pengadilan terhadap permohonan pemohon. Pasal 43 menyatakan, “Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang”. Pasal 44 mengatur tentang larangan bagi Pegawai Pencatat Nikah untuk mencatatkan perkawinan poligami yang tidak mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 44 ini menegaskan, “Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43”.

Prosedur dan tata cara pengajuan izin poligami yang tertuang dalam Pasal 40-44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini selanjutnya diperkuat oleh Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:

a. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

c. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

 

Prosedur dan tata cara pengajuan izin poligami ini juga mengisyaratkan bahwa kebijakan pemerintah mengenai poligami menganut prinsip/asas poligami yang diperketat. Bahkan, boleh dikatakan bahwa prosedur dan tata cara ini, sebagiannya, sudah “keluar” dan “bertentangan” dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam literatur-literatur hukum Islam (fiqh).

 

4. Batasan Poligami

Jumhur Ulama berpendapat bahwa batasan poligami adalah empat orang isteri, tidak boleh lebih. Namun, ada 3 (tiga) pendapat lain yang berbeda dengan pendapat Jumhur Ulama ini. Ketiga pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang nyeleneh.

a. Sebagian orang ada yang menduga bahwa Islam membolehkan poligami tanpa batas. Mereka menduga bahwa Firman Allah: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat”, tidak menunjukkan makna pembatasan (taqyid) pada jumlah tertentu. Menurut mereka, ayat ini (QS: an-Nisa: 3) menunjukkan pembolehan poligami secara muthlaq atau tanpa dibatasi pada jumlah tertentu.

b. Sebagian kalangan Syi’ah berpendapat bahwa poligami yang dibolehkan hanya terbatas pada 9 (sembilan) orang isteri. Menurut mereka huruf “wa” pada matsna wa tsulatsa wa ruba’a berfungsi untuk menghimpun, dan jumlahnya adalah 9 (sembilan), yakni 2+3+4 = 9. Mereka juga menguatkan pendapat mereka ini dengan poligami Nabi dengan 9 (sembilan) orang isteri.

c. Sebagian ualama Madzhab Zhahiri berpendapat bahwa batasan poligami yang dibolehkan adalah 18 (delapan belas) orang isteri. Menurut mereka makna “matsna” adalah “dua dua”, makna “tsulatsa” adalah “tiga tiga”, dan makna “ruba’a” adalah “empat empat”. Oleh karenanya, jumlahnya adalah 2+2+3+3+4+4 = 18 orang. Mereka berargumen bahwa huruf “wa” pada matsna wa tsulatsa wa ruba’a berfungsi untuk menghimpun.

 

5. Perspektif Hukum Islam

Poligami dalam filosofis hukum Islam tentu saja bukan karena hanya untuk kepuasan biologis semata, namun poligami dimaknai sebagai solusi untuk menyelesaikan sejumlah persoalan sosial seperti adanya anak yatim yang kurang mampu, perlindungan janda yang lemah dan lain-lain. Poligami secara filosofi juga memiliki makna perlindungan, menghindari perbuatan keji, dan keadilan bagi kaum feminis.

Hukum Poligami menurut Para Ulama adalah diperbolehkan dalam keadaan darurat seperti, istri ternyata divonis mandul dan tidak bisa memberikan anak turunan, istri mempunyai riwayat penyakit yang mematikan akibatnya istri tidak bisa memenuhi kewajibannya. Kebolehan melakukan poligami selain itu juga memberi syarat agar suami bisa berlaku adil kepada istri-istrinya.

Anwar Rahman memaparkan bahwan Hukum asal poligami adalah mubah, sesuai teks al- Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan ayat 129. Contoh, poligami yang dilakukan oleh Hamzah HAS dan AA Gym. Namun, dapat juga berubah menjadi sunat dalam hal, yaitu: isteri tidak dapat melahirkan keturunan, atau menderita penyakit yang tidak dapat sembuh, atau mendapat cacat badan yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; jika dimaksudkan untuk menyantuni janda-janda;  jika khawatir akan berkembangnya pelacuran atau seks sesama jenis, serta HIV dan AIDS. Namun, semua itu hanya dapat dilakukan sepanjang mereka mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Poligami dapat menjadi wajib dalam hal pria tersebut khawatir akan berbuat zina jika tidak berpoligami. Selain itu, hukum berpoligami dapat berubah 46 menjadi makruh atau bahkan haram. Makruh jika poligami dilakukan oleh orang yang secara fisik materil tidak mempunyai kemampuan, dan menjadi haram jika ketidakmampuan itu dapat menyebabkan terjadinya penelantaran, dan berbuat aniaya terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka, atau jika poligami itu dilakukan untuk tujuan yang dilarang oleh syari`at. Oleh karenanya, T.M. Hashbi Ash Shiddiqy dan Sayyid Ameer Ali, sebagaimana diungkap oleh Saidus Syahar, mengatakan bahwa “menurut hukum Islam, poligami itu tunduk pada alAhkam al-Khamsah, artinya poligami pada suatu ketika di tempat tertentu dapat merupakan hal yang wajib, sunnat, makruh, haram dan atau mubah. Jadi, berubah-ubah menurut perubahan keadaan.

Kendati hukum asal poligami dalam hukum Islam adalah mubah, tapi prinsip/asas perkawinan yang dianut tetaplah monogami. Prinsip ini dapat dipahami dari ketentuan ayat 3 dari surat an-Nisa. Allah berfirman: yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawini-lah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Menurut kaca mata hukum Islam, akad nikah orang yang berpoligami pada kondisi kedua yang hukumnya makruh dan pada kondisi ketiga yang hukumnya haram, tetap sah. Ia tetap boleh (halal) melakukan hubungan seks dengan isteri keduanya, wajib membayar mahar, dan wajib menafkahinya, kendati poligami makruh atau haram bagi dirinya. Keharaman poligami bagi dirinya hanya menyebabkan ia berdosa, tapi tidak sampai menyebabkan akad nikahnya batal. Demikian pandangan Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan Ali asy-Syarbaji dalam kitab mereka al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i.

 

6. Perspektif Hukum Indonesia

Asas dalam Undang-Undang Perkawinan adalah bukan monogami mutlak tetapi asas monogami terbuka yang ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) yaitu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 3 ayat (2) ini melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengesahkan kebolehan poligami.

Dalam hal ini yang merupakan syarat-syarat hukum agar seorang laki-laki dapat kawin dengan lebih dari satu orang istri dalam jangka waktu yang bersamaan (berpoligami) sebagai berikut:

a. Apabila beristri lebih dari satu memang dimungkinkan oleh agama dari mereka yang hendak melakukan perkawinan tersebut.

b. Apabila istri yang sudah ada dan istri yang hendak dikawini tersebut tidak melebihi jumlah yang dibenarkan oleh agama yang dianut oleh mereka yang hendak melakukan perkawinan tersebut.

c. Dalam hal seorang suami beristri lebih dari satu, maka suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan). Ini merupakan syarat-syarat alternatif yang harus dipenuhi oleh pemohon. Dalam pasal 4 ayat (2) nya dijelaskan lebih lanjut bahwa pengadilan hanya akan memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

d. Lebih lanjut juga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk beristri lebih dari satu orang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

 

Praktek poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan merupakan pelanggaran poligami yang dapat dipidana dengan dihubungkan kepada perkawinan terlarang.

 

7. Poligami Di Negara Islam

Dalam islam poligami diperbolehkan tetapi harus memenuhi ketentuan syariah. Prinsip dasar kebolehan poligami banyak disalahgunakan oleh berbagai pihak. Karena itulah pemerintah membuat aturan yang membatasi kebolehan poligami agar hak-hak dan kemuliaan perempuan terjaga dan terlindungi.

Ada 3 (tiga) kelompok negara mayoritas penduduknya muslim dalam menyikapi poligami :

 

a. Negara yang melarang poligami

Tunisia dengan Undang-Undang Keluarga (Code of Personal Status/ Majalat al Ahwal al Syakhsiyyah No. 66 Tahun 1956) yang ditetapkan tahun 1957 oleh Presiden Habib Borgoibe, melarang poligami secara mutlak dan menghukum orang yang melanggar aturan poligami. Bahkan pada tahun 1964 pelaku poligami bukan saja dapat dikenakan hukuman tetapi dinyatakan perkawinannya tidak sah. 2 (dua) alasan Tunisia melarang poligami yaitu :

1) Institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya.

2) Surat An-Nisa (4):3, menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh berpoligami apabila dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya.

 

Tunisia adalah negara muslim ketiga setelah Turki dan Lebanon yang melarang poligami secara mutlak. Dalam Undang-Undang Status Personal Tunisia tahun 1956 terutama dalam Pasal 18 menyatakan:

“Bahwasanya beristri lebih dari seorang adalah dilarang. Setiap orang yang telah masuk dalam satu ikatan perkawinan lalu menikah lagi sebelum yang terdahulu bubar secara hukum, maka ia dapat dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda 240.000 malim atau kedua-duanya.”

 

b. Negara yang membatasi poligami

Dalam rangka melindungi dan menjamin hak-hak perempuan dan anak-anak, pada umumnya negara-negara muslim memberikan pengaturan mengenai kebolehan poligami yang diperketat dengan sejumlah persyaratan sehingga sulit dipenuhi oleh seorang laki-laki. Di Indonesia, Irak, Malaysia, Somalia dan Suriah seorang suami yang hendak melakukan poligami harus mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan. Sementara di Bangladesh dan di Pakistan izin tersebut juga diharuskan dan diperoleh dari semacam Dewan Arbitrase.

Di Irak dan Suriah izin poligami dapat diberikan jika terdapat alasan yang kuat dan sah. Di Pakistan, Bangladesh dan Malaysia izin poligami diberikan jika suami dipandang oleh pengadilan mampu berlaku adil. Bahkan di Malaysia menambahkan ketentuannya bahwa harus dipastikan para istri tidak mendapat mudharat atau bahaya yang diakibatkan adanya poligami. Di Indonesia, Somalia, dan Yaman Selatan pengadilan dapat memberikan izin untuk poligami jika istri menderita mandul, cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Di Yaman Selatan juga ada ketentuan boleh berpoligami jika istri di penjara lebih dari 2 tahun. Kemampuan finansial suami juga menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan izin oleh pengadilan.

 

c. Negara yang menyikapi poligami secara biasa

Saudi arabia, Qatar, Kuwait dan Oman adalah negara yang menyikapi poligami secara biasa karena dengan pertimbangan sudah diatur dalam kitab-kitab fiqih dan tidak seharusnya negara banyak tangan dalam hal ini, pengaturan poligami lebih banyak diserahkan kepada pelaku dan ketentuan fiqih yang sudah mapan.

 

C. Kesimpulan

Poligami merupakan pembahasan yang selalu menarik perhatian khususya kaum perempuan dan menimbulkan pro serta kontra bagi masyarakat khususnya Indonesia. Sehingga permasalahn terkait praktek poligami hingga saat ini masih menjadi issu klasik bagi masyarakat maupun akademisi hukum Islam dalam menentukan kedudukan hukumnya.

Dalam syariah Islam ada kebolehan untuk melakukan praktek poligami, namun berlaku syarat-syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pihak suami, yakni kebolehan berpoligami apabila bisa berlaku adil, dan jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan untuk menikahi satu orang istri saja, dan persyaratan keadian inilah yang masih sering dikesampingkan oleh sebagian banyak orang.Adapun al-Qur’an sudah memberikan kejelasantentang status hukum poligami dengan tidak memerintahkan dantidak pula melarangnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwastatusnya adalah sesuatu yang dibolehkan, tetapi dengan berbagaipersyaratan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sesuaidengan semangat maqasid al-syari’ah.

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait praktek poligami telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sebagai bentuk respon yang positif untuk mengatur seorang suami yang ingin menikah lebih dari satu orang. Selain itu, untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam rumah tangga dalam kasus tertentuk poligami dapat menjadi solusi. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan berikut aturan pelaksanaannya, pada prinsipnya selaras dengan ketentuan Hukum Islam. Menurut Undang-Undang tersebut, pada prinsipnya sitem yang dianut oleh Hukum Perkawinan Indonesia adalah asas monogami, satu suami untuk satu istri. Namun dalam hal atau alasan tertentu, seorang suami diberi izin untuk beristri lebih dari seorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun